Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hindari Alasan Personal Branding Tanpa Konsistensi

 

Foto oleh Castorly Stock, diunduh melalui Pexels.com

Penulis: Naufal Zaidan Aryunsah (Anggota bidang RPK PK IMM Ibnu Rusyd)

Memiliki bakat, keterampilan khusus, pencapaian, pengalaman berharga, bahkan jabatan merupakan keberuntungan tersendiri yang mendatangkan dorongan pribadi untuk menetapkan personal branding. Mayoritas orang mengakui kalau personal branding itu kebutuhan primer sekaligus langkah positif dalam merintis sebuah proses atau memamerkan hasil yang pernah dilakukan oleh individu. Personal branding bisa pula disalah pahami sebagai bentuk kepercayaan diri yang berlebih, bahkan orang yang tidak mengenal makna personal branding pun bisa saja menafsirkannya sebagai wujud kesombongan.

Kita mungkin pernah melihat profil sosial media teman yang bertuliskan "writer, public speaker, MC, moderator, student, atau berbagai peran yang bersangkutan dengan status kehidupannya." Adanya penyematan status pada bio sosial media membuat kita berpikir bahwa seseorang itu punya sisi keistimewaan atau citra tersendiri yang membuat pelihatnya kagum. Personal branding di era saat ini menjamur antara kebutuhan dan obsesi bagi kalangan muda.

Meski secara pengertian, personal branding merupakan reputasi pada diri sendiri atau citra yang terbawa pada diri seseorang, namun jika dikenali lebih dekat, personal branding justru bisa disimpulkan sebagai pencitraan. Stigma pencitraan sering dicap sebagai upaya mempengaruhi publik dengan tindakan menonjolkan etika maupun peran, bahkan ada kemungkinan dari sebagian orang kalau pencitraan adalah sisi bohong seseorang agar mendapat nilai lebih dari publik.

Personal branding tentu butuh ditinjau lebih dekat oleh orang lain guna memastikan kebenaran personal branding itu karena konsistensinya dalam menjalankan peran, memiliki kedudukan tertentu, atau cuma obsesi agar terlihat menarik. Setiap orang tentu mempunyai kebanggaan atas apa yang dijalani atau dimiliki olehnya, karena hal itulah timbul kemauan untuk menonjolkan reputasi hidupnya. Dalam hal ini personal branding tidak melulu dilakukan secara proses pendekatan langsung pada publik atau membuat konten pada media sosial mengenai pengalaman hidupnya, melainkan penyantuman riwayat hidup pada sosial media.

Keterkaitan personal branding dengan konsistensi dapat dinilai secara interaksi primer, atau dalam pengertian sosiologi yaitu melibatkan adanya pertemuan secara langsung dan tanpa perantara. Aspek yang diamati umumnya, cara berbicara, cara berpenampilan, cara berperilaku, kebiasaan yang ditonjolkan, maupun pembawaan peran pada bidang yang dikuasainya. Contohnya, ketika kita melihat pribadi yang berpenampilan formal, tampil berbeda, dan membuka ruang pada diri sendiri lalu menjalankan peran sebagai public speaker atau apabila kita melihat ada orang yang lebih banyak diam, cenderung sendiri, menghadap alat elektronik, dan ketika tahu rupanya seseorang itu menunjukkan sebuah hasil dari perannya sebagai desain grafis ataupun penulis.

Bisa dikatakan jika personal branding memang bermula dari sesuatu yang dijalani oleh pribadi masing-masing berdasarkan apa yang pernah dilakukan dan apa yang sedang ditekuni.  Keberlanjutan dari pengalaman hidup, peran, pencapaian, bakat dan hasil, adalah personal branding yang diciptakan oleh kehendak individu. Personal branding itu beragam, bisa berwujud dokumentasi, penyematan status, informasi melalui mulut ke mulut dan segala aktivitas lain yang bertujuan membuktikan kapasitas diri sendiri kepada publik.

Namun personal branding juga harus punya pertimbangan dalam pengakuannya. Personal branding tidak bisa dilakukan semena-mena atau cuma berdasarkan pengakuan diri sendiri, sebab orang lain juga berhak menilai diri kita. Mungkin kita pernah mempublikasi tulisan, talent kebutuhan konten, menjadi pembicara, pengajar, atau bahkan memiliki gelar. Secara riwayat pengalaman atau rekam jejak, kita boleh memasukkannya pada sebuah portofolio maupun CV, namun secara personal branding, rekam jejak itu seharusnya tidak perlu dicantumkan apabila kita tidak konsisten dalam melakukan peran, tidak punya komitmen dalam menekuni pekerjaan yang kita buat, atau sesuatu yang kita eksekusi sekiranya tidak mendapat penghargaan maupun popularitas.

Menghindari personal branding bukanlah pilihan yang sepenuhnya salah jika dilakukan. Sebab kita juga perlu membiasakan sadar diri sebelum percaya diri, esensi personal branding bukanlah menonjolkan keahlian atau menyematkan sebuah pengakuan, namun personal branding yang tepat adalah ketika individu bisa mempertanggungjawabkan dari apa yang telah dia lakukan dan hasil dari prosesnya bisa dijadikan bahan pembelajaran sekaligus pengalaman untuk diajarkan kepada khalayak yang berkebutuhan. Perlu diingat lagi, bahwa reputasi diri atau rekam jejak yang tertulis di media sosial tidak punya kemungkinan besar untuk membuat publik percaya, apabila diri kita sendiri tidak punya konsistensi dalam bertindak lanjut. Personal branding yang terbukti sekaligus terpercaya juga tidak berorientasi secara verbal maupun tekstual, melainkan bukti berupa dokumentasi maupun suara dari orang sekitar yang menaruh persepsi positif pada diri kita.

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA