KUF: Pagar Betis Nalar Kritis (2)
Foto oleh IMM KUF, pada saat Musykom Musykoorkom IMM UINSA XXXV |
Penulis: Muhammad Habib Muzaki (Ketua Umum IMM KUF Periode 2021-2022)
Kenapa berpikir diletakan di awal setelah itu baru bertuhan? Sebab
hanya dengan pikiran, kita akan semakin dekat dengan kebenaran. Tuhan
memang satu, namun pemahaman manusia akan pesan-Nya menghasilkan pandangan yang
berbeda-beda. Misalnya perbedaan pemahaman antar generasi.
Beda generasi, dapat beda pula cara mereka dalam beragama. Karen
Amstrong (2011) pernah berujar, “Gagasan manusia tentang Tuhan memiliki
sejarah, karena gagasan itu selalu memiliki makna yang sedikit berbeda bagi
setiap kelompok orang yang menggunakannya pada berbagai periode waktu. Gagasan
tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia dalam satu generasi mungkin
tidak ada artinya bagi generasi lain.”
Ini lah kenapa, Islam yang ditampilkan antar golongan itu
berbeda-beda meski memiliki satu pijakan yang sama, Alquran dan Hadis. Kalau
kata Ahmad Wahib (2012), berpikir adalah alat untuk menggali kedua sumber
tersebut.
Sedangkan cara berpikir satu dengan yang lainnya sangat berbeda. Maka
sangat wajar jika ada perbedaan pemahaman meski sumbernya sama. Apa yang
dianggap benar, terkadang bukan agama itu sendiri. Melainkan produk dari tafsir
sebagai upaya menggali kebenaran.
Ini lah penekanan berpikir baru bertuhan. Bukan menjadi ateis
terlebih dahulu. Melainkan mau menelaah kembali argumen yang kadang diklaim
adalah berasal dari Tuhan. Mau memaksimalkan akal dengan berpikir, artinya kita
berusaha semakin dekat dengan kebenaran yang berasal dari Tuhan.
Kader-Kader IMM KUF pun berasal dari lingkungan yang berbeda. Lingkungan
itu membentuk keragaman pandangan keagamaan, meski di sisi lain ada juga banyak
kesamaan. Maka dengan berpikir untuk membongkar kebenaran yang selama ini mapan
di kepala masing-masing, menjadi cara kami menyatukan persepsi.
Tumbuh besar di fakultas ini juga membuat kami terbiasa untuk
selalu mempertanyakan segala hal, termasuk agama. Bukan pada kebenaran
agamanya, namun kebenaran tafsirnya.
Pikiran semacam ini pun juga melahirkan ekspresi Komisariat yang
terkadang dianggap aneh. Misalnya, kami pernah mengadakan kajian dengan tema,
“Masturbasi Bulan Suci” ketika bulan Ramadhan. Iya, sebuah tema yang bahkan
membuat sang pengisi materi geleng-geleng kepala. Tema itu anti mainstream di
tengah Komisariat lainnya.
Namun kami mengambil tema itu bukan untuk gaya-gayaan maupun
candaan kotor. Sudah banyak kajian yang membahas keutamaan bulan puasa.
Maka, kami ingin menghadirkan hal lain, yaitu memotret gap antara esensi bulan
suci dan eksistensi muslim dalam menyambutnya.
Salah satu esensi berpuasa adalah menahan diri, namun yang terjadi
malah peningkatan konsumsi secara berlebihan (Hidayat, 2016). Puasa sebenarnya
juga sebuah sarana untuk turut merasakan penderitaan orang-orang yang kelaparan.
Namun yang terjadi hanya sebatas ikut merasakan, bukannya turut beraksi dalam
pemihakan kaum mustadh'afin (Riadi, 2014). Sedangkan diksi masturbasi
sendiri menjadi simbol “Kesenangan semu yang dilakukan berkali-kali”.
Lewat diskusi itu, kami mempertanyakan, jangan-jangan selama ini
puasa yang kita lakukan hanyalah
sekadar formalitas semu? Sebuah ritus tahunan,
yang kita terlena.
Bukan terlena karena tidak memperbanyak ibadah. Namun justru karena
itu, kita sudah merasa sudah cukup. Selepas bulan Ramadhan berlalu,
jangan-jangan kita lupa untuk apa sebenarnya Allah Swt memerintahkan berpuasa.
Memang, pengemasan kajian itu memang agak nyeleneh. Hal
semacam itu pun agaknya menjadi ciri anak-anak filsafat dengan caranya
masing-masing. Suatu keanehan yang pernah dilukiskan dengan baik sebagai
kegelisahan akademik oleh Adian Husaini (2006).
Namun ini lah ekspresi berpikir mahasiswa filsafat, tak terkecuali
Kader-Kader IMM KUF. Kami pun tidak menutup kemungkinan bahwa apa yang sedang
dilakukan ini kadang kurang tepat. Maka kami selalu membuka diri dengan sejumlah
kritik.
Terbiasa menerima kritik, bagi kami akan mempertajam pikiran.
Terlebih, memahami perintah Tuhan memerlukan pikiran yang tajam. Dan, salah
satu perintah Tuhan kepada manusia adalah mengadakan perlawanan.
Hal tersebut akan sangat terlihat saat membaca berbagai literatur tentang
pikiran-pikiran para cendikiawan kita. Sebut saja Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh, Gus Dur, Amina Wadud, Ali Syari’ati, Asghar Ali Engineer, Farid
Esack, Kuntowijoyo, Muhammad Iqbal, Hassan Hanafi, Nasr Abu Zayd, Muhammad
Arkoun, Nawal El-Saadawi, dsb.
Apa yang dilawan? Banyak, salah satunya adalah kebodohan dan
kemalasan di dalam diri sendiri. Perlawanan menundukkan keduanya sangat penting
untuk melawan apa yang ada di luar diri kita nantinya.
Melawan perlu cara dan strategi. Kami sendiri memilih untuk
senantiasa memantik kesadaran kritis di tempat mana pun kami berada. Itu lah
kenapa kami menyebut diri sebagai Kader Agitator, sebagai identitas yang
berusaha diwariskan. Sekaligus menegaskan bahwa Komisariat ini ingin membentuk
kader sebagai aktor gerakan yang mampu melakukan agitasi terhadap massa untuk
mewujudkan kepentingan bersama.
Misal jika ada gagal nalar di IMM UINSA, maka IMM KUF akan berusaha
menjadi yang terdepan dalam melawan. Dengan modal lingkungan intelektual yang
dimiliki, IMM KUF berusaha berperan dengan porsinya. Meski dari sini terkadang
muncul narasi, “Zaman ini tidak butuh orang yang cuma modal pintar. Butuh
mereka yang melakukan aksi nyata.”
Narasi tersebut sangat wajar diajukan. Namun narasi-narasi itu
membuat penulis mengingat bagaimana sejarah kejayaan peradaban Islam yang
sangat maju meski terangkum dalam kata “dulu”.
Fachrudin Faiz dalam perbincangan dengan Gita Wirjawan dalam acara
bertajuk Endgame #110 pernah mengungkapkan hal yang menarik di balik
kemajuan ini. Ia menjelaskan bahwa umat Islam seringkali membanggakan masa-masa
kejayaan Islam, tapi lupa bahwa salah satu fondasi dari hal tersebut adalah
budaya berfilsafat yang kuat.
Kemajuannya dipuji, filsafatnya dicaci. Sekarang ini pun filsafat
kurang populer. Bahkan malah dicurigai sebagai suatu bentuk kesesatan. Maka
menurut penulis, budaya berfilsafat harus kembali dimasifkan.
Bukan menggunakan filsafat dalam arti produk pikirannya, tapi
filsafat sebagai alternatif cara berpikir. Memang sangat banyak masalah di
sekitar kita yang membutuhkan aksi nyata. Namun aktualisasi gerakan sesungguhnya
lahir dari kekuatan pikiran.
Itu lah yang setidaknya, hari ini diyakini oleh IMM KUF. Sebuah
Komisariat yang dulu tidak lebih dari hitungan jari. Namun kini menjadi
Komisariat yang sudah mampu membuat tim futsalnya sendiri.
Meningkat secara kuantitas. Tapi kualitas? Kita tunggu saja. Sebab
bagi penulis, IMM KUF sedang ditunggu oleh banyak pihak untuk lebih membuktikan
diri lagi sebagai pagar betis nalar kritis, setidaknya untuk IMM UINSA.
Referensi
Abraham
H. Maslow, Motivation and Personality (New York: Harper and Brothers
Publisers, 1954).
Louis
O. Kattsoff, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996).
Jonar
T.H. Situmorang, Logika: Berpikir Kritis Menuju Kebenaran (Yogyakarta:
Andi Offset, 2023).
Biyanto,
Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015).
Karen
Amstrong, Sejarah Tuhan: Kisah 4.000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-Agama
Manusia, Terj. Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2011).
Ahmad
Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam (Jakarta: Democracy Project, 2012).
Arif
Hidayat, "Budaya Konsumen Bulan Ramadhan Bagi Masyarakat Modern Di
Indonesia", IBDA: Jurnal Kajian Islam Dan Budaya, 14.2 (2016).
Haris
Riadi, "Kesalehan Sosial sebagai Parameter Kesalehan Keberislaman (Ikhtiar
Baru Dalam Menggagas Mempraktekkan Tauhid Sosial)", An-Nida': Jurnal
Pemikiran Islam, 39.1 (2014).
Adian
Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi
(Jakarta: Gema Insani Press, 2006).