Kontribusi Perempuan dalam Kalangan Istana Masyarakat Jawa
Gambar dari Dedy_Timbul, Sumber: Pixabay.com |
Penulis: Aria Bagus
Iyana, S.Sos*
Mengulas peran wanita
tidak akan pernah kering. Wanita yang mana sebagian masyarakat mempercayai
sebagai “jimat keberuntungan” bagi prianya adalah sebuah presepsi yang tak
asing bagi kalangan masyarakat dewasa kita. Wanita sebagai sosok dewi yang
melahirkan, mengembangkan, memanjakan, ngemong adalah realita tak tertulis pada
masyrakat kita.
Khususnya perempuan pada
kalangan Keraton Jawa. Salah satunya adalah kiprah sebagai prajurit dan anggota
prajurit estri khususnya, akan mengingatkan kita kepada keterlibatan perempuan
istana sebagai pengusaha, pedagang dan juragan pasar dagang. Karena mereka
adalah Srikandi Jawa yang juga berbakat sebagai penggiat komersil. Salah satu
alasan fundamentalnya adalah perempuan telah menduduki posisi ahli strategi
bisnis dan analisis dagang yang ulet.
Dalam hal ini, perempuan
memiliki kemampuan mengatur aspek finansial dan urusan keuangan pada abad
ke-19. Raffles pernah menyampaikan, “Dalam hal urusan uang, perempuan Jawa
secara universal dianggap mampu dibandingkan pria, dan dari buruh umum sampai
kepala provinsi sudah lumrah suami mempercayakan urusan uang sepenuhnya kepada
istrinya.”
Hanya perempuan yang
mengunjungi pasar dan melakukan semua kegiatan bisnis jual-beli. Ada pepatah
bahwa pria sama sekali tolol dalam hal keuangan. Analisis ini pula juga senada
dengan salah satu peneliti antropologi Amerika, Ward Keeler, yang setelah
selesai melakukan penelitiannya di sebuah desa dekat Klaten pada awal 70-an. Ia
menulis sebagai berikut, “Perempuan dianggap jauh lebih baik menyangkut urusan
uang daripada laki-laki. Wanita melakukan pembelian di pasar dan mereka mungkin
juga berkerja di pasar. Sementara kaum laki-laki menganggap tawar-menawar mengorbankan
martabat mereka. Kemampuan mengelola uang adalah faktor kunci dalam menentukan
derajat perempuan.”
Pada era “orde baru”
dengan budaya elite birokrat gaya Soeharto, kita akan mengetahui, pembagian
tugas antara laki-laki dan perempuan, terkait keuangan dan adminitrasi baik
dari kalangan masyarakat bawah sampai kalangan atas. Pembagian fungsional
demikian masih menjadi pertanyaan besar apakah hal demikian hanya sebuah mitos
atau realitas sosial masyrakat kita?
Banyak organisasi,
yayasan budaya dan bisnis nirbala yang didirikan sebagai kedok transaksi
finansial kaum elite di Jakarta pada masa pemerintahan jendral besar purnawirawan
itu dikelola oleh perempuan. Sedangkan dalam kalangan ningrat terdapat
permaisuri ketiga sultan kedua, Ratu Kencono Wulan pada zaman 1780-1859. Sang
ratu berasal dari keluarga lapis bawah yang konon pedagang di Pasar Beringharo
dan menjadi first lady yang luar biasa rakus dengan memanfaatkan posisinya
untuk meminta bagian dari keuntungan setiap program, yang hampir mirip dengan Ibu
Tien Soehato dari abad-18 itu.
Berdasarkan keterangan Babad
Penaklukkan Yogyakarta, permaisuri anak pedagang itu menjadi tersohor di kalangan
manca negara. Pasalnya, ia mengambil keuntungan dari transaksi dengan para
pemohon kaya yang ingin naik pangkat menjadi pejabat Keraton, sebagai demang
atau lurah dan bekel pegawai pemungut pajak desa, atau yang mengiginkan tanah
jabatan.
Siapa pun yang ingin
mendapkan posisi atau tanah lungguh, asal punya uang hanya perlu meminta
pertolongan sang ratu supaya dikabulkan yang mungkin hanya kerabat atau sentono
sendiri yang bisa memperoleh pangkat tanpa harus membayar.
Sultan yang sangat mencintai
permaisuri ketiga yang cantik itu mengikuti kemauan sang permaisuri dalam
segala hal. Menurut Babad Gedung, simpanan melimpah dengan barang-barang berharga
dan tempat harta karun di keraton dipenuhi dengan emas perak dan berlian. Namun
naas bagi sang ratu terjadi setelah pasukan Inggris menjarah Keraton Jogja pada
20 Juni 1812, kekayaan membuat dia menjadi sasaran serdadu benggali.
Sedangkan perempuan
istana yang lain dibidik tentara sepoi adalah prajurit estri. Sebab mereka
didesas-desuskan kaya raya seperti sang ratu dari hasil perdagangan berlian dan
emas yang dilakukan antara Jogja, Kotagede, Surakarta dan pesisir Utara
sebagaimana yang disampaikan oleh peneliti sejarah Carey. Sebagaimana di
Keraton Surakarta salah seorang perempuan istana, biasanya selir sultan tertua
yang bertanggung jawab untuk mengurusi semua isi bagian dalam keraton, termasuk
Kedaton yang meliputi kekayaan emas dan berlian milik sang raja dan juga
seluruh dana operasional keluarga inti sultan.
Peran ini dianggap sebagai
pekerjaan wanita, sama seperti keluarga di Jawa pada umumnya yang berpola adat
istiadat lama. Bahwa kekayaan dan sumber kekayaan biasa diolah oleh perempuan.
Peran ini tentunya sangat bertentangan dengan apa yang dianggap patut bagi
laki-laki istana atau priayi agung yang tidak boleh menurunkan martabat dengan
melibatkan diri dalam urusan dagang. Hanya priayi dari kalangan keluarga rakyat
kebanyakan yang biasa mengurusi keuangan. Sebagaimana seseorang mantan
kepercayaan sultan kedua sewaktu ia menjabat putra mahkota, yaitu Purwodipuro
dipakai oleh sultan kedua sebagai orang untuk mengurusi bisnis keraton,
termasuk dunia perdagangan.
Terdapat sebuah kisah
peran wanita terhadap segala keputusan raja, salah satunya setelah Purwadipuro
diberikan suatu aturan khusus di dalam piagam surat pengangkatan sebagai
bendahara keraton pada Agustus 1810, yang memperingatkan dia untuk tidak
memanfaatkan posisi demi meraih untung pribadi.
Namun hanya bertahan tiga
bulan sesudah surat piagam diedarkan, Purwadipuro melanggar aturan tersebut. Dia
menghabiskan waktunya sebagai komandan ekspedisi militer di Jogjakarta melawan
Raden Ronggo Prawirodirjo III, seorang bupati perdana Madiun yang menjabat 1796
sampai 1810. Purwodipuro di wilayah timur, yaitu Mancanegara bagian Jawa Timur,
ia berdagang madat dan bertukar menukar mata uang asing real Inggris. Dia juga
memperlakukan Ibunda Raden Ronggo, seorang adik sultan kedua tersebut dengan
cara yang sangat kurang pantas selama perjalanan pulang ke Jogja dari Madiun.
Suatu pelecehan yang
mengakibatkan kesalahan besar sekembalinya ke Jogjakarta. Nyawa priayi tersebut
menjadi taruhannya dan hanya bisa diselamatkan oleh istrinya, yaitu putri
bungsu sultan pertama yang begitu gigih menggondeli sabuk sang suami setelah ia
divonis diasingkan ke Hutan Selomanik di Lembah Kali Serayu antara Wonosobo dan
kota Banyumas pada tahun 1811. Akhirnya Purwodipuro dijanjikan oleh raja, bahwa
dia tidak akan dibunuh dalam pengasingannya. Dalam hal ini peran wanita menjadi
sangat fundamental terhadap segala keputusan yang berkenaan tentang sang
lelakinya, baik itu karir, posisi, bahkan termasuk finansial sang lelaki.
