Apakah Guru Masih Menjadi Cita-Cita yang Relevan Di Jaman Sekarang?
gambar diambil dari tatkala.co |
Penulis
: Etika Chandra Dewi (Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan Koorkom IMM
UINSA)
Pada
saat kita seusia anak-anak SD ketika kita ditanya apa cita-cita kita? sebagian
besar pasti menjawab guru, dokter atau polisi. Tapi, masihkah guru menjadi
cita-cita yang relevan dijaman sekarang? atau bahkan mahasiswa yang saat ini
sedang menempuh pendidikan untuk menjadi seorang guru profesional, ketika lulus
tetap ingin menjadi guru atau beralih saja menjadi pengusaha yang gajinya
lebih menjanjikan?
Ketika
kita berbicara tentang guru, dalam pasal 1, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen, tertulis bahwa Guru adalah pendidik professional, dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Permasalahan guru menjadi salah satu dari banyaknya masalah pendidikan yang harus segera diatasi. Karena perannya yang sangat vital dalam dunia pendidikan, guru dituntut dapat merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran.
Pengembangan diri guru tak hanya berhenti pada kualifikasi akademik dan kompetensi yang harus sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Namun juga pada pemenuhan kepribadian, kompetensi sosial, dan profesional. Guru secara dengan sadar, harus menguasai kurikulum sebagai kunci dalam proses belajar mengajar dan evaluasi.
Dengan tuntutan tugas dan tanggungjawab yang sebegitu besar seakan tak cukup untuk guru. Mereka masih harus menanggung beban administrasi yang juga sama besarnya. Pembuatan beragam platform pendidikan dan pembelajaran telah menjadi persoalan bagi guru, dosen, siswa, sekolah, dan sistem data pendidikan nasional. Bertambahnya beban administrasi seperti Platform Merdeka Mengajar (PMM) oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim telah menjadi momok menakutkan bagi guru.
Dalam
beberapa kasus dijumpai guru-guru dengan wajah yang serius seakan tidak bisa
diganggu, tengah sibuk dengan laptopnya masing-masing padahal saat itu KBM
sedang berlangsung. Ketika ditanya apakah tidak masuk ke kelas untuk mengajar,
mereka mengatakan sudah memberikan tugas kepada siswa untuk belajar mandiri
karena gurunya juga sibuk sendiri. Guru-guru tersebut bukan tidak ingin masuk
ke kelas untuk mengajar, namun mereka tengah mengurus keruwetan birokrasi
laporan hasil kinerja dan fokus membuka PMM.
Alhasil,
siswa belajar secara mandiri bukan karena memang sudah seharusnya seperti itu,
tapi karena gurunya juga sibuk sendiri. Akibatnya hasil belajar siswa yang
seharusnya menunjukkan pada peningkatan berakhir dengan siswa yang kebingungan
sendiri karena tidak ada bimbingan dan pengarahan yang intensif dari gurunya.
Pernah
juga penulis jumpai dalam unggahan di sosial media oleh salah seorang guru
matematika, dimana Beliau berpesan kepada sesama guru lainnya untuk tidak
menelantarkan peserta didik hanya karena para guru sibuk sendiri. Sibuk
webinar, PMM, pelatihan dan lain-lain, sedangkan siswa rindu dengan kehadiran
gurunya di kelas. Karena bagaimanapun siswa tersebut adalah tanggungjawab
mereka.
Kita
seakan harus mengembalikan fungsi guru sebagai seorang pendidik, bukan sebagai
administrator. Guru bukan hanya bertugas untuk mengajar atau mencari bahan
materi. Guru juga dituntut dengan banyaknya laporan, modul ajar, bahkan sampai
ekstrakulikuler. Belum lagi dengan tingginya tuntutan dari sekolah dan para
orang tua hingga tak jarang sebagai bahan kekesalan orang tua ketika anaknya
“gagal.”
Beberapa
permasalahan nyata seperti yang terjadi diatas adalah sebagian kecil dari
penyebab banyaknya orang yang sudah tidak lagi menjadikan guru sebagai
cita-cita mereka. Apalagi dengan laju perubahan dan perkembangan di era global
ini yang menuntut manusia agar mengembangkan kompetensi untuk hidup, bekerja,
dan memanfaatkan peluang serta partisipasi yang jauh lebih kompleks.
Di
Indonesia, jika ingin diakui sebagai guru profesional dan sah untuk mengajar,
haruslah memiliki sertifikasi PPG (Pendidikan Profesi Guru) yang
diselenggarakan oleh pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2017. Melalui program ini lulusan baru (Fresh Graduate) untuk sarjana
maupun diploma IV, baik dari kependidikan atau non-kependidikan maupun guru
yang sudah terdaftar dalam Dapodik, akan dirancang untuk melengkapi kualifikasi
pendidikan calon guru dan meningkatkan kompetensi pedagogik, sosial,
profesional, serta kepribadian. kemudian baru dapat diakui sebagai guru
secara nasional.
Namun
dalam pelaksanaanya masih banyak lagi yang perlu dibenahi. Mulai dari
persyaratan, pelaksanaan, bahkan sampai kepada tindak lanjut bagi mereka yang
sudah purna mengikuti program ini. Pasalnya, program ini bukan hanya
diperuntukkan kepada sarjana pendidikan melainkan juga untuk non-pendidikan.
Bagaimana bisa lulusan yang sudah bergelut dengan pendidikan selama delapan
semester harus disamakan dengan mereka yang belum pernah bersentuhan dengan
dunia pendidikan.
Hal
ini jelas merugikan bagi mahasiswa yang berkuliah di jurusan pendidikan, karena
mereka harus mengulang lagi materi yang sama pada saat PPG. Mereka yang baru
bergelut dengan dunia pendidikan dalam kurun waktu satu tahun selama mengikuti
PPG sudah bisa disebut layak menjadi guru profesional sedangkan yang
berkuliah pendidikan selama kurang lebih empat tahun masih belum bisa disebut
layak untuk menjadi guru profesional? belum lagi alur yang harus dihadapi oleh
lulusan PPG yang juga masih abu-abu sampai sekarang.
Pemerintah harus lebih serius lagi dalam menangani masalah pendidikan di Indonesia, jika tidak maka akan semakin sedikit generasi muda yang memiliki cita-cita mulia untuk menjadi garda terdepan dalam upaya mengentaskan kebodohan. Kompetensi dan jaminan kesejahteraan bagi guru akan menjadi jaminan untuk menciptakan generasi unggul Indonesia.