KUF: Pagar Betis Nalar Kritis (1)
![]() |
Foto oleh IMM KUF, pada saat Musykom Musykoorkom IMM UINSA XXXV |
Penulis: Muhammad Habib Muzaki (Ketua Umum IMM KUF Periode 2021-2022)
Kalau ada Komisariat yang nyeleneh dan terkadang absurd, maka
IMM KUF adalah salah satunya.
Komisariat ini memiliki basis di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
(FUF) UINSA. Sudah IMM, filsafat pula. Dua entitas asing yang sedang collab.
Namun itu lah yang membentuk ciri khas Komisariat sederhana yang satu ini.
Ciri khasnya ada pada isi kepala para kadernya -selain juga pada
tampilan beberapa Immawannya yang gondrong dan nampak tak terurus. Ciri
tersebut nampak melalui keseharian kegiatan serta ekspresi kolektif Komisariat.
Misalnya ketika masa rekruitmen anggota baru. Sebuah momen saat
semua berlomba-lomba mempromosikan kelebihan yang didapat saat masuk
organisasi. Namun tidak dengan IMM KUF.
Ketika ada calon kader ingin join, kami malah menakut-nakuti
mereka dengan nestapa yang akan didapat saat memilih menghabiskan waktunya di
sini. Iya, sebuah Komisariat yang tidak tahu diri memang.
Sudah sedikit orang, sok keras pula. Namun ini lah watak IMM KUF.
Memahamkan mahasiswa baru dengan berusaha terlihat apa adanya lebih baik
daripada ia nantinya bergabung dan menyesal.
Bukan karena Komisariat ini buruk, namun setiap orang memiliki
kebutuhan aktualisasi yang berbeda-beda. Konon, Abraham Maslow (1954), seorang
psikolog humanis itu menjelaskan bahwa aktualisasi diri merupakan puncak
kebutuhan tertinggi bagi seorang individu. Maka sangat disayangkan jika nantinya
Komisariat tidak mampu memenuhi kebutuhan kader-kader tersebut.
Namun jika kader tersebut membutuhkan wadah penuh tantangan untuk
membentuk diri menjadi Kader Muhammadiyah yang bercorak filosofis, maka IMM KUF
baru cocok untuk dipilih.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Louis O. Kattsoff (1996), bahwa
filsafat tidak mengajarkan kita membuat roti. Namun filsafat dapat membantu
untuk menyiapkan tungkunya, menyisihkan noda-noda dari tepungnya, menakar bumbu
dan racikan lain serta mengangkat roti itu dari tungku pada waktu yang tepat.
Artinya, filsafat membantu kita dalam memandu untuk melahirkan
suatu pengetahuan, dengan mengajukan kritik, menemukan hakitatnya, dan
menertibkan itu semua dalam bentuk yang sistematis (Situmorang, 2023).
Dalam prosesnya, filsafat digunakan di IMM KUF kurang lebih dengan
cara yang sama. Filsafat menjadi alat untuk menganalisis berbagai permasalahan
yang menghadang saat ingin mencapai tujuan organisasi.
Penulis sangat ingat momen Follow Up DAD yang diselenggarakan pada
akhir Juni 2021 lalu. Dalam agenda yang dipersiapkan selama dua bulan itu,
hanya hadir dua kader sebagai peserta. Kami sebagai panitia jelas bad mood sembari
menghitung mundur kiamat Komisariat yang nampak hilalnya di depan mata. Namun
filsafat yang dipelajari selama ini sedikit banyak sangat membantu.
Kami ingat bahwa Filsuf Yunani Kuno, Socrates pernah menyimpulkan
apa yang diketahuinya ialah bahwa ia tidak tahu apa-apa (Biyanto, 2015). Apa
yang didengungkan Socrates pun bergema ke alam ego kami.
Sebelumnya, kami berasumsi bahwa kader-kader memang malas diajak
berkegiatan. Terlebih, di tengah situasi Pandemi Covid-19 yang merubah banyak
hal. Situasi pandemi itu pun juga banyak dikambing hitamkan oleh anak
organisasi saat menemui kegagalan mewujudkan tujuan.
Namun Socrates mengetuk kesadaran kami. Perlahan-lahan, perasaan mangkel
terhadap kondisi yang dihadapi berubah menjadi pertanyaan berbalut keraguan,
“Jangan-jangan, ada yang salah dengan pola-pola perkaderan kita selama ini?”
Pandemi pun sebenarnya tidak bisa disalahkan. Sebab kita sejatinya
memang dituntut untuk bertahan di dalam kondisi apapun. Harus adaptif, harus
solutif.
Momen ini lah yang bagi penulis secara pribadi sangat berdampak
merubah pola pikir. Dari yang mudah menyalahkan keadaan menuju kesadaran untuk
berpikir cara sebagai cara berpikir.
Selepas acara Follow Up DAD tersebut, kami deep talk dengan
beberapa kader, membaca dan mendiskusikan lebih banyak lagi buku, serta
merumuskan strategi efektif agar dapat beradaptasi dengan situasi pandemi.
Hasilnya kami mempopulerkan kembali apa yang disebut sebagai
perkaderan kultural. Sebuah cara kaderisasi yang dilakukan bukan dengan
menunggu kader datang di acara-acara formal.
Melainkan dengan jemput bola, membawakan IMM ke hadapan kader
melalui beragam kegiatan informal yang disukai kader. Interaksi untuk membangun
kohesi antara pimpinan dan kader baru pun dimasifkan, bahkan sampai mendatangi
mereka di kotanya masing-masing.
Bahkan pernah dalam sehari kami riwa-riwi ke tiga kota yang
berbeda, demi bertemu kader. Hal itu penting agar kader merasa lebih
diperhatikan. Kita juga tidak mau jika mereka sampai merasa “hanya menjadi alat
untuk meramaikan acara”.
Kami datang kepada kader karena memang saat itu kondisinya mereka
butuh didatangi. Membangun keakraban lebih dalam, menjadi teman bicara, dan
sebagai partner diskusi.
Kalau memang benar-benar tidak bisa bertemu sebab memang pada saat
itu banyak aturan pembatasan sosial, kami pun memanfaatkan sosial media dengan
sebaik-baik mungkin.
Upaya-upaya semacam ini kami konsistenkan selama beberapa minggu
lamanya. Sementara itu, semakin banyak pimpinan di Komisariat lain yang pasrah
oleh situasi baru ini. Kami menolak ikut-ikutan berpangku tangan.
Mau menyelesaikan masalah dengan konsisten meski hasilnya gagal,
lebih baik daripada menyerah dan menyalahkan keadaan. Hasilnya, perlahan ada
kemajuan. Kader dan jajaran menjadi lebih dekat.
Kajian-kajian online di Komisariat ini sangat masif. Meski
jumlah peserta tidak seberapa, tapi kami niatkan sebagai cara untuk
meningkatkan pengalaman berdiskusi bagi kader. Dan, yang terpenting kami
lakukan dengan konsisten.
Konsistensi itu yang membuat ketika ada kesempatan mengadakan acara tatap muka, terkadang Komisariat kecil ini lebih ramai dari Komisariat lain yang sebenarnya memiliki kuantitas lebih banyak. Ini kami anggap adalah hasil dari upaya perekatan emosional melalui perkaderan kultural.
Secara kualitas, kader-kader mampu bersaing dengan pikiran dan
retorikanya di berbagai forum antar Komisariat. Bukan hanya bicara, namun juga dalam
gerakan ber-fastabiqul khairat. Penempaan di IMM KUF menjadikan kadernya
memiliki daya saing di mana pun mereka berada.
Beberapa hal baru juga kami adakan. Meski bukan benar-benar baru,
tapi masih asing diadposi oleh IMM UINSA secara keseluruhan pada saat itu.
Mulai dari konsep acara dengan sistem hybrid, podcast kader
yang sederhana, tulisan-tulisan di website IMM UINSA, kader menjadi pemateri
kajian agar terbiasa berbicara, dsb. Kebutuhan kader adalah mengembangkan diri,
sedang kebutuhan organisasi adalah berjalannya kaderisasi.
Kami menjalankan keduanya. Filsafat digunakan dalam rangka
menjembatani, sedang pemahaman keagamaan sebagai basis etik dan pijakan akan
nilai transenden yang diyakini. Keyakinan dan pemahaman itu menjadikan kami
mengadopsi sebuah slogan, “Berpikir, Bertuhan, Melawan”.
Kenapa berpikir diletakan di awal setelah itu baru bertuhan?