Sebagaimana contoh yang
lain bahwa buyut Pangeran Diponegoro seorang perempuan dengan prestasi rohani,
juga sebagai penganut utama Tarekat Sattariyah yang menghabiskan waktunya pada
tahun-tahun terakhirnya selama hidupnya dengan mengawasi manajemen perkebunan
dan sawah di Tegalrejo serta perdagangan. Produknya terutama beras melalui abdi
dalem yang ia jual ke Semarang dan Nusa Tenggara Barat Kerajaan Bima. Di sana, sang
ratu masih memiliki banyak saudara dan dia melibatkan dirinya dalam perdagangan
budak yang kelak dilarang oleh Inggris pada 13 Februari 1813.
Peranan perempuan dalam
hal keuangan dan perdagangan adalah pertanyaan tentang pengaruh mereka pada
proses pewarisan. Pada umumnya pada hukum adat daripada hukum Islam di
Indonesia, bahkan sisa-sisa pengaruh masyarakat Polinesia Kuno masih bisa
dilihat dalam sistem warisan melalui garis perempuan yang masih kental. Disebutkan
dalam Babad Basuki, pada pertengahan abad ke-19 sistem ini menyatakan
kepemilikan tanah hanya bisa diwariskan melalui garis perempuan pada
pertengahan abad ke-19, di mana perempuan Madura dikisahkan sampai menolak
bermigrasi ke Jawa bersama suaminya. Sebab mereka tidak mau melepaskan hak atas
tanah waris yang ia miliki di Madura.
Di daerah lain, pengaruh
hukum Syafi’i terasa dengan memodifikasi adat setempat. Berdasarkan pandangan hukum
Islam pada Madzhab Syafi'I, perempuan masih memiliki hak waris, namun bagian
mereka hampir selalu separuh dari hak waris laki-laki. Sementara kerabat dekat
selalu meniadakan hak pewarisan yang lebih jauh. Sedangkan pada kalangan istana
masyarakat Jawa pada awal abad ke-19, perempuan Jawa tetap memiliki hak adab
yang kuat atas sebuah warisan yang ia miliki, terutama jika mereka memiliki
tali kekerabatan dengan penguasa seperti raja ataupun demang.
Dengan demikian,
anak-anak perempuan dari para penguasa yang menyandang gelar Pendoro Raden Ayu atau
disebut sebagai putri raja, bisa mewariskan kepada tiga generasi keturunan
kebangsawanannya. Contohnya selama tidak menikah, mereka tetap menikmati
tunjangan beras dan uang tunai dari istana. Tunjangan yang sama sebagaimana
yang diberikan kepada putra raja. Namun setelah mereka menikah, tunjangan beras
dihentikan. Namun mereka masih tetap menerima tunjangan uang tunai tertentu dan
diberi tanah mahar khusus pengganti atau disebut sebagai siti panadon.
Secara garis besar ketika
yang bergelar Pendorong Raden Ayu meninggal, raja bisa memutuskan untuk
merelakan anak almarhumah memiliki hasil tanaman pengganti itu, yang jelas
perempuan bisa mewarisi jabatan dalam kondisi tertentu. Namun jarang sekali
ditemukan hal tersebut. Hal ini biasanya terjadi ketika seorang pejabat priayi
Jawa meninggal tanpa pewaris laki-laki, maka perempuan dapat memperoleh
kedudukannya tanpa syarat apapun meskipun secara garis besar aturan warisan
diprioritaskan pada hak-hak keturunan laki-laki.
Namun juga masih terjadi
pada perempuan Jawa, terutama kerabat dekat raja memiliki hak atas tanah dan
jabatan demikian pandangan peran perempuan dalam usaha finansial. Bagi kalangan
masyarakat Jawa, khususnya kalangan istana, bahwasanya perempuan memiliki hak
dan posisi, baik itu sebagai ahli manajemen keuangan maupun pewaris apa jabatan
yang ia terima.
*Penulis adalah Anggota
Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Ibnu Rusyd Periode 2019-2020 serta
Ketua Bidang Tabligh IMM Cabang Ngawi Periode 2020-2021.