Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bahaya Normalisasi Penyimpangan Beragama

 

Gambar diambil dari pixabay.com
Gambar diambil dari pixabay.com 

Penulis : Zahid Annaufal (Kader PK IMM Al-Farabi)


Tak dapat dipungkiri, saat ini entertainment merupakan pusat dari segala hal yang menjadi kiblat manusia dalam menyikapi sesuatu. Dapat kita amati pada peristiwa 212 yang terjadi di Jakarta, saat Basuki Tjahja Purnama (Ahok) menyinggung tentang umat Islam yang begitu diaturnya untuk selektif dalam memilih pemimpin yang termaktub pada Surah Al-Maidah ayat 51, yang mana kitab ini adalah benda yang senantiasa menjadi entertainer bagi kita umat Islam sebagai panduan dalam hidupnya. Isu ini menjadi ramai diperbincangkan yang disebut bukan isu politik semata, tetapi juga penistaan agama yang bahayanya bilamana umat Islam yang belum kokoh keislamannya akan terpengaruh dan melakukan respons yang diharapkan penista. Sehingga mengundang jutaan jiwa untuk tergabung pada aliansi tanpa memandang kelompok (yang bahkan biasanya tak ada habis-habisnya bertikai tentang masalah sepele) untuk menentang penyimpangan yang terjadi. Dan ini belum penyimpangan beragama, namun masih pada penyimpangan sikap penganut agama lain yang bertindak sesuatu yang sifatnya salah kamar.

 

Lantas bagaimana dengan penyimpangan beragama, khususnya Islam? Apakah karena sebegitu sempurnanya ajaran Islam sehingga tidak ada penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalamnya? Tentu tidak. Sebelum membahasnya lebih dalam, perlu kita tanamkan bahwasanya dalam menentukan acuan dalam beragama adalah melihat pada Islamnya bukan Muslimnya. Sebab Islam sendiri sudah sempurna, namun seorang muslim tidak akan pernah luput dari salah dan dosa. Perlu kita sepakati bersama bahwa ajaran Islam turun sejak zaman Nabi Adam, bukan sesuatu yang baru dari Nabi Muhammad karena seringkali kekeliruan ini terucap dari banyak kalangan, baik dari muslim sendiri maupun nonmuslim.


Dari zaman dahulu, penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada umat-umat nabi terdahulu memiliki kesamaan latar belakang, yaitu pertama, desakralisasi agama. Pelaku penyimpangan ini ialah mereka yang memiliki kepentingannya yang tidak lagi menganggap agama itu sesuatu yang sakral. Maka sampul ajaran yang diberikan merupakan apa yang mereka inginkan sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Sehingga menyebabkan masyarakat memandang yang benar adalah salah dan yang salah adalah benar. Sebagaimana di masa jahiliyyah dibuat aturan untuk thawaf dalam keadaan telanjang, boleh berpakaian asal pakaian-pakaian yamg dibeli dari mekkah sehingga merugikan banyak masyarakat. Hal ini terjadi karena agama tidak lagi dianggap penting dalam menjalani kehidupan, muamalah bahkan syariat. Bahkan mereka berlindung di balik agama yang dianggap sakral untuk kepentingan pribadi semata.


Kedua, egosentris. Egosentris adalah awal dari segala pemikiran dalam menentukan kompas moralitasnya yang menjadi normalisasi penyimpangan agama. Sifat egosentris akan berlindung dibalik toleransi dan moderasi sehingga pelaku penyimpangan akan menuntut untuk dihargai keberadaannya (penyimpangannya) karena mereka memiliki referensi sendiri dalam menentukan pilihannya. Dalam konteks ini, furqon sebagai sifat alquran dipertaruhkan. Akan menjadi abu-abu sesuatu haq dan bathil sehingga bukan lagi menjadi moderat namun menjadi umat yang tidak lagi punya prinsip. Sesuai dengan misi dajjal ketika turun ke bumi, yaitu menetralkan nilai-nilai yang ada, yang menimbulkan kebingungan bagi manusia dalam menyatakan responsnya. Perlu digarisbawahi, moderat dan toleransi itu soal adab dan muamalah, bukan tentang aqidah dan moral.


Sehingga miris sekali melihat manusia semacam ini, bahkan akan lebih sulit berhadapan dengan 'pelaku' normalisasi penyimpangan ketimbang pelaku penyimpangannya. Maraknya haus rispek LGBT dan non binary, dehumanisasi; genosida karena tanah yang dijanjikan di palestina, serta terdamparnya rohingya dengan embel-embel islam ke indonesia merupakan gambaran desakralisasi agama dan egosentris yang tinggi, sehingga agama tidak lagi menjadi suatu acuan dalam kehidupan namun menjadi tameng kepentingan individu maupun kelompok.


Sebagai penutup, kami akhiri dengan berpesan apa yang telah kami dapat yaitu tetap pelajarilah ilmu kejahatan (ilmu maling, sihir, dan lain sebagainya) namun tidak dengan terjun di dalamnya

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA