25 Tahun Pasca Reformasi, Korupsi Masih Menjadi-jadi
Diunduh melalui istock.com |
Penulis: Ababil Firdaus R. (Ketua Bidang Hikmah IMM Ibnu Rusyd)
Seperti ini kah reformasi yang kita inginkan? Seperti ini kah kondisi yang kita impikan? Berada dalam sebuah negara yang -katanya- demokrasi membuat dua pertanyaan tersebut agaknya perlu direfleksikan kembali.
Berbicara tentang reformasi, mari kita sejenak kembali pada bulan Mei tahun 1998. Sejarah mencatat peristiwa yang kiranya tidak akan pernah dilupakan masyarakat Indonesia. Momen saat semua kalangan masyarakat bersatu bukan untuk senang. Namun, bersatu menyatukan rasa kala melihat dan merasakan betapa bobroknya rezim pada saat itu.
Terjadinya krisis moneter membuat masyarakat sangat resah dengan penegakan hukum yang tidak adil kala itu. Harga sembako juga naik sangat tinggi. Belum lagi budaya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang merajalela.
Keadaan negara yang seperti itu, menjadikan masyarakat bergerak bersama bergandeng tangan menyatukan pemikiran. Lalu, tercetuslah gerakan reformasi. Masyarakat pun menginkan perubahan untuk hidup lebih baik.
Tujuan gerakan ini menginginkan pembenahan total dari segi ekonomi, agama, politik, hukum, sosial dan budaya. Karena rezim otoriter saat itu dinilai tidak mampu mensejahterakan masyrakat Indonesia.
Setelah bernostalgia tentang gerakan reformasi tahun 1998, penulis ingin mengajak para pembaca melihat dan berpikir. Apakah tujuan perubahan dari gerakan reformasi 1998 sudah terealisasikan sekarang?
Ubedilah Badrun, mantan aktivis 98 yang berkarir di dunia akademisi sebagai Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada 2016 lalu mengatakan bahwa di sektor kesejahteraan rakyat, justru mengalami stagnasi. Tingkat kemiskinan Indonesia tidak bergeser dari angka 15% sejak 1998. Angka pertumbuhan ekonomi juga tidak bertambah di kisaran 5%. Sementara utang negara malah bertambah.
Pada 2022 lalu, ia juga mempertanyakan kembali kondisi negara ini pasca reformasi. Ubedilah mengatakan bahwa aktivis 98 yang punya jabatan saat itu di jajaran legislatif hingga eksekutif justru terkesan ikut membuat reformasi hanya jalan di tempat. Menurut penulis, para mantan aktivis 98 yang mempunyai kewenangan dan mempunyai power seharusnya bisa merubah keadaan yang tidak baik menjadi baik.
Namun bagaimana dengan sekarang? Jika hingga saat ini para aktivis 98 yang menduduki kursi pemerintahan, namun tidak bisa mempertahankan idealismenya dan hanya mementingkan kekuasaanya saja, apakah kita harus diam saja? Apakah kondisi dari 1998 sampai sekarang sudah membaik? Jangan-jangan malah kondisi hari ini semakin jauh dari cita-cita reformasi.
Niccolo Machiavelli dalam Il Principe mengatakan bahwa penguasa harus bersedia untuk melampaui batas-batas moral tradisional jika itu diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan. Lebih lanjut, mereka harus siap untuk menggunakan kebohongan, manipulasi, dan kekerasan jika itu menguntungkan posisi mereka. Apakah ini yang sedang terjadi kepada mereka yang sedang menduduki kursi-kursi jabatan?
Apakah pemerintah sudah menjalankan pemerintahan sesuai arah reformasi yang dicita-citakan 25 tahun silam? Karena jika idealisme dan semangat reformasi dijunjung tinggi dan terus direalisasikan, harusnya korupsi menurun. Namun mengapa pelaku korupsi makin meningkat?
Dilansir dari Tempo.co, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK), Indonesia merosot empat poin, dari 38 pada 2021 menjadi 34 di 2022. Hasil ini juga membuat peringkat Indonesia turun dari posisi 96 menjadi 110. Di kawasan Asia Tenggara saja, Indonesia berada di bawah Singapura, Vietnam, Malaysia, dll.
Berbicara tentang kegelisahan korupsi 1998 yang seharunya sekarang menurun, tapi mengapa kasus korupsinya malah makin naik? Terlebih para elite politik kesannya hanya mempertontonkan perebutan kekuasaan, bukan sibuk memperjuangkan rakyatnya. Maka setelah puluhan tahun berjalan, kiranya relevan jika cita-cita reformasi harus kembali kita pertanyakan.
Ubedilah juga menyoroti sejumlah hal yang ia anggap menunjukkan kemunduran reformasi. Dalam hal politik, para elit politik hanya mempertontonkan semangat yang sifatnya pragmatis dan transaksional. Oligarki politik berkembang dan menguat selama era reformasi. Elit politik juga tidak serius untuk menangkap pesan besar dari reformasi. Mereka hanya sibuk dengan kontestasi, merebut kekuasaan, tapi mereka tidak serius memperjuangkan rakyat.
Biaya politik saat ini memang mahal. Penulis sendiri pernah berkesempatan berbincang bersama dengan calon legislatif di salah satu daerah. Saat mau mencalonkan diri, harus ada persetujuan dari pimpinan partai politik di tingkat kota dan itu pun harus membayar. Setelah itu harus ada persetujuan di tingkat provinsi dan lagi-lagi harus bayar. Dan selanjutnya, harus ada persetujuan tingkat pusat atau nasional dan juga itu harus bayar.
Proses pendaftaran untuk menjadi calon legislatif saja sudah rumit dan harus mengeluarkan modal besar. Itulah salah satu faktor dimana bisa saja orang yang terpilih nanti akan sibuk berpikir bagaimana cara “balik modal”.
Sayangnya, salah satu cara yang sering dipilih adalah korupsi. Iya, korupsi adalah jawabanya. Maka jika terus seperti ini, budaya korupsi tidak akan berhenti. Oleh karenanya, kita semua masih harus melakukan pembenahan dalam sistem politik saat ini.