Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sebuah Balasan atas Argumentasi Matador

 


Gambar oleh Markus Winker, diunduh melalui pexels.com

Penulis: Adi Swandana (Ketua Umum PK IMM Ushuluddin dan Filsafat)


“Tulisan ini menunggu sebuah balasan atas pembelaan yang dianggapnya benar, yang mendukung pemikiran akan gerakan reshuffle dari komisariat yang tak mampu melaksanakan perkaderan dan rapuh dalam gerakan. Daripada berdebat tanpa buah lebih baik tuangkan dalam sebuah karya sebagai cerminan aktivis yang sebenarnya.”

Lebih kurang, begitulah isi paragraf terakhir dari salah seorang kader sesat hebat IMM UINSA –sebut saja namanya Matador– dalam sebuah karya yang berjudul Ketua yang Kehilangan Syahwatnya. Kiranya tulisan ini bukanlah sebagai balasan apalagi pembelaan dari pihak yang beliau kritik habis-habisan, melainkan tak lebih dari sekadar menyapa pembaca khayalan sekaligus menyambung silaturahmi pengetahuan. 

Tulisan ini hendak membagikan pandangan melalui kritik-kritik yang dinisbatkan pada setiap argumentasi dalam karya yang telah disebutkan. Sebelumnya, perlu dipastikan dahulu, apakah pembaca khayalan sekalian masih menganggap kritik sebagai sebuah komentar negatif, cacian, makian, roasting-an, atau bahkan ejekan perkaderan? Kiranya kalau pilihan-pilihan tersebut adalah fakta, tampaknya Wikipedia masih lebih bijak terlepas dari statusnya sebagai sumber yang tidak ilmiah di kalangan mahasiswa.

Mulai dengan kritik pertama, Matador menyebutkan bahwa melepaskan segala yang tidak selaras sama halnya dengan menolak progresivitas. Pernyataan ini sepertinya memang sarat dengan pandangan ideal Matador dalam sebuah organisasi, walau nyatanya hal tersebut bagi penulis tidak bisa dipukul-rata untuk setiap fenomena. Salah satunya adalah isu reshuffle yang menjadi topik utama dalam tulisannya.

Argumentasi Matador tersebut seharusnya mampu untuk dilawan dengan memaparkan banyak fakta yang lebih relevan. Misalnya yang paling gampang, putusnya suatu hubungan sepasang kekasih bukankah karena keduanya memang tidak lagi sejalan; baik pemahaman atau bahkan perasaan? Bukankah keduanya pun merasa percaya bahwa dengan “putus” mereka akan lebih progresif ke depannya; mungkin lebih ingin fokus pada studinya, mengejar karir di dunia kerja, atau mungkin demi menerima lamaran seorang pengusaha besi tua asal Uganda, wkwk.

Jika dirasa argumentasi tandingan di atas kurang valid, coba dengan memaparkan fakta dari internal organisasi kita, Muhammadiyah. Di film Sang Pencerah, bukankah telah digambarkan begitu jelas bahwa langkah progresif Mbah Dahlan dalam merintis persyarikatan berawal dari keyakinannya untuk melepaskan diri atas segala budaya, adat, hingga pemahaman Islam yang menurutnya tidak selaras dengan Al-Qur’an dan Sunnah serta kondisi umat di masanya. 

Kurang valid lagi? Coba juga dibuka kembali buku Kelahiran yang Dipersoalkan milik Farid Fathoni yang menjelaskan IMM dari sejak belum berdiri hingga menampilkan daftar PTM (Perguruan Tinggi Muhammadiyah) yang ada di negeri ini. Sejauh pembacaan penulis tentang buku ini, kelahiran IMM sendiri merupakan bentuk melepasnya sebagian mahasiswa Muhammadiyah yang semula dalam urusan kaderisasi masih diwadahi oleh HMI. Hal ini dikarenakan adanya dugaan bahwa HMI pun mempunyai arahnya sendiri, sedangkan di tubuh Muhammadiyah telah ada kesadaran untuk melaksanakan perkaderan di rana kemahasiswaan secara mandiri. 

Dua fakta yang baru saja dijabarkan adalah sebuah keniscayaan sejarah. Jika Matador masih bersikeras dengan pendapatnya, maka perlu dimunculkan sebuah pertanyaan untuk dijawab bersama-sama. Apakah dengan pendapat Matador dan juga beberapa fakta sejarah yang telah disebutkan sebelumnya menghasilkan suatu kesimpulan bahwa baik Muhammadiyah maupun IMM ternyata selama ini telah menolak progresivitas? 

Sungguh disayangkan apabila kesimpulan seperti itu jatuh dalam pemikiran kader-kader muda yang tidak pernah merasakan pahitnya perjuangan para pendiri hanya demi melakukan agitasi melalui sebuah opini kaderisasi. Oleh sebab itu, kritik pertama ini ditujukan karena merasa pendapat Matador yang satu ini terlihat sangat bias sekali. Padahal masih ada berbagai kemungkinan yang turut melatarbelakangi sebagian pihak yang menghendaki reshuffle di komisariatnya sendiri.

Menurut penulis terkait adanya isu reshuffle ini setidaknya ada tiga asumsi yang menjadi faktor hal tersebut bisa terjadi. Pertama, adanya kader yang benar-benar ingin keluar, sehingga komisariat perlu untuk bertindak tegas melalui adanya reshuffle struktural. Kedua, komunikasi yang kurang maksimal antara anggota komisariat menyebabkan pasifnya seorang kader dalam memberikan kontribusi di organisasi. Ketiga, bisa jadi kader tersebut lebih memilih direshuffle karena merasa IMM sudah tidak dapat lagi memenuhi tujuannya; memberikan kebutuhan atau mengembangkan kemampuan. 

Penulis juga sempat berpikir liar, jangan-jangan tulisan Matador ini hanyalah sebuah sambatan yang dikemas dengan tulisan agar tampak lebih elegan. Maksudnya, mungkin saja Matador ini sebenarnya malas mengurus surat pengajuan reshuffle dari setiap komisariat, namun agar tidak dinilai meninggalkan tanggung jawab dirinya pun mencoba menghasut melalui tulisan agar para pimpinan lebih memilih mengurungkan niat. Bahkan, penulis sempat menduga juga jika argumentasi Matador tersebut bertolak dari pengalamannya dulu ketika masih di komisariat.

Kalaupun benar bahwa argumentasi Matador memang berangkat dari pengalaman pribadinya saat di komisariat justru hal tersebut kurang adil rasanya. Pasalnya, dulu komisariat Matador ini jumlah jajarannya yang masih bisa diajak bekerja sama dapat dihitung hitungan jari. Sudah jelas juga komisariat Matador dulu tidak melakukan reshuffle agar jumlah jajarannya tidak semakin miris ketika dilihat di SK malah seperti KK milik keluarga berencana, wkwk. Bayangkan saja, sudah tau jajarannya cuma bisa dihitung jari malah mau diamputasi lagi.

Ah, tampaknya untuk menulis kritik yang selanjutnya terlalu panjang dalam satu tulisan ini. Tapi tidak apa-apa, semoga kritik ini bisa dilanjutkan oleh pihak yang menghendaki adanya reshuffle demi kemaslahatan komisariatnya. Atau mungkin dapat dilanjutkan juga oleh kader-kader Komisariat Ushuluddin dan Filsafat yang sepertinya mulai hilang kecakapannya baik dalam hal literasi, diskusi, atau sekadar menyusun narasi.

Sekali lagi, tulisan ini tidak lebih hanya untuk menyapa pembaca khayalan dan menyambung silaturahmi pengetahuan. Apa yang telah disampaikan dalam tulisan ini tidaklah menjadi sebuah kebenaran yang mutlak sebagaimana argumentasi Matador di dalam karyanya. Justru melalui saling membalas tulisan bisa menjadi alternatif bagi para kader Ikatan untuk dapat bersama-sama menemukan arti “kebenaran” yang paling relevan. 

Akhir kata, karya murahan ini juga sekaligus ditujukan guna menjawab tantangan Matador seperti halnya dalam paragraf terakhir di dalam tulisannya. Menjadi bukti bahwa setiap argumentasi punyak hak untuk kembali dikritisi. Sebab, penulis benar-benar ingin menjadi seorang “mahasiswa” dan bukan seonar “hamasiswa”. 


Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA