Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Etika Politik Muhammadiyah

 

Foto oleh Serhej Carka, diunduh melalui istockphoto.com

Penulis: Salva Bening Mulyaningtiyas (Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PK IMM Avempace)

Dewasa ini, masyarakat dari berbagai kalangan mulai bergairah untuk bergelut di ranah politik. Diantaranya ada yang hanya bermodalkan ketenaran, jaringan dan kekayaan. Para pebisnis misalnya, mereka mulai memasuki dunia politik dengan dalih memperlebar wilayah permainan mereka. Sementara itu, aspek mendasar yang berkaitan dengan tata cara berpolitik yang beretika kini makin surut dan tak lagi diperhatian. Hal tersebut tercermin pada realitas politik yang kini didominasi para pebisnis dan kapitalis pemilik modal sedangkan politisi yang terjun dengan ideologi dan visi-misi yang ideal harus kalah dengan mereka yang meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal seminimal mungkin.

Masuknya politisi yang sekaligus pebisnis ini menjadikan dunia politik berada pada genggaman orang-orang berduit. Alhasil, produk politiknya akan menghasilkan kebijakan berbasis uang (keuntungan pribadi) bukan malah kebijakan  yang berbasis ideologi (kepentingan bersama). Kepentingan yang dihasilkan pun akan lebih condong pada kepentingan segelintir golongan (oligarki) bukan pada kepentingan masyarakat secara umum. Bagi penulis, maraknya pebisnis yang memasuki ranah politik ini bisa saja semakin menyuburkan praktik politik transaksional. Praktik politik yang akan mereduksi politik nilai yang menjadi landasan politik ideal kita. Mereka yang dapat membayar mahal pemilih akan cenderung mendapatkan posisi yang didambakan.

Lalu apa yang menyebabkan hal ini  terjadi di dunia perpolitikan saat ini? Penulis menilai bahwa salah satu penyebab terjadinya politik transaksional adalah memuncaknya nafsu manusia yang tidak lagi terbendung, mereka adalah orang yang tidak pernah puas akan posisi yang sedang mereka nikmati. Mereka yang  haus materi maupun kedudukan akan mengupayakan segala cara demi bisa meraihnya dan tentunya hal tersebut akan membawa pengaruh buruk. Maka, menyikapi praktek politik tersebut Muhammadiyah mendorong para politisi untuk beraktifitas di dunia politik dengan mengacu pada politik nilai, yaitu politik yang didasari oleh nilai-nilai seperti amanah, keadilan serta pertanggung jawaban yang didasari pada kepentingan umat.

Jika praktik politik diperoleh dengan menghalalkan segala cara demi meraup kekuasaan dan keuntungan. Maka, politik nilai justru didasari pada konsep ilahiyah dan kemanusiaan. Tujuan dari implementasi politik nilai ini adalah terwujudnya “baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur.” Sebuah tujuan yang harapannya segala keputusan politik didasarkan pada kemaslahatan umat. Selain mengangkat konsep nilai ketuhanan dan kemanusiaan, Muhammadiyah juga mendorong warganya untuk aktif berpartisipasi serta tidak bersikap apatis di ranah politik. Tentunya dengan mengedepankan etika Islam serta berorientasi pada kepentingan umum bukan pada kepentingan pribadi maupun segelintir golongan.

Praktik politik nilai yang diusung oleh Muhammadiyah memang cenderung menghindari keterlibatan langsung dengan politik praktis. Dalam artian bahwa Muhammadiyah tidak pernah berafiliasi dengan partai politik manapun seperti yang termaktub dalam Khittah Perjuangan Muhammadiyah yang di tetapkan dalam Muktamar ke-38 di Makassar tahun 1971. Hal ini yang melandasi Muhammadiyah yang sejatinya bukanlah partai politik melainkan sebuah organisasi keagaamaan yang berorientasi pada gerakan pembaharuan (Tajdid). Muhammadiyah senantiasa memainkan peran politiknya dengan berlandaskan konsep “amar ma’ruf nahi munkar.

Politik memang merupakan urusan duniawi. Namun, jika hanya berkutat kepada aspek duniawi saja maka strategi yang diupayakan untuk meraih kekuasaan akan cenderung dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Bahkan, bisa saja dalam praktiknya tidak memperhatikan aspek baik-buruk, dampak serta kerugiannya. Dari fenomena itu, Muhammadiyah mengambil solusi dengan mendorong praktik politik yang diimbangi dengan konsep “ukhrowi” yakni mengedepankan kepentingan akhirat seperti menghindari keserakahan, praktik korupsi hingga nepotisme.

Terlepas dari tidak bergabungnya Muhammadiyah sebagai partai politik, tentunya tidak serta merta kemudian melarang anggotanya untuk terlibat dalam aktivitas partai politik. Justru Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada anggotanya untuk memilih jalan politik secara personal, asal tetap memperhatikan rasa tanggung jawab yang selaras dengan visi misi serta nilai yang telah dirumuskan oleh Muhammadiyah di bidang politik.

Kini di era Reformasi, era yang membuat dikotomi orientasi semakin terbuka di ranah politik terutama bagi aktivis Islam. Pola orientasi aktivis Islam telah memunculkan dua bentuk, pertama yakni mereka yang lebih condong atau lebih berorientasi pada ranah kultural. Golongan ini cenderung menghindari diri dari kepentingan kekuasaan serta menjunjung tinggi moral sebagai kekuatan utama dalam orientasinya pada aspek sosial ekonomi dan budaya. Golongan ini bergerak dengan tujuan meningkatkan kesadaran Masyarakat pada aspek kultural.

Kedua yakni para aktivis politik, golongan ini cenderung aktif pada ranah politik yakni mereka yang terlibat dengan proses pembagian kekuasaan. Berbeda dengan aktivis kultural, mereka justru lebih beorientasi membangun pemikiran jangka pendek serta mengusung ideologi sebagai sumber pengetahuan mereka. kelemahan dari golongan ini yakni mereka hanya memiliki kekuatan ketika mereka menang. Setelahnya, mereka cenderung tidak berdaya. (Zainuddin Maliki:2017)

Meski banyak kalangan yang berkeinginan agar Muhammadiyah tidak terjerumus secara langsung di ranah politik, padahal pada kenyataannya Muhammadiyah tidak serta merta acuh terhadap realitas politik yang ada. Bagi Muhammadiyah politik sendiri merupakan instrumen penting dalam kehidupan masyarakat terlebih sebagai organisasi yang berorientasi pada kesejahteraan umat. Memang tidak mudah bagi Muhammadiyah untuk menempatkan diri dalam ranah politik sementara ia berorientasi di ranah kultural. Muhammadiyah harus memiliki kepekaan politik sebagai sarana dakwah serta pendidikan bagi warga persyarikatan.

Jika dalam konteks politik terdapat tujuan timbal balik yang mutlak, maka sejak awal, K.H. Ahmad Dahlan telah berpesan “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, Jangan mencari hidup di Muhammadiyah.” Orientasinya bukan lagi pada ranah apa yang kita dapatkan melainkan pada manfaat apa yang bisa kita berikan. Hendaknya hal tersebut dapat menjadi landasan bagi warga Muhammadiyah dalam berkontribusi bukan hanya pada ranah politik saja melainkan pada segala aspek kehidupan bermasyarakat. Tujuannya agar nantinya warga persyarikatan dapat terhindar dari ketamakan serta keinginan yang menggebu dalam meraih kekuasaan.

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA