Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fenomena Childfree Dalam Kacamata HAM Dan Maqasid Syari’ah Jamaluddin Athiyyah

 

Foto oleh Tatyana Azarova, diunduh melalui iStock,com

Penulis: Anas Febriyanto (Ketua Bidang Tabligh PK IMM Leviathan)

Di Indonesia, mengenai istilah “childfree" bermula dari sebuah berita viral tentang seorang YouTuber kondang bernama Gita Savitri Devi yang memilih untuk tidak memiliki anak. Gita dan suaminya Paul-André Parthab memilih untuk tidak memiliki anak, sebuah praktik yang dikenal sebagai childfree. Fenomena ini mengundang sejumlah tanggapan dari Tokoh Agama terutama Islam. Mereka berpendapat bahwa seharusnya keluarga itu memiliki anak, karena anak dianggap sebagai tujuan dari suatu pernikahan selain mendapatkan kebahagiaan.

Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Yahya Zainul Ma’arif atau akrab disapa Buya Yahya, seorang tokoh agama di komunitas muslim bernama Al Bahjah yang merupakan Doctor lulusan American University For Human Sciences, California, Amerika Serikat. Beliau berpendapat bahwa dirinya menolak childfree karena menurutnya memiliki keturunan merupakan fitrah manusia. Bahkan jika ada yang memilih untuk tidak memiliki anak, mereka hendaknya didoakan, dinasihati, dan diberi simpati. Fenomena ini tentunya menarik untuk dikaji lebih dalam dengan pendekatan normatif dalam kacamata Hak Asasi Manusia dan Maqasid Syari’ah Jamaluddin ‘Athiyyah bahwa keturunan merupakan hak yang harus dilestarikan.

Childfree dalam Kacamata Hak Asasi Manusia (HAM)

Keputusan untuk menjadi childfree masih dianggap tabu dan sering kali mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat Indonesia. Diskriminasi terhadap individu yang memilih childfree adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia, yang seharusnya mengakui kesetaraan dan memberikan perlakuan yang setara terhadap semua individu. Meskipun pandangan childfree mungkin berbeda dengan pandangan umum, mereka tetap berhak diperlakukan secara adil dan setara.

Hak asasi manusia di Indonesia diatur oleh UU Nomor 39 Tahun 1999. Hak asasi manusia mencakup hak privat seseorang, termasuk hak seksualitas dan reproduksi. Keputusan untuk menjadi childfree merupakan hak pribadi setiap individu atau pasangan, termasuk dalam hal menentukan kapan dan berapa banyak anak yang diinginkan. Hak ini tidak dapat diinvasi oleh pihak lain, terutama mengingat peran besar yang dimiliki perempuan dalam memiliki dan merawat anak.

Namun dalam realitas di Indonesia, childfree masih dianggap tabu. Konstruksi sosial, budaya, dan agama sering digunakan sebagai argumen penolakan terhadap childfree. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan juga tidak mengatur kewajiban memiliki anak dalam ikatan perkawinan, sehingga pasangan yang memilih childfree memiliki dasar hukum yang kuat untuk keputusan mereka. Namun, pihak yang menolak childfree memiliki pandangan dan alasan negatif tersendiri.

Setiap individu memiliki hak yang sama untuk memilih childfree. Batasan-batasan hak individual, termasuk hak childfree, perlu ditentukan dengan tepat. Teori hak asasi manusia dapat digunakan sebagai panduan untuk menetapkan batasan-batasan ini. Teori hak asasi manusia mencakup teori hak kodrati, teori positivisme, dan teori relativisme budaya, dan dapat memberikan kerangka kerja yang konsisten dalam mengukur hak-hak individu.

Kesimpulannya, childfree merupakan pilihan pribadi yang dilindungi oleh hak asasi manusia. Masyarakat perlu menghormati keputusan individu atau pasangan untuk menjadi childfree, dan diskriminasi terhadap mereka adalah pelanggaran terhadap prinsip kesetaraan dan hak asasi manusia. Perubahan budaya dan pemahaman yang lebih baik tentang childfree diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang inklusif bagi individu yang memilih jalur tersebut.

Childfree dalam Kacamata Maqasid Syari’ah Jamaluddin ‘Athiyyah

Jamaluddin ‘Athiyyah menyebutkan bahwa tujuan mulia dari syari’ah haruslah komprehensif, memperhatikan kebutuhan individu dan komunitas sambil mempertahankan keseimbangan dan akses untuk semua. Karakteristik-karakteristik ini kemudian dikelompokkan kedalam 4 ruang lingkup, pertama ruang lingkup personal-individu, kedua ruang lingkup keluarga, ketiga ruang lingkup sosial-komunal masyarakat, keempat ruang lingkup kemanusiaan.

Jika ditinjau dalam konteks pilihan keluarga tanpa anak (Childfree), maqasid Syari’ah jamaluddin ‘athiyyah yang paling tepat adalah dalam ruang lingkup keluarga, dengan tujuan melindungi kesucian keluarga dan memastikan pemenuhan kebutuhan manusia secara seimbang dan harmonis.

Ruang lingkup keluarga ini meliputi: (1) Tanzim al- ‘alaqah baina al-jinsain (pengaturan hubungan antara dua jenis laki-laki dan perempuan), (2) Hifz al-Nasl (memelihara keturunan atau keberlangsungan kehidupan manusia), (3) Tahqiq al-Sakinah wa al mawaddah wa al-rahmah (merealisasikan rasa ketentraman, Cinta kasih dan kasih sayang), (4) Hifz al-Nasab (memelihara nasab/garis keturunan), (5) Hifz al Tadayyun fi al-usrah (memelihara keberagamaan dalam keluarga), (6) Tanzim aljanib al- mu’assasi li al-usrah (mengatur aspek-aspek dasar dalam keluarga), (7) Tanzim aljanib al-mali (mengatur finansial/keuangan dalam keluarga).

Di antara ketujuh poin yang menonjol dalam ruang lingkup keluarga kaitannya dengan childfree adalah Hifz al-Nasl (memelihara keturunan atau keberlangsungan kehidupan manusia). Syariat mengkonfirmasi bahwa hubungan dengan lawan jenis selalu dimaksudkan untuk mereproduksi atau menghasilkan keturunan; ini dianggap sebagai sunnatullah bagi manusia, hewan, dan tumbuhan. Memiliki seorang anak merupakan sebuah dambaan bagi setiap pasangan dan sudah menjadi naluri yang melekat pada setiap pasangan, sudah menjadi fitrah bagi sebagian besar manusia di muka bumi ini untuk memiliki seorang anak, dimana salah satu tujuan dari pernikahan yakni menjaga keturunan, yang justru bertolak belakang dengan prinsip yang dipegang oleh para peganut childfree.

Salah satu faktor yang melatar belakangi seseorang atau pasangan untuk memilih childfree adalah karena faktor ekonomi dan budaya. Pengaruh dari faktor ekonomi dan budaya sendiri memiliki dampak yang besar terhadap mental diri sendiri dan perkembangan anak. Pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak karena faktor ekonomi beranggapan bahwa mereka telah menyelamatkan satu individu yang akan lahir dari garis kemiskinan. Selain itu, memiliki anak bukanlah jangka waktu yang pendek sehingga ekonomi dan kesiapan mental harus siap secara matang.

Jika dianalisis dengan Maqasid syariah Jamaluddin ‘Atiyyah dalam ruang lingkup keluarga, keputusan untuk tidak memiliki anak ini merupakan suatu hal yang bertentangan dengan syariat dan tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh syariat, dimana salah satu dari tujuan pernikahan yakni mengharapkan hadirnya seorang anak, dengan maksud untuk melanjutkan keberlangsugan hidup manusia dan menjaga dari kemusnahan. Apabila fenomena childfree ini terus berkembang tentunya akan berdampak buruk bagi keseimbangan bumi karena tidak ada yang mengelola.

Kasus childfree ini banyak yang dilatar belakangi dengan alasan-alasan yang bertolak belakang dengan syariat, seperti menganggap anak sebagai beban, anak akan menghambat karir, menggangu mobilitas kerja, anak membutuhkan biaya yang banyak dalam mengurus, ketakutan terhadap masalah finansial.

Perspektif maqasid syari'ah, pilihan keluarga tanpa anak tidak dianjurkan. Dalam ruang lingkup keluarga dalam maqasid syari'ah, pemeliharaan keturunan atau perkembangbiakan dianggap penting untuk menjaga kelangsungan umat manusia. Memiliki anak dianggap sebagai dambaan dan fitrah yang melekat pada setiap pasangan, dan salah satu tujuan pernikahan adalah menjaga keturunan.

Lalu kesimpulan yang dapat diambil dari kedua perspektif ini adalah, pelaku childfree menurut pandangan Maqasid Syari’ah Jamaluddin ‘Athiyyah jelas tidak sesuai dengan syariat Islam yang menganjurkan pemeluknya untuk tetap melestarikan peradaban manusia di muka bumi dengan cara memiliki keturunan. Namun, karena kembali pada keputusan childfree yang merupakan hak bagi setiap orang untuk memilih, maka mereka tetap memiliki hak untuk diperlakukan adil dan tanpa diskriminasi.

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA