Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lebaran di Rumah tak Beratap

Foto oleh Tim Board, diunduh melalui Pexels.com

Penulis: Dian Prahara Batubara (Kader PK IMM Leviathan)

 

Rabu 10 April 2024 / 1 Syawal 1445 H. Hari ini umat Islam di seluruh dunia merayakan hari kemenangan setelah berpuasa 1 bulan penuh di bulan ramadhan. Allahu Akbar, Allahu Akbar, La ilaha illa Allah, wa Allahu Akbar, wa Lillahi al-hamd. Takbir berkumandang di seluruh penjuru dunia sebagai rasa syukur terhadap tuhan sang pencipta.

Hal ini menjadi agenda tahunan yang sangat di tunggu-tunggu oleh segelintir orang karena menjadi ajang untuk saling memaafkan, melepas rindu, dan memperkokoh silaturahmi. Banyak tradisi-tradisi yang begitu meriah di setiap daerah untuk menyambut kehangatan di hari penuh kebahagiaan ini, semua kelelahan yang dirasakan saat ibadah puasa hilang oleh kehangatan seakan tak pernah terjadi.

Tetapi tidak semua kehangatan hari Raya tersebut dirasakan oleh semua orang, terutama para anak yang tak memiliki atap untuk berteduh lagi. Di momen-momen seperti ini justru mereka malah harus bersabar meratapi keharmonisan para keluarga yang sedang berbahagia. Ada yang orang tuanya telah di panggil oleh sang pencipta, ada juga yang menjadi korban atas keegoisan orang tua.

Lebaran tak lagi menjadi momentum indah yang di tunggu, suara takbir yang agung justru malah menyayat hati, bagai kereta yang membawa ke masa lalu melewati kenangan-kenangan indah yang pernah terjadi. Konten-konten keluarga di media sosial turut andil menyobek luka semakin mendalam. Air gula tak lagi manis karena telah bercampur dengan air asin yang keluar dari kelopak mata.

Mereka bahkan takut untuk menyambut hari kemenangan ini, tidak ada tempat untuk melepas rindu, semakin cemas ketika melihat anak-anak lain yang sedang berkumpul hangat dengan keluarganya, memakai baju baru, dan mendapat uang THR dari para kerabat dan orang tua, ke hampa an mulai merasuk kedalam pikiran dan hati.

Kapal yang mengangkut luka tak memiliki dermaga untuk beristirahat, mencoba mencari kebahagiaan kepada orang sekitar  malah dituduh caper, sok asik, bahkan kerap di anggap mengganggu. Entah kemana mereka akan melampiaskan semua kebingungan-kebingungan yang telah bersarang di dalam pikiran.

Mereka melihat sekeliling dan yang mereka lihat hanya kebingungan, orang-orang berkumpul dengan wajah bahagia dan hati penuh cinta. Mereka lahir dan besar di rumah yang rusak dengan konflik yang tak pernah berakhir. Keadaan membentuk mereka menjadi orang yang pandai berpura-pura, agar orang lain melihat bahwa mereka tumbuh dengan baik.

Mereka bak rumah tak ber atap, tak mempunyai pelindung disaat sinar matahari panas menyengat, tak bisa berteduh di saat langit menurunkan air ke bumi, Tak pantas untuk ditinggali. Mereka berusaha membangun dengan semangat yang baru, tetapi sejatinya tak ada yang bisa untuk di perbaiki lagi. Rumah itu sekarang telah roboh diterpa badai yang tak kunjung usai.

Jika sudah begitu siapa yang harus di salahkan? Siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini? Jawabannya adalah tidak ada, tentu tidak ada yang harus disalahkan. Mencari-cari penyebab akan semua yang telah terjadi hanya akan menimbulkan kebencian yang mendalam terhadap harmonisasi sebuah keluarga, bahkan ada dari mereka yang enggan untuk memulai keluarga baru karena terus-menerus di ikuti bayang-bayang masa lampau yang selalu menghantui

Kita semua punya peran dalam cerita ini. Untuk membantu mereka yang terlupakan dan terpinggirkan. Mereka juga berhak menjadi bintang terang di langit, dan kita semua bisa memberikan mereka kasih sayang. Bersama kita ciptakan dunia yang lebih manusiawi, dimana setiap anak bisa meraih harapannya, tanpa peduli bagaimana dengan latar belakang mereka.

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA