Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Organisasi Itu Skill Development atau Budak Korporat

Foto oleh Moostocker, diunduh melaluui istockphoto.com

Penulis: Naufal Zaidan Aryunsah (Anggota Bidang Riset Pengembangan dan Keilmuan, PK Ibnu Rusyd)       

Lama kepengurusan organisasi mahasiswa bisa dibilang cukup memakan waktu, bisa satu tahun, dua tahun atau bahkan lebih dari itu. Selain masa kepengurusan yang lama, organisasi mahasiswa juga menjadi tantangan dalam membagi waktu untuk kuliah, liburan, atau mungkin memulai karir sejak mahasiswa. Hal itu bisa dimaklumi karena organisasi mahasiswa itu begitu banyak agenda seperti rapat, kajian, seminar, ospek, kunjungan, pengabdian, pameran, maupun konser. Dengan padatnya program kerja itulah, banyak mahasiswa yang jenuh, lelah, atau cukup keteteran menangani tugas kuliah bahkan rela mengabaikan pengembangan diri dari karena fokusnya terdistraksi pada pengembangan organisasi.

Sebenarnya masih banyak mahasiswa yang ikut organisasi tapi tidak bisa menemukan potensi dasar pada dirinya sendiri. Komunikasi persuasif dari organisasi yang ditawarkan berupa public speaking, relasi, leadership, dan lain sebagainya cuma sekedar seni mengelabuhi mahasiswa baru agar berminat meramaikan organisasi. Bukti nyata hasil dari ikut organisasi mungkin cukup menambah relasi, namun relasi itu hanya berlaku dalam menjalankan agenda atau program kerja organisasi, sedangkan esensi positif dari relasi harusnya semakin relasi bertambah semakin berkembang pula proses rekam jejak diri sendiri.

Perkembangan mahasiswa selama mengikuti organisasi masih perlu dipertanyakan, sebab perkembangan diri sendiri tidaklah relevan jika bergantung sepenuhnya pada aktivitas organisasi. Boleh saja kalau kita bangga dengan organisasi karena pernah belajar manajemen organisasi, sikap kepemimpinan, cara mengambil keputusan, hingga sebisa mungkin mengupayakan perkembangan organisasi. Tapi segenap ide maupun tindakan yang kita tuangkan diorganisasi itu masih belum sepenuhnya kita implementasikan pada diri sendiri. Hal ini tampak dari citra diri mahasiswa yang belum menonjolkan hasil upayanya sendiri baik dari segi proses, hasil dari minat, prestasi, maupun ciri khasnya dalam menjalankan peran.

Hal wajar yang jadi sisi aib organisasi adalah, menerima rasa lelah, jam tidur berantakan, jadwal istirahat terganggu, beban pikiran, ada pula yang membuat mahasiswa tumbang. Perasaan itu juga menjadi faktor kalau mahasiswa tidak ingin lanjut pada kepengurusan. Alasan mendasar menurunnya semangat organisasi bukan karena faktor lelah pada kepengurusan, melainkan ada keraguan pada diri sendiri yang dirasa belum merasakan efek organisasi itu pada perkembangan diri sendiri, selain itu pula tentu ada hambatan tersendiri dari individu ketika hendak melanjutkan organisasi, yaitu pilihan mengorbankan waktu dan karir demi organisasi atau mengorbankan organisasi demi karir dan pengembangan diri sesuai minatnya.

Peminatan di organisasi mungkin tak sejalan dengan ekspektasi kita. Organisasi itu melihat peminatan hanya sebatas ketertarikan untuk terjun menangani tupoksi, sedangkan kemauan individu yang sebenarnya adalah menemukan kecocokan minatnya dengan kebutuhan organisasi. Contohnya ketika mahasiswa ingin bergabung di organisasi dengan minat public speaking tapi realitanya, dia diposisikan sebagai divisi kewirausahaan, selain itu ada mahasiswa yang ingin mencoba jadi public relation pada susunan kepanitiaan, namun keinganan berbelok karena keputusan pimpinan memposisikannya sebagai divisi logistik.

Peran mahasiswa di organisasi belum tentu linear dengan minatnya, hal ini terjadi karena organisasi itu berorientasi pada tingkat kompeten personal dalam menjalankan tugas yang dibutuhkan organisasi beserta kegitan pada program kerjanya. Organisasi itu mengamati berdasarkan kompeten tanpa memperhatikan minat, pengamatan berdasarkan kompetennya individu dilakukan secara transparansi, sehingga tidak ada celah untuk mengkomunikasikan antara minat dengan kompeten yang diharapkan oleh mahasiswa. Meski organisasi itu bisa dikatakan sebagai ruang belajar atau berproses, namun kenyataannya organisasi itu tempat yang mengatur sekaligus cenderung mengikat kompeten mahasiswa untuk bergerak di bidang yang ditentukan oleh organisasi, bukan oleh kemauannya sendiri.

Ada kemungkinan kalau diri sendiri atau teman yang ingin mengajukan diri untuk andil di bidang atau pengurus yang dia inginkan, namun permiantaan itu ditolak oleh pimpinan dengan alasan memperhatikan kompeten pada bidang organisasi maupun kegiatan. Tentu ada rasa jenuh bahkan mengklaim diri sendiri terhambat meraup pengalaman, karena setiap kali kegiatan selalu mendapat jobdesk yang sama, contohnya sekali jadi PDD terus jadi PDD sampai lengser atau mungkin pernah merasa selalu jadi yang paling berat karena ditetapkan jadi tim logistik apapun kegiatannya. Itu merupakan bukti bahwa organisasi memiliki kecenderungan mengatur kompeten bukan pada minatnya melainkan pada pekiraan untuk menyukseskan sebuah kegiatan.

Tidak ada salahnya kalau di organisasi kita beranggapan kalau yang terpandang dan bisa merasakan keuntungan sekaligus tantangan dari organisasi hanyalah Badan Pengurus Harian dan Ketua departemen, karena aktor organisasi itulah yang paling identik sebagai pengungsung berjalannya arus organisasi. Sedangkan pada aktivitas lain, ada anggota organisasi yang punya stigma sebagai budak korporat, mereka ialah orang yang kerap atau selalu mendapat jobdesk mengurus perlengkapan. Divisi logistik memang kental dengan sebutan "tukang" atau "babu" aktivitas mereka yang angkut serta menata barang barang, berbeda dengan divisi kepanitiaan lain yang punya tingkat keahlian berupa soft skill, divisi logistik justru mengandalkan tenaga. Hal ini tentu mengundang pernyataan negatif, kalau pengalaman angkut barang di organisasi juga bisa dilakukan oleh orang yang tidak kuliah, rekam jejak angkut-pindah barang juga kurang berguna untuk upgrade CV, apalagi dugaan kalau yang kerja mengurus barang itu tingkat pekerjaan paling rendah bahkan terkesan tak terpandang karena identik pada orang suruhan.

Jadi kesimpulannya, apapun yang kita jalani di organisasi harus tetap kita terima dengan pikiran yang positif, dan yang perlu diingat, organisasi bukan satu satunya tempat pengembangan diri, menambah pengalaman, atau mencari relasi. Semenarik apapun tawaran organisasi, sebesar apapun acara organisasi, seprofesional apapun pengurusnya, atau sebagus bagusnya citra organisasi, kita tidak boleh fokus disitu saja, kalau kita ingin ruang untuk berkembang maka carilah agenda yang mampu menunjang pengembangan diri, ruang untuk meningkatkan keterampilan atau menerima hal baru bisa ditemukan di komunitas, paguyuban, magang, volunteer, kursus privat, membuat karya secara otodidak atau belajar dari orang yang berpengalaman.

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA