Menulis Sebagai Seni Mengabadikan Diri
![]() |
Foto oleh Ylanite Koppens, diunduh melalui Pexels.com |
Penulis: Naufal Zaidan Aryunsah (Anggota Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PK IMM Ibnu Rusyd)
Menulis adalah kegiatan yang telah kita kenal sejak dini, praktiknya pertama kali diajarkan di lingkungan keluarga lalu berlanjut diajarkan pada sekolah usia dini.
Kebanyakan
orang berpikir kalau menulis adalah kemampuan kecil atau kemampuan dasar yang
tak disadari pentingnya menulis secara linear maupun menulis sebagai minat
bakat yang bisa tertanam pada individu. Apalagi
filosofis menulis pada kehidupan merupakan pernyataan langka yang hampir tak
dikenali oleh orang-orang, bahkan orang yang lulusan
sederajat maupun orang yang punya gelar akademik sekalipun.
Seni
yang paling konsisten diajarkan selama di sekolah adalah menggambar dan
mewarnai. sedangkan menulis tidak dianggap sebagai seni, melainkan sebagai
tindak lanjut untuk merangkum materi, menjawab soal ujian, dan mengerjakan
tugas harian.
Lantas
karena kebiasaan yang diterapkan di lembaga pendidikanlah yang menyebabkan
sumber daya manusianya kurang memiliki kesadaran bahwa menulis itu seni,
melainkan menulis diasumsikan sebagai kepentingan untuk mengerjakan tugas, dan
metode kepenulisan pun sangat jarang diperhatikan, sebab yang mereka tulis
tidak sepenuhnya terdorong oleh akal, melainkan langkah praktis dalam
menyelesaikan pekerjaan menggunakan kemudahan teknologi masa kini untuk disalin
lalu susunan kalimatnya dirubah.
Mengabadikan
tulisan diatas kertas adalah fenomena yang telah ada sejak zaman dulu sampai
sekarang. hasil tulisan tangan maupun tulisan elektronik yang tertera pada
kertas rupanya bukan jadi jaminan bahwa tulisan tersebut dapat terawat oleh
perkembangan zaman. Faktanya, tulisan di atas kertas menjadi hal sia-sia,
penumpukan kertas berisi catatan pelajaran, kumpulan soal dan materi pada
bidang pendidikan justru banyak yang berakhir menjadi bahan rongsokan, bungkus
makanan, bahkan dibakar untuk mengurangi penumpukan berkas di rumah.
Realitas
ini memang terjadi bukan karena orang-orang itu acuh pada literatur yang
tertulis. melainkan pemikiran praktis yang beranggapan bahwa menyisihkan benda
tak lagi dibutuhkan seperti buku, majalah, koran dan literasi cetak lainnya
adalah upaya mengurangi penumpukan barang di rumah.
Mengabadikan
diri melalui tulisan adalah maksud dari perwujudan berkarya dengan tekun
melalui tulisan tulisan yang bertujuan untuk menggugah apresiasi dan evaluasi
publik, bukan untuk kepentingan diri sendiri. Tulisan yang abadi tidak ditulis
berdasarkan paksaan, keinginan semata, dan keperluan untuk mencari nilai demi
strata sosial atau pendidikan.
Menulis
untuk keabadian dimaksudkan dalam konteks karya yang diakui dan dinyatakan
layak untuk dikonsumsi oleh publik. upaya menulis untuk kebadian contohnya:
menulis buku dan menulis majalah yang penerbitannya berwenang untuk menyimpan
karya tersebut pada perpustakaan nasional, toko buku resmi, dan percetakan yang
dilakukan secara berkala sesuai target pasar.
Contoh
tersebut berlaku untuk hasil karya tulis yang berwujud media cetak atau
konvensional. Sedangkan menulis untuk keabadian pada media digital contohnya:
publisitas segala macam artikel maupun jurnal. Karya tulis yang termuat pada
media digital tentu memiliki keunggulan yang lebih baik, selain aksesnya
praktis dan efisien, karya tulis tersebut juga lebih terlindungi, eksistensinya
tahan lama, dan tidak memiliki kemungkinan rusak, hilang, atau dimusnahkan.
Berkreasi
dengan tulisan yang terpublikasi sebagai buku, majalah, atau karya tulis yang
termuat pada redaksi di media online rupanya jadi kebanggan tersendiri
bagi orang-orang yang menjadikan menulis sebagai hobi atau minatnya.
Tak
cukup pada publisitas tulisan, adapun pemberian apresiasi dan evaluasi oleh
publik pada karya tulis seseorang itu dinggap hal yang membangun citra positif
terhadap tulisan. karena ada kemungkinan besar, bahwa orang yang memiliki
komitmen menulis akan merasa jika apresiasi pada tulisannya itu penting untuk
memupuk kepercayaan diri dan merasa tulisannya dihargai oleh orang lain,
sedangkan evaluasi pada tulisan akan dianggap oleh penulis sebagai praktik pada
literasi, yang mana setiap karya butuh nilai, saran, dan kritik dari pembaca
agar penulis bisa termotivasi.
Mengabadikan
diri melalui tulisan bukanlah hal mudah, sebab hanya tulisan yang memiliki
kualitas tertentu yang bisa diedarkan kepada publik melalui media online
seperti blog dan website atau media cetak seperti buku maupun majalah.
Menulis sebagai wujud keabadian diperlukan proses berpikir yang konsisten serta
tanggap dalam mencatat setiap ide yang muncul.
Apabila
kita punya keinginan untuk menerbitkan buku, maka kita harus punya komitmen
tinggi dalam menulis guna manajemen waktu, memeras pikiran, lalu tantangan
terberat itu mengendalikan mood. Sama halnya menulis di media online,
hanya saja tantangannya tidak sekedar mengandalikan mood untuk menulis,
tapi harus bisa memperkirakan kriteria tulisan yang diminta oleh redaksi,
karena jenis tulisan berupa berita, opini, esai, dan puisi memiliki syarat dan
ketentuan yang berlaku sesuai wewenang redaksi.
Menulis
bisa disimpulkan sebagai keterampilan lunak yang butuh proses dan punya
tantangan dalam eksekusinya. Menulis bisa dikatakan sebagai minat dan dinilai
sebagai bakat dari seseorang. Keuntungan dari menulis itu, guna menambah rekam
jejak portofolio, personal branding meningkat, media terisi oleh konten
positif, memiliki nama pena, menjembatani proses penerimaan kerja di industri
media, dan berpotensi mengantar kita jadi public figure atau mentor
kepenulisan di masyarakat.
Adapun
keutaman dari menulis yaitu, nama dan hasil yang abadi. Sebab, ketika tulisan
sudah termuat pada media, redaksi, maupun perpustakaan, maka tulisan tersebut
akan bertahan secara permanen. Keberadaan atau wujud dari karya tulis pun akan
tetap bertahan meski penulisnya telah meninggal dunia.