Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Melestarikan Mental Pengecut, Sebuah Otokritik

Foto oleh Viktoria Goda, diunduh melalui pexels.com


Penulis: Muhammad Habib Muzaki (Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan Koorkom IMM UINSA)*

 

Suatu ketika, seorang kader (yang sudah menjabat di struktural suatu organisasi) bercerita kepada saya tentang betapa tidak dihargainya ia di organisasi yang diikuti. Merasa tidak cocok lagi dengan lingkungan organisasinya, ia memutuskan menjadi kader non aktif. Menghilang entah kemana, yang kalau ditanya kenapa, sesegera mungkin ia menceritakan panjang lebar terkait lingkungan organisasi yang kurang suportif.

Terdengar familiar? Namun cerita tidak berhenti di situ begitu saja. Di kesempatan lain, seseorang sambat kepada saya dengan menceritakan pimpinan organisasinya yang katanya kurang mengayomi. “Sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi kenyataannya lingkungan organisasi yang tidak memadai,” ujarnya saat membenarkan tindakannya yang menghilang dari tanggung jawab organisasi.

Kawan dekat saya lainnya juga melakukan hal yang sama, yaitu menjadi kader semi aktif. Kehadirannya di organisasi hanya sebatas setor muka di acara-acara formalitas organisasi. Selebihnya, ia memilih untuk mengabaikan segala rutinitas organisasi yang katanya tidak menghasilkan apa-apa itu. Tetapi kali ini alasannya berbeda. Cukup simpel, padat, dan jelas, “Organisasi ini tidak memenuhi keinginan saya.”

Sampai sini, kita bisa mengajukan sebuah pertanyaan, mengapa menghilang dari organisasi dipilih untuk menjadi sebuah solusi? Tidak adakah cara lain? Mengkudeta pimpinan organisasi contohnya.

 

Kalian Orang-Orang Lemah!

Tidak usah berpanjang lebar, intinya kalian yang memiliki sifat-sifat di atas tadi itu lemah, dasar lemah! Pasalnya, dunia tidak berjalan sesuai apa yang kita mau, gak mlaku kerono karepmu! Dunia ini, dengan milyaran kepala di dalamnya, tidak akan berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan.

Kita sendiri lah yang harus mengubah kondisi dengan kaki dan tangan sendiri. Bahkan kalau perlu, dengan segala tumpah darah yang dimiliki. Berjuang, atau mundur sebagai pecundang, itu saja. Sebab pada dasarnya, dunia ini memang keras, amat keras.

Ini baru organisasi, yang isinya hanya beberapa kepala. Mau menyerah di sini? Diam tidak ngapa-ngapain dan hanya bisa menggerutu? Itu kah mental mahasiswa yang katanya agen perubahan? Merubah apa? Merubah isi snap WhatsApp yang di-update setiap menit? Kemana serangkaian kalimat indah tentang perjuangan yang digoreskan di tugas-tugas kuliah, kalau yang bisa dilakukan hanya menghilang saat merasa bahwa organisasi tidak memberi apa yang dibutuhkan.

Jangan-jangan, selama ini kita hanya melihat hasil kerja-kerja peradaban yang dilakukan oleh orang-orang besar. Kita hanya melihat bahwa Nabi berhasil mengubah gurun tandus Arab menjadi pusat peradaban di masa lalu. Namun kita buta bahwa ada perjuangan berdarah-darah di baliknya. Mulai dari dilempari batu di Tha’if sampai tidak makan berhari-hari saat diboikot kaum Quraisy.

Mungkin kita hanya melihat Muhammadiyah telah berhasil menjadi organisasi yang besar dan bermanfaat. Namun lupa bahwa ada jerih payah K.H. Ahmad Dahlan yang sampai harus dibakar masjidnya maupun menjual harta bendanya untuk membiayai dakwah ini.

Sekali lagi, ini baru organisasi mahasiswa. Tempat di mana kita berproses dengan lingkupnya yang masih sangat kecil. Sebuah organisasi, yang katanya kita masuk untuk berjuang menempa diri. Namun ini kok belum apa-apa sudah menyerah, dasar lemah.

 

Will to Power ala Friedrich Nietzsche

Tentang hal ini, Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman abad ke-19 pernah menggagas perihal Will to Power atau yang sering disebut sebagai “Kehendak untuk Berkuasa”. Maksudnya adalah manusia secara alamiah memiliki suatu dorongan untuk menang. Meski demikian, tidak semua manusia pada akhirnya benar-benar memenangkan sebuah pertarungan.

Ketika manusia benar-benar tidak mampu untuk berkuasa, maka ia berusaha menguasai realitas dengan imajinasi yang diciptakan sendiri. Contoh sederhananya adalah ketika seseorang kalah, ia mengatakan bahwa dirinya sedang mengalah. Adapun ketika seseorang ditindas, ia mengatakan bahwa jalan terbaik adalah sabar.

Konsep “mengalah” dan “sabar” mereka anggap sebagai sesuatu yang baik, bijak, dan benar. Namun yang sebenarnya terjadi adalah ia tidak mampu untuk mengubah keadaan. Sudah tidak mampu, malah menganggap dirinya benar dengan memutar balikan realitas.

Alhasil, “mengalah” dan “sabar” bukan menjadi bagian dari strategi untuk menguasai. Melainkan hanya sebagai topeng, sebagai pelarian karena kalah oleh kenyataan.

Hal yang sama juga terjadi pada suatu kaum yang dijajah oleh bangsa di luar mereka. Alhasil, mereka menjadi lemah secara politik, sosial, dan ekonomi. Sementara yang menjajahnya sedang berpesta pora dengan hasil sumber daya yang dikeruk secara ugal-ugalan.

Alih-alih mengangkat senjata maupun melawan dengan pikiran untuk meraih kebebasan dan kedaulatan, mereka malah berseru, “Ini adalah ujian dari Tuhan”. Itu pun ditambah quote tidak berguna, “Orang kafir hanya mendapatkan dunia, sementara kita akan mendapat semuanya di akhirat.” Hanya sebatas itu, selesai untuk kembali berpangku tangan.

Mereka menenangkan diri dengan berusaha “memenangkan” pertarungan di kepala. Namun itu hanya kemenangan semu yang dibuat-buat. Hasilnya adalah kekalahan di kenyataan yang diterima begitu saja dengan kepengecutan diri. Itu yang disebut Nietzsche sebagai moralitas budak atau dalam bahasa penulis adalah mental budak, sebuah kepengecutan psikologis.

Mental semacam ini, sama persis ketika seseorang melihat kesuksesan orang lain lalu berkomentar, “Itu kan karena privillege”, atau “Ah itu mah karena orang tuanya kaya”. Dengan cara pikir yang semacam itu, mereka membuat alasan-alasan untuk lari dari fakta di depan mata, bahwa dirinya tidak mampu sesukses apa yang sedang dilihatnya.

Alih-alih berupaya untuk meraih kesuksesan dengan versinya sendiri, ia malah membenarkan kepengecutan diri dengan alasan-alasan yang dibuat-buat. Pola pikir dan mental semacam ini dipakai untuk membenarkan kegagalan yang dialami.

Terkadang mental kita adalah mental ingin diberi, mental peminta, mental menunggu keajaiban akan terjadi. Bahkan tak jarang juga sebuah mental yang hanya bisa menyalahkan dan bukan kehendak untuk menciptakan. Sebuah kepengecutan psikologis yang entah sejak kapan terinstal di kepala dan jiwa.

 

Bisa Jadi, Sebuah Refleksi

Dalam konteks masalah yang penulis paparkan di awal tadi, orang-orang yang menghilang dari organisasi memiliki suatu alasan tertentu. Dengan alasan yang dianggap masuk akal sebagai dalil untuk menghilang dari organisasi, sebenarnya ia telah membentuk dirinya sendiri untuk menjadi seorang pengecut sejati.

Ada dua alasannya. Pertama, ia telah berlari dari realita yang seharusnya dihadapi dengan gagah perkasa. Kedua, alasan yang dipakai sebagai dalil bukanlah alasan rasional, tapi alasan emosional. Bahkan dapat dikatakan, alasan-alasan itu hanyalah pembenaran atas penyakit mental bernama kepengecutan untuk merubah realita. Sebuah mental budak yang sedang dilestarikan.

Ayolah, kita setiap hari mengutuk korupsi, marah kepada anak pejabat yang semena-mena dengan kekuasaan bapaknya, marah terhadap ketimpangan ekonomi di mana-mana. Pertanyaannya, kita mau sekedar menjadi mahasiswa yang hanya bisa marah atau merubah dengan jerih payah?

Kalau mau merubah itu semua, ini loh masalah di organisasi dihadapi dulu. Jangan belum apa-apa sudah menyerah, wahai kader-kader yang payah nan lemah. Apakah calon-calon yang akan sarjana hanya bisa mencetak gelar di belakang namanya dan bukan menggelar aksi perubahan nyata? Tidak perlu neko-neko berkoar-koar keadilan harus ditegakan di republik, kalau mendirikan keadilan di rumah sendiri saja masih belum becus.

Bisa jadi bahwa lingkungan organisasi yang tidak mendukung itu benar. Bisa jadi bahwa kita memiliki pimpinan yang goblok dan tidak becus dalam memimpin itu juga benar. Bisa jadi bahwa organisasi terlalu kolot dan kurang mampu mewadahi kebutuhan kader itu benar. Bisa jadi organisasi yang kita ikuti ini memang sangat kekeluargaan, tapi kekeluargaan yang broken home.

Kita pasti memiliki situasi yang benar jika disalahkan, tapi tidak bijak saat kita lari darinya. Sekali lagi, dunia tidak bergerak sesuai dengan keinginan kita. Kita sendiri yang harus merubahnya. Dalam hal ini, mengubah organisasi menjadi lebih baik adalah sesuatu yang paling rasional untuk kita lakukan.

Kita marah, kecewa, dan bahkan mungkin berangan-angan, “Kenapa ya dulu tidak ikut diklat organisasi sebelah saja?” Kita juga mungkin merasa semua yang dilakukan selama ini sia-sia. Tak jarang pula, kita merasa sangat lelah dan ingin menyerah karena semua nampak mustahil untuk diubah.

Namun apakah semua itu lantas menjadi alasan bagi kita untuk menghilang dari organisasi?  Penulis rasa jawabannya tidak. Kita mahasiswa, dengan segala kelebihan yang tidak semua orang memiliki, maka kita punya tanggung jawab besar bagi umat dan peradaban. Sekali lagi, ini baru organisasi, belum sistem sosial di luar sana yang sedemikian kompleksnya.

Kenapa juga kita harus menyia-nyiakan kesempatan untuk memenangkan pertarungan di depan mata. Semakin sulit keadaan, maka semakin besar kesempatan kita untuk berkembang. Dunia ini keras, apa salahnya untuk membiasakan diri dengan mengubah kondisi organisasi sebagai suatu latihan sebelum terjun ke pertarungan bebas yang sesungguhnya?

Serangkaian alasan untuk menghilang dari organisasi adalah bentuk kepengecutan yang nyata. Mengapa kita tidak mulai untuk merubahnya? Kalau gagal, evaluasi lagi, bangun koalisi, serukan agitasi, bangun basis massa untuk mengkonstruksi situasi. Kalau masih gagal, belajar dan belajar.

Apalagi kita mahasiswa, kita punya serangkaian ilmu yang dipelajari di kelas-kelas perkuliahan. Kemana semua ilmu itu kalau kita bertekuk lutut di hadapan realitas? Jangan-jangan, semua ilmu itu hanya menjadi hapalan yang dipajang di lembar-lembar soal ujian?

Selain itu, apakah kita lupa dengan Alquran yang setiap hari kita baca? Tidak pernahkan kita menelaah Q.S. Al-Baqarah ayat 153 yang berbunyi, “Wahai orang-orang beriman, mohonlah pertolongan dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.” Jangan-jangan, Alquran hanya menjadi hiasan semu yang dipamerkan saat bulan Ramadhan dan bukan dipraktekkan di keseharian?

Organisasi, apalagi organisasi yang dikelola mahasiswa di tingkat kampus hanyalah berisi sekumpulan orang-orang yang lingkupnya sangat kecil. Masih ada sistem sosial yang lebih besar dari itu. Pertanyaannya, hidup kita ini mau dipertaruhkan dalam perjuangan atau hanya ingin hidup tenang memikirkan diri sendiri? Kalau yang terakhir jawabannya, maka tulisan ini sejak awal memang sebaiknya tidak perlu dibaca.

 

*Penulis adalah Pemimpin Redaksi IMM UINSA

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA