Efektifitas Fatwa Muhammadiyah Larangan Merokok Dalam Perspektif Teori Tata Kelola Hukum Oleh Lawrence M. Friedman
Foto oleh Nuttawan Jayawan, diunduh melalui istockphoto.com |
Penulis: Zaki Az Zahwa Nuryahya (Anggota
Bidang Kader PK IMM Leviathan)
Berbicara terkait larangan merokok, yang terdapat dalam pemikiran ialah Muhammadiyah. Sebagaimana, banyak kalangan masyarakat umum mengatahui terkait dengan larangan merokok identik dengan Muhammadiyah. Akan tetapi, larangan merokok merupakan sebuah fatwa Majelis Tarjih yang sifatnya secara gambaran general ialah tidak mengikat. Banyak sekali kesalahpahaman dalam perspektif fatwa larangan merokok yang telah dikeluarkan dalam bentuk fatwa Majelis Tarjih.
Ada beberapa alasan dikeluarkannya fatwa larangan merokok perspektif Muhammadiyah dalam putusan Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 6/SM/MTT/III/2010 Tentang Hukum Merokok, yakni;
1. Secara signifikan, adanya dampak negatif untuk kesehatan tubuh baik bagi para perokok aktif maupun pasif.
2. Merokok diqiyaskan dengan surat Al-Baqarah ayat 195 dan surat An-Nisa ayat 29 yakni; perbuatan bunuh diri secara perlahan.
3. Data statistik meninggalnya seseorang yang diakibatkan rokok semakin meningkat baik dari perokok pasif maupun aktif dan baik yang meninggal balita maupun dewasa.
4. Adanya unsur racun yang terkandung dalam rokok.
5. Adanya pertentangan dalam unsur-unsur tujuan syariat yakni; Hifz An-nafs (perlindungan terhadap jiwa atau raga) dan Hifz An-Nasl (perlindungan terhadap keluarga).
Sebagaimana 5 alasan diatas merupakan hasil analisis penulis dalam amar putusan Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 6/SM/MTT/III/2010 tentang Hukum Merokok. Fatwa tersebut dikeluarkan karena menimbang banyaknya masyarakat Islam yang meninggal karena rokok, baik dari segi perokok aktif ataupun pasif.
Teori Tata Kelola Hukum
Mengingat awal judul menggunakan kata “Efektifitas”, penulis merujuk pada buku Lawrance M. Friedman yang berjudul “The Legal System (A Social Science Perspective)” dan kata efektifitas akan lebih merujuk kepada penegakan hukum. Sebagaimana dalam inti dari buku tersebut menjabarkan terkait dengan penegakan hukum yang dibagi menjadi 3, yakni;
1. Substansi
2. Struktur
3. Budaya
Secara substansi bahwa sebuah peraturan perundang-undangan harus secara jelas, yang mana mengandung unsur asas Lex Certa, Lex Stricta, dan Lex Scripta. Lex Certa dan Lex Stricta ialah sebuah rumusan perundang-undangan itu harus jelas dan tegas, supaya tidak menimbulkan multitafsir. Sedangkan, Lex Scripta ialah perundang-undangan itu haruslah tertulis.
Secara penegakan hukum dibutuhkan struktur yang jelas. Sebagaimana yang termasuk dalam struktural penegakan hukum ialah kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Struktur tersebut harus memahami dan sesuai dengan tugas dan wewenang setiap struktur tersebut.
Secara budaya, orang-orang berada dalam struktur dan masyarakat dengan menegakkan hukum. Dalam hal ini asas Equalty Before The Law (semua orang sama dimata hukum) merupakan akses atau sarana dalam penegakan dalam ruang lingkup budaya. Yang mana, baik secara struktur atau masyarakat yang melanggar sebuah hukum, maka harus dijatuhi hukuman tanpa memandang derajat seseorang tersebut.
Analisis Fatwa Muhammadiyah dan Teori Tata Kelola Hukum
Berdasarkan teori tata kelola hukum oleh Lawrance M. Friedman dikarenakan teori tersebut mengambil 3 perspektif dari segi substansi aturan, para penegak hukum, dan budaya yang sedang terjadi dikalangan masyarakat. Adanya sebuah pertentangan antara aturan dan budaya masyarakat atau dapat dikatakan ketidaksesuaian yang mengakibatkan kesenjangan.
Sebagaimana dari beberapa referensi yang telah tertulis, fatwa larangan merokok tersebut mengikat bagi warga Muhammadiyah. Adanya 5 alasan yang telah dianalisis penulis keluarnya Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 6/SM/MTT/III/2010 Tentang Hukum Merokok. Secara umumnya fatwa tersbeut melihat dari segi kesehatan dan lingkungan hidup yang sehat merupakan hak bagi seseorang. Rokok sangat bertentangan dengan kesehatan dan lingkungan hidup yang sehat, dikarenakan asap rokok yang memberikan dampak negatif secara signifikan.
Sebagaimana fatwa tentang hukum merokok secara substansi telah jelas dengan adanya sumber hukum yang digunakan yakni, Al-Qur’an dan As-Sunnah dan keputusan tersebut berisi secara tertulis. Dalam hal ini, fatwa tersebut telah dianggap kuat dalam sumber hukumnya dan telah jelas keputusan tersebut. Sebagaimana keputusan fatwa tersebut telah sesuai dengan teori Lawrance M. Friedman secara substansi.
Dalam perspektif struktural, fatwa tersebut tidak ada kecocokan, dikarenakan tidak adanya penegakan terkait keputusan fatwa tentang larangan merokok. Dikarenakan adanya perbedaan terkait dengan pemahaman di kalangan warga Muhammadiyah, ada yang mengatakan fatwa itu tidak mengikat karena fatwa tersebut dapat diubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman dan ada juga yang mengatakan fatwa tersebut mengikat bagi warga Muhammadiyah. Akan tetapi, melihat dari 5 alasan keluarnya fatwa tersebut seharusnya mengikat dikarenakan sebagai menciptakan lingkungan yang sehat, tidak sesuai dengan unsur-unsur syariat islam dan sebagai bentuk Muhammadiyah yang berkemajuan. Meskipun, fatwa tersebut substansinya dapat diubah, tetapi secara penegakan seharusnya dilaksanakan, karena dalam amar fatwa menjabarkan bahwa wajib hukumnya dalam mengupayakan pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan manusia setinggi-tingginya.
Dalam perspektif budaya, masih banyaknya warga Muhammadiyah yang merokok dikarenakan adanya faktor kerancuan dalam pemahaman terkait fatwa dan kurang mengetahui fatwa larangan merokok. Dalam praktiknya, ada beberapa warga Muhammadiyah yang menegakkan rokok itu haram, ada pula yang memperbolehkan asalakan dengan syarat mengetahui tempat dan waktu saat merokok.
Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa apabila rokok diharamkan maka warga Muhammadiyah wajib untuk melaksanakannya. Melihat dari segi budaya dan fatwa tersebut setidaknya ada batasan-batasan kepada warga Muhammadiyah yang merokok dan fasilitas berupa ruangan tersendiri untuk orang-orang yang merokok dikalangan Muhammadiyah, karena merokok atau tidaknya merupakan sebuah hak mereka masing-masing. Sehingga, dalam hal ini perlu adanya perubahan konseptual terkait dengan fatwa larangan merokok dikarenakan kurangnya efektifitas terhadap budaya masyarakat.