Dunia Pendidikan Bukan Dunia Usaha
Karya Baiploo. Diunduh melalui istock.com |
Penulis: Etika Chandra Dewi (Ketua Umum IMM Al-Farabi)
Belakangan ini dunia pendidikan sedang dihebohkan dengan rencana pembuatan marketplace guru oleh Mendikbudristek kita, Nadiem Makarim. Apa yang terpikir dalam benak kalian ketika mendengar kata marketplace? Toko jual beli online? Jadi kalo marketplace guru? Jual beli guru secara online? Haha, tentu tidak ya teman-teman. Tapi barangkali mirip?
Marketplace guru adalah tempat atau wadah untuk semua guru yang dapat mengajar. Wadah ini menjadi database yang dapat diakses untuk semua sekolah yang ada di Indonesia. Marketplace ini bisa digunakan oleh para guru untuk menyimpan data mereka sebagai guru, sedangkan pihak sekolah dapat mencari siapa saja yang dapat menjadi guru dan diundang untuk kebutuhan sekolahnya tersebut.
Dengan begitu, marketplace guru dapat menjadi tempat yang dapat digunakan guru dan pihak sekolah dalam mencari pengajar yang dibutuhkan dalam sekolah tersebut, sehingga prosesnya dapat lebih dimudahkan dan lebih tertuju sesuai kebutuhan.
Lalu apakah akan sesimpel itu prosesnya? Apakah benar ini yang sedang dibutuhkan oleh dunia pendidikan kita? Lantas nasib para guru honorer bagaimana?
Pendirian marketplace guru ini dilakukan untuk mengatasi persoalan munculnya guru honorer yang terus terjadi selama bertahun-tahun ini dan direncanakan akan diberlakukan mulai tahun 2024 mendatang. Guru honorer di Indonesia telah lama menghadapi berbagai permasalahan yang belum bisa terselesaikan dengan baik.
Masalah-masalah tersebut jelas dapat menghambat perkembangan pendidikan dan kesejahteraan para guru honorer. Masalah tersebut bisa berupa, guru honorer dianggap sebagai pekerja di sekolah-sekolah yang memiliki resiko tinggi untuk pindah, berhenti, pensiun, atau bahkan meninggal dunia. Masalahnya terletak pada sekolah tidak dapat langsung menggantikan guru honorer yang berhenti atau meninggalkan pekerjaannya, karena perekrutan guru ASN (Aparatur Sipil Negara) dilakukan secara terpusat oleh pemerintah.
Perekrutan terpusat yang dilakukan pemerintah tersebut dengan maksud untuk menjaga kualitas dan kuantitas guru yang masuk ke dalam sistem pendidikan. Namun, hal ini juga menjadi kendala bagi guru honorer yang berpotensi memiliki kualitas dan kompetensi yang baik, namun tidak dapat segera bergabung menjadi guru ASN. Dan lagi, pemerintah daerah tidak mengajukan formasi guru ASN sesuai dengan kebutuhan sekolah atau data yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Akibatnya, terdapat ketidaksesuaian antara jumlah guru yang dibutuhkan dengan jumlah guru ASN yang direkrut. Hal ini menyebabkan ketimpangan dalam penempatan guru di berbagai wilayah, terutama di daerah-daerah terpencil atau terluar.
Untuk mengatasi permasalah tersebut, pemerintah memiliki tiga solusi, diantaranya adalah rencana pendirian marketplace guru ini. Guru honorer yang telah lulus seleksi menjadi calon guru ASN dan lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) pra-jabatan atau guru baru yang sudah lulus PPG akan dapat masuk ke dalam marketplace guru ini. Dengan adanya marketplace ini, calon guru akan memiliki fleksibilitas lebih, dalam mendaftar dan memilih lokasi mengajar tanpa harus menunggu proses perekrutan guru secara terpusat.
Namun, strategi yang dianggap pemerintah bisa jadi solusi ini, justru mengundang banyak pro dan kontra dari banyak pihak. Terutama para guru yang semakin khawatir dengan masa depan mereka. Marketplace ini juga pastinya berpotensi untuk menimbulkan masalah baru, karena marketplace ini bukanlah sebuah jaminan kepastian.
Para guru cenderung khawatir, bagaimana kalau tidak ada sekolah yang berminat menggunakan jasa mereka? Bagaimana jika sampai terjadi kecurangan di dalamnya, mengandalkan "orang dalam" misalnya. Langkah yang diambil pemerintah ini, bisa saja dianggap bukan sebagai langkah penyelesaian masalah, tapi strategi untuk lari dari tanggungjawab, karena menyerahkan nasib guru pada mekenisme pasar.
Jika ada hal positif yang bisa diambil disini adalah, Konsep ini memberikan ruang bagi sekolah untuk menyeleksi guru terbaik sesuai dengan kebutuhan mereka. Seleksi dapat dilakukan kapan saja untuk mengurangi kekurangan guru di sekolah-sekolah.
Selain itu, konsep ini juga dapat memotong birokrasi yang panjang dalam pemenuhan kebutuhan guru dan memberikan keleluasaan kepada guru honorer untuk mengembangkan karirnya. Guru juga mau tidak mau harus terus-menerus meningkatkan kualitas diri mereka sehingga memiliki daya "jual" yang tinggi.
Bagaimanapun, peningkatan kualitas pendidikan dan kesejahteraan guru honorer menjadi tujuan yang harus terus diupayakan oleh pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan di bidang pendidikan. Tapi, bagaimana menurut kalian?