Tolong Jangan Dibaca
Berkenalan dengan filsafat, penulis yakin bahwasannya hari ini ketika diajak untuk berbicara filsafat paradigma yang muncul 90% adalah jawaban enggan. Hal ini sering kali ditemukan dengan alasan filsafat itu berat, bahasanya rumit sehingga sulit dimengerti, kata-katanya asing, hingga filsafat itu menyesatkan. Tidak heran pandangan-pandangan itu muncul, sebab kemungkinan memang siklus itu yang terbangun saat ini sehingga seakan-akan filsafat itu sulit untuk dipahami. Padahal ketika kita mau membaca dan mencari referensi yang mudah untuk belajar filsafat amat sangat banyak, tinggal apakah kita mau menanggalkan pikiran itu atau sedikit terbuka dan mau belajar filsafat.
Tapi perlu diketahui bahwasannya tulisan ini bukan untuk mengajak para pembaca berfilsafat atau belajar filsafat. Tulisan ini dibuat untuk diri penulis sendiri agar dapat mengikat seperempat tetes ilmu yang dimilikinya (itupun jika ada). Jadi, jangan khawatir apabila para pembaca tidak mau membaca tulisan ini, sebab latar belakang tulisan ini muncul hanya sebatas pengikat atau refleksi dari penulis.
Keingintahuan yang disebut juga dengan “koriositas” merupakan acuan bagi penulis agar dapat melangkah lebih jauh, bukan karena kesombongan atau pamer. Sebab pada dasarnya ilmu itu ibarat udara, ia begitu banyak di sekeliling kita, kita bisa mendapatkannya dimanapun dan kapanpun (Sokrates). Untuk mendapatkannya tentu tidak serta-merta layaknya menghirup udara sebagai rutinitas bertahan hidup, namun perlu adanya keinginan yang besar untuk merasa ingin tahu hal-hal yang ada di sekeliling kita. Apalagi hari ini sangat mudah mengakses informasi melalui handphone yang kita genggam, sehingga tidak ada alasan kiranya untuk tidak tahu dan sulit mencari tahu.
Jika dibandingkan dengan ribuan tahun yang lalu, yaitu sebelum adanya teknologi tepatnya sebelum eranya sokrates sangat berbeda 180 derajat layaknya langit dan bumi. Yaitu di mana eranya Thales yang muncul sebagai orang yang dikenal pertama dengan pendobrak pikiran mitologi dan diubah ke arah rasional sentris yang berpusat pada akal. Peralihan ini tentunya bukan serta merta karena sebab yang tidak jelas, melainkan hal ini dilatarbelakangi oleh rasa ingin tahu dan terlepas dari pikiran yang supralogis atau mistik.
Walapun pemikiran Thales ini masih dianggap sebagai dugaan dan cenderung mengada-ada, namun hasil yang dilahirkan memiliki efek yang luar biasa. Pertumbuhan pemikiran yang beracuan pada akal atau logika membuahkan hasil yang dapat diterima dan dibuktikan secara nyata (empiris). Hal itu pula yang salah satunya dapat memperkuat keyakinan seseorang terhadap sesuatu. Dampak yang dapat dirasakan hari ini adalah berkaitan pula dengan kemajuan zaman yang ditandai salah satunya dengan perkembangan teknologi.
Saya kira para pembaca sudah tau mengenai pemikiran Thales tentang kosmosentri (ilmu yang mempelajaran tentang alam semesta). Pemikiran itu ditandai oleh sebuah pertanyaan tentang asal mula alam semesta, dari mana asal muasal alam semesta muncul? Penulis yakin bilamana pertanyaan ini diajukan kepada kita, maka jawaban yang akan kita berikan bersifat supralogis atau mistik, sebab memang itu yang ditanamkan kepada diri kita sejak kecil. Sehingga hemat penulis tidak ada salahnya bagi kita untuk mempertanyakan itu semua secara logis. Hal ini dilakukan hanya sebatas untuk menambah pengetahuan dan mencoba sedikit terbuka terhadap berbagai kemungkinan.
Eh, semakin kesini
kalimatnya kok semakin nggak baku ya (wkwkwk), kembali lagi ke setelan pabrik.
Oleh aku, dariku, dan
untukku.