Intervensi Pasar Bebas Menusuk Sistem Pendidikan
Penulis: Yogaraksa Ananta (Kader PK IMM Avempace)
Sebagai insan yang sadar akan pentingnya pendidikan,
kita dituntut untuk berlomba-lomba mencari instansi pendidikan agar tidak
terjerumus ke dalam arus terjal kebodohan. Hal tersebut juga diharapkan dapat
mengasah intelektual dan kualitas diri. Namun, apakah harapan itu bisa terwujud
atau hanya pseudo belaka?
Sejauh pandangan penulis, kebanyakan instansi
pendidikan di Indonesia memiliki disorientasi sistem pendidikan, dimana dalam
proses pendidikan masih terdapat praktik-praktik pasar bebas. Praktik yang dapat
menyulitkan siswa untuk belajar secara merdeka sehingga sistem pendidikan
seakan menegaskan orientasi belajar-mengajar yang ideal.
Lalu, apa itu pasar bebas? Iqbal dalam medium.com mengatakan, pasar bebas merupakan suatu aktivitas
ekonomi yang berkiblat pada permintaan dan penawaran, aktivitas yang kemudian
dapat mempengaruhi tindakan ekonomi dari tiap individu ataupun kelompok. Sedangkan
sistem pendidikan yang ideal merujuk kepada suatu terminologi tentang struktur
institusi yang tersistemisasi untuk meraih kinerja yang sebaik-mungkin di ranah
pendidikan. Namun, terkadang sebuah sistem pendidikan juga memiliki kelemahan
yang tidak disadari oleh konsumen itu sendiri –sistem disini diiluistrasikan
sebagai sekolahan.-
Sebuah sekolah yang seharusnya menjadi wadah untuk
mendidik anak bangsa terkadang menjadi ladang untuk memuaskan perut pemilik
modal. Alhasil orientasi untuk mencerdaskan bangsa hanya tekstual belaka. Jika
hal tersebut terus menjadi budaya tanpa kita sadari, nahas mau jadi apa sistem
pendidikan di negara ini? Dalam worldtop20.org disebutkan bahwa level pendidikan kita berada pada peringkat 67 dari 203 negara,
pun juga disebutkan dalam studi Richard Lynn bahwa, tingkat level Intelligence Quotient (IQ) masyarakat
Indonesia dinilai masih rendah.
Padahal jika kita merujuk pada pendapat Paulo Freire,
pendidikan merupakan salah satu usaha untuk mengembalikan fungsi manusia
menjadi manusia, hal tersebut disandarkan agar manusia terhindar dari penindasan, kebodohan, dan
ketertinggalan. Beberapa indikator yang telah disebutkan Freire sepertinya
belum termanifestasi dalam sistem pendidikan Indonesia. Hal ini juga penulis
asumsikan karena masih banyak siswa atau mahasiswa yang masih merasakan adanya penindasan,
kebodohan dan ketertinggalan.
Fenomena seperti ini penulis sebut sebagai akibat institusi
pendidikan yang berselingkuh dengan kapitalisme. Dimana Kapitalisme merupakan paham
ekonomi yang sistemnya berorientasikan pada keuntungan pemilik modal dan
bergerak pada pasar bebas. Jika ditelaah secara fundamental kapitalisme terjun
di sektoral jual-beli jasa. Namun, menjadi dilematis ketika kapitalisme melebur
dalam institusi pendidikan, bengisnya ketika para siswa menjadi target mereka. Menurut
Francis Wahono, kapitalisme pendidikan merupakan arah pendidikan yang dibuat
sedemikian rupa sehingga pendidikan menjadi pabrik tenaga kerja yang cocok
untuk tujuan kapitalis tersebut.
Kapitalisme pendidikan akan menjadi musuh dalam selimut jika
praktiknya terus dilestarikan tanpa ada tindakan represi dari pemerintahan atau
kita sendiri. Memang praktik kapitalisme pendidikan kebanyakan terjadi pada
sektor sekolah swasta –tidak menutup kemungkinan terjadi juga di ranah
institusi sekolah negeri-, karena bagaimanapun juga institusi pendidikan meraup
keuntungan untuk membangun fasilitas sekolah dan menghidupi staff yang bekerja
di sana. Salah-satunya dari biaya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) yang
dibayarkan oleh tiap siswa setiap bulannya, siswa yang tidak mampu membayar
akan mendapat tiga opsi; Pertama, membayar SPP ketika siswa
tersebut memiliki biaya. Kedua, siswa harus keluar sekolah
atau ijazah ditahan oleh sekolah jika tak mampu membayar. Ketiga, siswa berusaha mencari beasiswa.
Pasar bebas lekat dengan aktivitas jual-beli komoditi,
namun apa yang terjadi jika pasar bebas itu menyasar lembaga pendidikan? Apakah
penggemblengan kualitas siswa akan terus terjadi? Atau matinya kualitas siswa
akan terjadi?
Jika kita menelaah secara fundamental pendidikan
berorientasi pada kualitas siswa, baik dalam kualitas secara akademik maupun
non akademik. Saat ini sepertinya pendidikan di Indonesia berorientasi pada
perut sang elite yang ada pada sistem pendidikan. Jika keinginan perut sang
elit tidak terpenuhi maka siswa akan sulit untuk mengasah kualitas akademik
maupun non-akademik mereka. Dalam hal ini elit bisa di imajinerkan ke pada elit
pemegang saham sekolah, elit sekolah dan tenaga pengajar.
Menurut penulis, sistem pendidikan di Indonesia
mengalami degradasi dalam pengabdiannya sebagai kolektifitas yang di amanahi
untuk mencerdaskan anak bangsa. Penulis disini mengkritik sistem pendidikan
bukan hanya pada instansi sekolah negeri saja melainkan instansi swasta juga.
Seberapa banyak siswa di Indonesia yang putus sekolah
akibat mahalnya biaya sekolah? Seberapa banyak siswa yang bolos sekolah akibat
orientasi sekolah yang tidak menyasar kepada kualitas siswa? Seberapa banyak
siswa yang ijazahnya di tahan oleh sekolah karena tidak mampu membayar biaya SPP?
Cukup banyak bukan studi kasus seperti itu?
Berdasarkan Undang-Undang
No. 30 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan
adalah usaha sadar
dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. (dalam Prayitno, 2009).
Saat ini kita sering mendengar bahwa pemerintah
memiliki program ambius untuk mewujudkan Indonesia emas 2045 dan pada tahun
tersebut kita memiliki bonus demografi. Bonus Demografi ialah proporsi usia
penduduk Indonesia berkisar pada usia produktif (15-60 tahun) akan lebih besar
jika dibandingkan dengan usia non-produktif (60 tahun keatas). Namun, menurut
penulis hal itu akan menjadi utopis jika sistem pendidikan kita masih carut-marut
karena generasi yang disiapkan untuk mengahadapi tantangan Indonesia emas 2045
dan bonus demografi masih belum siap secara kualitas akademik maupun
non-akademik, salah satu faktornya akibat dari sistem pendidikan yang
berorintasikan pasar bebas dan mengkesampingkan pengabdian untuk mencerdaskan
anak bangsa.
Tantangan seperti itu sudah seharusnya menjadi
konsentrasi dunia pendidikan Indonesia untuk menyiapkan sistem pendidikan dan
tenaga pengajar yang berorientsikan kepada pengabdian untuk mengembleng
kualitas akademik dan non-akademik siswa serta mengkesampingkan orientasi kapitalisme
sistem pendidikan dan materil diri sendiri.
Pemerintahan Indonesia, khususnya Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) seharusnya sudah saatnya melakukan
masifikasi revitalisasi sistem pendidikan yang dilakukan oleh instansi-instansi
pendidikan di Indonesia. Mengingat, pemerintah akan
mempersiapkan anggaran pendidikan sebesar Rp.660,8 triliun atau 20
persen pada APBN 2024.
Menurut penulis, dengan
gelontoran dana APBD sekitar Rp. 660,8 triliun oleh pemerintah merupakan sesuatu
yang seharusnya bisa dimanfaatkan kemendikbud untuk melakukan pemerataan dan
sokongan bantuan dana yang dirasa dibutuhkan oleh instansi pendidikan, sebagai
cara untuk meminimalisiir terjadinya siklus pasar bebas sistem pendidikan yang
dampak buruknya akan menyasar pada akses anak bangsa yang mengenyam pendidikan.
Serta, Instansi
pendidikan negeri dan swasta sudah seharusnya melakukan kerjasama dan mengkesampingkan
egosentris instansi untuk meraup keuntungan materialistis instansi.
Peran Mahasiswa Sebagai
Katalisator Revitalisasi Sistem Pendidikan
Untuk melakukan revitalisasi sistem pendidikan menuju
ke arah yang lebih baik, sudah selayaknya kita sebagai mahasiswa ikut
berkecimpung ke dalamnya dan juga hal ini merupakan langkah implementasi salah
satu fungsi mahasiswa yaitu sebagai agent
of change. Berkelindan dengan pendapat Paulo Freire, kita tidak asing pada
konsesus metodologi kesadaran darinya yang menegaskan bahwa, kesadaran terbagi
menjadi tiga tingkatan yaitu, kesadaran magis, kesadaran naif dan kesadaran
kritis.
Kesadaran magis, yaitu ketidakmampuan seseorang untuk mengetahui hubungan
berbagai permasalahan peristiwa sosial yang mempengaruhi hidupnya sehingga
tidak ada itikad untuk merubah hal itu. Kesadaran naif, yaitu kemampuan seseorang yang mengetahui hubungan berbagai
permasalahan peristiwa sosial yang mempengaruhi hidupnya, namun tidak memiliki
keberanian untuk bergerak merubah permasalahan. Dan kesadaran kritis, yaitu kemampuan sesorang untuk
mengetahui hubungan berbagai masalah sosial yang mempengaruhi hidupnya dan ia
mampu untuk merubah permasalahan.
Jika ditarik pada teori kesadaran ala Paulo Freire.
Mahasiswa yang menjadi agent of change
dan bergerak di ranah katalisator revitalisasi sistem pendidikan, dapat
termaktub ke dalam kesadaran kritis. Tentu sebagai mahasiswa menjadi
keistimewaan tersendiri jika berjuang untuk bangsanya melalui berbagai cara,
apalagi tugas mahasiswa bukan hanya sebagai seseorang yang belajar saja, tetapi
juga meleburkan diri sebagai akademisi. Akademisi merupakan penyematan
kepada seseorang yang berpendidikan tinggi, intelektualis, seseorang yang
menekuni profesi sebagai pengajar dan guru besar di perguruan tinggi. Memang
tidak mudah menjadi mahasiswa, banyak anak bangsa yang kesulitan untuk menjadi
mahasiswa karena biaya pendidikan perguruan tinggi yang lumayan mencekik.
Sudah selayaknya jika
mahasiswa menjadi aktor pergerakan dalam ranah revitalisasi sistem pendidikan.
Secara realita memang kebanyakan pergerakan mahasiswa masif pada ranah politik,
namun dewasa ini masih minim mahasiswa yang bergerak pada ranah pendidikan,
padahal secara fundamental pendidikan merupakan pondasi utama kecerdasan
bangsa.
Jika ditarik pada
relavansi lelucon mahasiswa, kelakar mereka saat ini telah diromantisasi oleh “info proyekan politik kanda”, “info demo di DPR bolo..”, “info pergerakan politik kanda wkwkwk”,
dsb. kelakar tersebut pun sudah mulai menghinggapi pikiran penulis saat ini,
yaa.. terkadang penulis sendiri sering membuat kelakar seperti itu. Namun,
penulis berharap ada mahasiswa yang menarasikan lelucon tentang kritik sistem
pendidkan.
Kita sebagai mahasiswa
jika ingin merevitalisasi sistem pendidikan bisa melalui berbagai cara salah
satunya seperti menjadi tenaga pendidik. Karena, menurut Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), menyebutkan tiga pihak dalam sistem
pendidikan nasional yaitu, Pertama, perserta didik, ialah murid
atau siswa yang sedang menempuh pendidikan. Kedua, tenaga pendidik,
ialah seseorang yang mengabdikan diri dan diangkat menjadi penunjang
penyelenggara pendidikan. Ketiga, pendidik, ialah tenaga
pendidikan yang sudah terlegitimasi sebagai profesi seperti guru, dosen, tutor
dan lain-lain.
Mahasiswa yang menjadi
tenaga pendidik sekaligus memiliki niat sebagai katalisator revitalisasi sistem
pendidikan dan mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan bangsa, penulis yakin
dengan seperti itu sistem pasar bebas yang menyulitkan siswa untuk
mengembangkan potensi kualitas akademik dan non-akademik akan terkikis seiring
waktu. Karena menurut penulis, sistem pendidikan yang berorientasikan pada
pasar bebas dan tiga pihak (peserta didik, tenaga pendidik dan pendidik)
memiliki niatan untuk mengkapitalisasi siswanya, seiring waktu akan terkikis
jika ada mahasiswa yang ingin menghilangkan sistem pasar bebas di dunia
pendidikan.
Penulis sendiri berharap bahwa, kritikan sistem pendidikan terus terbangun oleh elemen mahasiswa. Khususnya kader-kader IMM UINSA agar berani menyuarakan kritikan –penulis harap, mungkin komisariat yang ada pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan memiliki kritikan yang tajam atas sistem pendidikan.