Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teologi Al-Ma’un dan Konsep Pembebasan Hasan Hanafi (Bagian 2)

 

Foto oleh Steve Johnson, diunduh melalui pexels.com


Penulis: Mahbub Junaidi (Ketua Umum IMM KUF)

 

Pada ayat selanjutnya ini saya kira sangat ngeri dan terasa sangat zalim terhadap diri sendiri, hingga terasa renyuh dan sesak jika dirasakan oleh penulis, “Celakalah orang-orang yang salat!” Bukankah salat adalah juga sebuah perintah yang sangat ditekankan dalam Islam, bahkan salat sendiri disebut dengan tiang agama. Lalu kenapa salat menjadi sebuah ancaman bagi orang yang melakukan salat? Apakah ada yang salah dengan salat itu sendiri? Apakah kita harus mengubah cara salat kita?

Maka dalam ayat selanjutnya dijelaskan yaitu, “Orang-orang yang lalai dalam salatnya”. Dalam sebuah artikel yang menjelaskan Teologi Al-Ma’un, dijelaskan bahwa orang-orang yang lalai dalam salatnya secara tekstual merupakan orang yang menyia-nyiakan waktu salat dan tidak menyegerakannya. Bahkan sampai datang waktu salat sesudahnya. Sedangkan secara sosial, orang yang lalai adalah orang yang tidak mencirikan sebagai orang yang melakukan salat.

Bagaimana tidak, jika selesai salat seorang hamba dengan seenaknya berbuat zalim terhadap orang lain. Sering terjadi sepulang dari jamaah dilanjut dengan rasan-rasan atau merumpi membahas keburukan tetangngganya. Maka apa bedanya dengan yang tidak salat, jika orang yang salat sama hinanya dengan orang yang tidak salat. Padahal salat sendiri merupakan sebuah pengakuan penghambaan terhadap Allah. Maka seharusnya untuk mencerminkan orang yang salat, hamba tersebut tentunya akan melakukan perbuatan baik sesuai dengan perintah Allah.

Mencerminkan nilai-nilai dalam surah Al-Fatihah yang juga menjadi sumpahnya terhadap Allah dalam salat. Berjanji untuk menyembah dan menghamba kepada Allah serta memohon pertolongan terahadap Allah. Meminta untuk ditunjukkan jalan yang lurus namun faktanya hamba itu sendiri yang menutupi jalannya dengan melakukan perbuatan yang keliru, yang akan menutupi Nur Ilahi yang dimintanya sendiri.

Dilanjutkan dengan ayat ke enam yang artinya,Yang berbuat riya” yaitu orang orang yang beribadah dikarenakan untuk dilihat oleh orang lain. Tapi jangan salah, sering kali ketika kita hendak melakukan kebaikan terbesit rasa takut akan perbuatan riya dan menundanya hingga tidak dilakukan. Sebab riya merupakan sebuah perasaan yang sangat tipis dan terkadang tidak bisa ditebak adanya. Teringat dalam sebuah cerita sastra yang ditulis oleh Rusdi Mathari, ikhlas adalah ketika engkau melakukan setelah itu kamu tidak mengingatnya. Hal ini tentunya sangat sulit untuk dilakukan, namun tidak ada salahnya untuk terus dicoba dan dibiasakan.

Perlu diketahui pula bahwasanya pebuatan riya kerap kali digandengkan dengan perbuatan menyekutukan Allah. Dengan alasan bahwasanya ibadahnya bukan karena Allah melainkan ingin dilihat oleh manusia. Perbuatan ini akan menarik orang lain untuk berbuat sama, di sisi lain juga akan berefek kepada timbulnya patologi sosial. Contoh saja bersedekah, jika bersedekah dikarenakan untuk dilihat orang lain dan merasa besar dengan sanjungan yang diberikan, tentunya upaya untuk bersedekah akan lebih besar tanpa mengukur kemampuan yang dimilikinya.

Harusnya bersedekah merupakan tindakan yang baik baakan dianjurkan, namun apabila dikarenakan ingin disanjung maka hal-hal yang di luar batas kemampuannya akan dilakukan. Seperti pinjol tanpa mampu membayar, mencuri, korupsi, menggadaikan barang teman dan lain sebagainya akan dilakukan. Untuk itu nilai-nilai sosial yang seharusnya baik akan menjadi buruk. Penulis tidak bisa membayangkan apabila hal ini terjadi di sebuah desa dan masyarakatnya terjerat hutang semua karena ingin bersedekah.

Lalu pada ayat ketujuh dan yang terakhir dalam surah A-Ma’un, “Dan enggan (memberikan) bantuan/barang-barang yang berguna”. Secara garis besar pada ayat terakhir ini menjelaskan tentang sebuah sindiran terhadap orang yang mampu. Ayat ini dalam sebuah artikel, dijelaskan tentang sifat keegoisan yang mengakar di dalam diri manusia. Tidak bisa dinafikan bahwasanya setiap diri manusia memiliki keegoisannya sendiri. Hal ini yang kemudian menjadi sorotan dalam ayat terakhir ini. Sebab keegoisan ini akan mematikan sifat kemanusian yang sudah menjadi bagian dari fitrah manusia.

Maka dalam konsep teologi yang dibawkan oleh Hasan Hanafi sangatlah relevan dengan teologi Al-Ma’un diatas yang menjelaskan tentang kemanusiaan, kemasyarakatan, keadilan dan juga kemapanan sosial. Dari surah tersebut sudah jelas nilai-nilai yang dibawa oleh Hasan Hanafi dan teologi Al-Ma’un sangatlah berkaitan. Kebebasan yang sebenarnya, melihat hari ini kondisi maysarakat yang lebih disibukkan untuk mencapai kesempurnaan pribadi.

Kedudukan Islam yang begitu tertinggal dengan barat memunculkan pandangan baru akan sebuah revolusi sistem yang lebih sempurna. Terlalu terkungkung dengan tradisi dan sejarah merupakan ancaman besar terhadap perkembangan Islam. Sikap acuh akan kondisi yang seringkali disebabkan oleh kegandrungan akan kemapanan sejarah serta konsep yang dianggap matang memberikan paradigma perjuangan Islam telah usai dan hari ini tinggal menikmati buahnya.

Sedangkan kasus dan masalah tidak pernah selesai, yang juga mengikuti peradaban zaman. Akhirnya varian-varian masalah baru bermunculan tanpa dapat dikendalikan. Dengan melihat pemaknaan Q.S. Al-Ma’un tersebut, kita sebagai masyarakat Islam memiliki kewajiban yang sakral dalam menanggapi dan menyelesaikan masalah sebagai kader yang akan meneruskan roda peradaban. Maka kemudian Hasan Hanafi memiliki pandangan epistimologi unik yang didapati dari perenungan panjang tentang tidak berjalannya asas Islam yang digembor-gemborkan.

Teologi sebagai aksi protes terhadap kebobrokan kondisi ini menjadi sebuah jaminan dalam menuntun umat Islam ke arah yang lebih visioner. Melalui tolak ukur barat yang lebih maju dan dianggap superior menjadi objek studi dalam membaca kembali sejarah agar bisa menjadi sebuah motivasi besar menuju berkemajuan. Maka kemudian Hasan Hanafi menawarkan tiga metode untuk mencapai Islam yang berkemajuan.

Pertama, membangun sikap terhadap tradisi lama. Harapannya yaitu menggunakan kembali hasil penelitian sejarah untuk dijadikan sebagai spirit perjuangan dalam mencapai Islam berkemajuan. Kedua, menyatakan sikap terhadap barat. Hal ini dilakukan atas dasar keinginan untuk megkritisi peradaban barat yang mana hingga saat ini tidak bisa dibendung dan semakin menjadi-jadi. Ketiga, meretas sikap kita terhadap realitas. Yang mana dalam kajian ini dapat menimbulkan pembaharuan yang lebih berkemajuan dengan menggunakan basis teori dan pengembangan paradigma inteprestasi.

Gerakan ini diawali dengan membangun paradigma baru tentang Islam yang tergolong begitu tertinggal dengan konsep ketuahannnya. Bagaimana tidak, sedangkan orang-orang Islam sendiri selalu fokus saja dengan urusannya dengan ketuhanan (vertikal), sedang kewajiban yang harusnya juga dilakukan sebagai ibadah terhadap sesama makhluk tidak pernah dipikirkan. Dengan adanya gerakan teologi ini, Hasan Hanafi mengajak untuk memberikan sebuah gerakan baru pada Islam untuk lebih progresif dan juga sebagai agama. Dari yang fokus teologis juga mengarah pada antropologis, dari tekstual mengarah pada kontekstual, dari teori menuju praktik dan lain sebagainya.

Sehingga argumentasi mengenai Islam yang membawa keselamatan bagi makhluk dialam semesta bukan hanya sekedar mimpi disiang bolong yang tidak pernah terwjudkan. Tidak jauh berbeda dengan konsep teologi Al-Ma’un yang mengajak atau menyerukan sebuah pembebasan dan penyadadarn bahwa Islam tidak hanya sekedar tetan salat lima watu saja, namun nilai-nilai social disana juga sngat mempengaruhi dan menjadi tolak ukur apakah ibadah yang dilakukan itu benar-benar karena Allah semata atau hanya sekedar penggugurang kewajiban.

Dengan praktek dan aktualisasi diri yang mencerminkan tentang agama Islam akan memberikan epistimologi baru pada agama Islam itu sendiri. Dengan ini Islam yang dibilang metafisik dan kurang ilmiah dapat terbantahkan. Bahkan dapat dibilang bahwa gerakan ini mengarahkan kepada Islam yang rahmatan lil alamin. Sebab bukan lagi tetang tauhid individual saja, namun lebih luas lagi yaitu tentang tauhid sosial.

Gerakan yang dilakukan oleh Hasan Hanafi sendiri didasari oleh tiga hal. Pertama, kebutuhan ideologi yang jelas di tengah gempuran banyaknya ideologi baru yang lebih faktual dan praktis di era globalitas tanpa batas.

Kedua, kepentingan praktis untuk menjadikan sebuah ideologi sebagai basis gerakan yang relevan dengan kondisi yang ada. Yang mana kepentingan praksis ideologi Islam adalah tentang sebuah pembebasan dan kemerdekaan dari kemiskinan, ketidakadilan, dan juga kebodohan. Harapannya dengan adanya ideologi ini mengarahkan sebuah kemajuan terhadap diri dan negara yang diduduki.

Ketiga, kepentingan teologi bukan hanya sebagai teori yang mengajarkan keislaman atau tentang ibadah kepada Tuhan saja. Namun juga mengarah kepada yang lebih praksis. Ketauhidan bukan hanya sekedar paradigma biasa, namun direalisasikan terhadap realitas atas sebuah tauhid dalam Islam.

Maka spirit juang yang dibawakan oleh Hasan Hanafi tidak jauh berbeda dengan seprit teologi Al-Ma’un yang juga sama-sama menjujung sebuah pembebasan atas keterkungkungan terhadap sebuah hasil sejarah yang dinikmati. Juga menjadikan Islam bukan hanya sekedar agama namun juga sebagai gerakan praktis yang dapat lebih ilmiah dan kontekstual di era disrupsi.

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA