Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Intervensi Pasar Bebas Menusuk Sistem Pendidikan

Gambar oleh Radachynskyi, diunduh melalui istock.com

Penulis: Yogaraksa Ananta (Kader PK IMM Avempace)


Sebagai insan yang sadar akan pentingnya pendidikan, kita dituntut untuk berlomba-lomba mencari instansi pendidikan agar tidak terjerumus ke dalam arus terjal kebodohan. Hal tersebut juga diharapkan dapat mengasah intelektual dan kualitas diri. Namun, apakah harapan itu bisa terwujud atau hanya pseudo belaka?

Sejauh pandangan penulis, kebanyakan instansi pendidikan di Indonesia memiliki disorientasi sistem pendidikan, dimana dalam proses pendidikan masih terdapat praktik-praktik pasar bebas. Praktik yang dapat menyulitkan siswa untuk belajar secara merdeka sehingga sistem pendidikan seakan menegaskan orientasi belajar-mengajar yang ideal.

Lalu, apa itu pasar bebas? Iqbal dalam medium.com mengatakan, pasar bebas merupakan suatu aktivitas ekonomi yang berkiblat pada permintaan dan penawaran, aktivitas yang kemudian dapat mempengaruhi tindakan ekonomi dari tiap individu ataupun kelompok. Sedangkan sistem pendidikan yang ideal merujuk kepada suatu terminologi tentang struktur institusi yang tersistemisasi untuk meraih kinerja yang sebaik-mungkin di ranah pendidikan. Namun, terkadang sebuah sistem pendidikan juga memiliki kelemahan yang tidak disadari oleh konsumen itu sendiri –sistem disini diiluistrasikan sebagai sekolahan.-

Sebuah sekolah yang seharusnya menjadi wadah untuk mendidik anak bangsa terkadang menjadi ladang untuk memuaskan perut pemilik modal. Alhasil orientasi untuk mencerdaskan bangsa hanya tekstual belaka. Jika hal tersebut terus menjadi budaya tanpa kita sadari, nahas mau jadi apa sistem pendidikan di negara ini? Dalam worldtop20.org disebutkan bahwa level pendidikan kita berada pada peringkat 67 dari 203 negara, pun juga disebutkan dalam studi Richard Lynn bahwa, tingkat level Intelligence Quotient (IQ) masyarakat Indonesia dinilai masih rendah.

Padahal jika kita merujuk pada pendapat Paulo Freire, pendidikan merupakan salah satu usaha untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia, hal tersebut disandarkan agar manusia terhindar dari penindasan, kebodohan, dan ketertinggalan. Beberapa indikator yang telah disebutkan Freire sepertinya belum termanifestasi dalam sistem pendidikan Indonesia. Hal ini juga penulis asumsikan karena masih banyak siswa atau mahasiswa yang masih merasakan adanya penindasan, kebodohan dan ketertinggalan.

Fenomena seperti ini penulis sebut sebagai akibat institusi pendidikan yang berselingkuh dengan kapitalisme. Dimana Kapitalisme merupakan paham ekonomi yang sistemnya berorientasikan pada keuntungan pemilik modal dan bergerak pada pasar bebas. Jika ditelaah secara fundamental kapitalisme terjun di sektoral jual-beli jasa. Namun, menjadi dilematis ketika kapitalisme melebur dalam institusi pendidikan, bengisnya ketika para siswa menjadi target mereka. Menurut Francis Wahono, kapitalisme pendidikan merupakan arah pendidikan yang dibuat sedemikian rupa sehingga pendidikan menjadi pabrik tenaga kerja yang cocok untuk tujuan kapitalis tersebut.

Kapitalisme pendidikan akan menjadi musuh dalam selimut jika praktiknya terus dilestarikan tanpa ada tindakan represi dari pemerintahan atau kita sendiri. Memang praktik kapitalisme pendidikan kebanyakan terjadi pada sektor sekolah swasta –tidak menutup kemungkinan terjadi juga di ranah institusi sekolah negeri-, karena bagaimanapun juga institusi pendidikan meraup keuntungan untuk membangun fasilitas sekolah dan menghidupi staff yang bekerja di sana. Salah-satunya dari biaya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) yang dibayarkan oleh tiap siswa setiap bulannya, siswa yang tidak mampu membayar akan mendapat tiga opsi; Pertama, membayar SPP ketika siswa tersebut memiliki biaya. Kedua, siswa harus keluar sekolah atau ijazah ditahan oleh sekolah jika tak mampu membayar. Ketiga, siswa berusaha mencari beasiswa.

Pasar bebas lekat dengan aktivitas jual-beli komoditi, namun apa yang terjadi jika pasar bebas itu menyasar lembaga pendidikan? Apakah penggemblengan kualitas siswa akan terus terjadi? Atau matinya kualitas siswa akan terjadi?

Jika kita menelaah secara fundamental pendidikan berorientasi pada kualitas siswa, baik dalam kualitas secara akademik maupun non akademik. Saat ini sepertinya pendidikan di Indonesia berorientasi pada perut sang elite yang ada pada sistem pendidikan. Jika keinginan perut sang elit tidak terpenuhi maka siswa akan sulit untuk mengasah kualitas akademik maupun non-akademik mereka. Dalam hal ini elit bisa di imajinerkan ke pada elit pemegang saham sekolah, elit sekolah dan tenaga pengajar.

Menurut penulis, sistem pendidikan di Indonesia mengalami degradasi dalam pengabdiannya sebagai kolektifitas yang di amanahi untuk mencerdaskan anak bangsa. Penulis disini mengkritik sistem pendidikan bukan hanya pada instansi sekolah negeri saja melainkan instansi swasta juga.

Seberapa banyak siswa di Indonesia yang putus sekolah akibat mahalnya biaya sekolah? Seberapa banyak siswa yang bolos sekolah akibat orientasi sekolah yang tidak menyasar kepada kualitas siswa? Seberapa banyak siswa yang ijazahnya di tahan oleh sekolah karena tidak mampu membayar biaya SPP? Cukup banyak bukan studi kasus seperti itu?

Berdasarkan  Undang-Undang  No. 30  Tahun  2003  tentang  Sistem  Pendidikan Nasional,  pendidikan  adalah  usaha  sadar  dan  terencana  untuk  mewujudkan  suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. (dalam Prayitno, 2009).

Saat ini kita sering mendengar bahwa pemerintah memiliki program ambius untuk mewujudkan Indonesia emas 2045 dan pada tahun tersebut kita memiliki bonus demografi. Bonus Demografi ialah proporsi usia penduduk Indonesia berkisar pada usia produktif (15-60 tahun) akan lebih besar jika dibandingkan dengan usia non-produktif (60 tahun keatas). Namun, menurut penulis hal itu akan menjadi utopis jika sistem pendidikan kita masih carut-marut karena generasi yang disiapkan untuk mengahadapi tantangan Indonesia emas 2045 dan bonus demografi masih belum siap secara kualitas akademik maupun non-akademik, salah satu faktornya akibat dari sistem pendidikan yang berorintasikan pasar bebas dan mengkesampingkan pengabdian untuk mencerdaskan anak bangsa.

Tantangan seperti itu sudah seharusnya menjadi konsentrasi dunia pendidikan Indonesia untuk menyiapkan sistem pendidikan dan tenaga pengajar yang berorientsikan kepada pengabdian untuk mengembleng kualitas akademik dan non-akademik siswa serta mengkesampingkan orientasi kapitalisme sistem pendidikan dan materil diri sendiri.

Pemerintahan Indonesia, khususnya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) seharusnya sudah saatnya melakukan masifikasi revitalisasi sistem pendidikan yang dilakukan oleh instansi-instansi pendidikan di Indonesia. Mengingat, pemerintah akan mempersiapkan anggaran pendidikan sebesar Rp.660,8 triliun atau 20 persen pada APBN 2024.

Menurut penulis, dengan gelontoran dana APBD sekitar Rp. 660,8 triliun oleh pemerintah merupakan sesuatu yang seharusnya bisa dimanfaatkan kemendikbud untuk melakukan pemerataan dan sokongan bantuan dana yang dirasa dibutuhkan oleh instansi pendidikan, sebagai cara untuk meminimalisiir terjadinya siklus pasar bebas sistem pendidikan yang dampak buruknya akan menyasar pada akses anak bangsa yang mengenyam pendidikan. Serta, Instansi pendidikan negeri dan swasta sudah seharusnya melakukan kerjasama dan mengkesampingkan egosentris instansi untuk meraup keuntungan materialistis instansi.

 

Peran Mahasiswa Sebagai Katalisator Revitalisasi Sistem Pendidikan

Untuk melakukan revitalisasi sistem pendidikan menuju ke arah yang lebih baik, sudah selayaknya kita sebagai mahasiswa ikut berkecimpung ke dalamnya dan juga hal ini merupakan langkah implementasi salah satu fungsi mahasiswa yaitu sebagai agent of change. Berkelindan dengan pendapat Paulo Freire, kita tidak asing pada konsesus metodologi kesadaran darinya yang menegaskan bahwa, kesadaran terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu, kesadaran magis, kesadaran naif dan kesadaran kritis.

Kesadaran magis, yaitu ketidakmampuan seseorang untuk mengetahui hubungan berbagai permasalahan peristiwa sosial yang mempengaruhi hidupnya sehingga tidak ada itikad untuk merubah hal itu. Kesadaran naif, yaitu kemampuan seseorang yang mengetahui hubungan berbagai permasalahan peristiwa sosial yang mempengaruhi hidupnya, namun tidak memiliki keberanian untuk bergerak merubah permasalahan. Dan kesadaran kritis, yaitu kemampuan sesorang untuk mengetahui hubungan berbagai masalah sosial yang mempengaruhi hidupnya dan ia mampu untuk merubah permasalahan.

Jika ditarik pada teori kesadaran ala Paulo Freire. Mahasiswa yang menjadi agent of change dan bergerak di ranah katalisator revitalisasi sistem pendidikan, dapat termaktub ke dalam kesadaran kritis. Tentu sebagai mahasiswa menjadi keistimewaan tersendiri jika berjuang untuk bangsanya melalui berbagai cara, apalagi tugas mahasiswa bukan hanya sebagai seseorang yang belajar saja, tetapi juga meleburkan diri sebagai akademisi. Akademisi merupakan penyematan kepada seseorang yang berpendidikan tinggi, intelektualis, seseorang yang menekuni profesi sebagai pengajar dan guru besar di perguruan tinggi. Memang tidak mudah menjadi mahasiswa, banyak anak bangsa yang kesulitan untuk menjadi mahasiswa karena biaya pendidikan perguruan tinggi yang lumayan mencekik.

Sudah selayaknya jika mahasiswa menjadi aktor pergerakan dalam ranah revitalisasi sistem pendidikan. Secara realita memang kebanyakan pergerakan mahasiswa masif pada ranah politik, namun dewasa ini masih minim mahasiswa yang bergerak pada ranah pendidikan, padahal secara fundamental pendidikan merupakan pondasi utama kecerdasan bangsa.

Jika ditarik pada relavansi lelucon mahasiswa, kelakar mereka saat ini telah diromantisasi oleh “info proyekan politik kanda”, “info demo di DPR bolo..”, “info pergerakan politik kanda wkwkwk”, dsb. kelakar tersebut pun sudah mulai menghinggapi pikiran penulis saat ini, yaa.. terkadang penulis sendiri sering membuat kelakar seperti itu. Namun, penulis berharap ada mahasiswa yang menarasikan lelucon tentang kritik sistem pendidkan.

Kita sebagai mahasiswa jika ingin merevitalisasi sistem pendidikan bisa melalui berbagai cara salah satunya seperti menjadi tenaga pendidik. Karena, menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), menyebutkan tiga pihak dalam sistem pendidikan nasional yaitu, Pertama, perserta didik, ialah murid atau siswa yang sedang menempuh pendidikan. Kedua, tenaga pendidik, ialah seseorang yang mengabdikan diri dan diangkat menjadi penunjang penyelenggara pendidikan. Ketiga, pendidik, ialah tenaga pendidikan yang sudah terlegitimasi sebagai profesi seperti guru, dosen, tutor dan lain-lain.

Mahasiswa yang menjadi tenaga pendidik sekaligus memiliki niat sebagai katalisator revitalisasi sistem pendidikan dan mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan bangsa, penulis yakin dengan seperti itu sistem pasar bebas yang menyulitkan siswa untuk mengembangkan potensi kualitas akademik dan non-akademik akan terkikis seiring waktu. Karena menurut penulis, sistem pendidikan yang berorientasikan pada pasar bebas dan tiga pihak (peserta didik, tenaga pendidik dan pendidik) memiliki niatan untuk mengkapitalisasi siswanya, seiring waktu akan terkikis jika ada mahasiswa yang ingin menghilangkan sistem pasar bebas di dunia pendidikan.

Penulis sendiri berharap bahwa, kritikan sistem pendidikan terus terbangun oleh elemen mahasiswa. Khususnya kader-kader IMM UINSA agar berani menyuarakan kritikan –penulis harap, mungkin komisariat yang ada pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan memiliki kritikan yang tajam atas sistem pendidikan.


Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA