Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nahkoda yang Kehilangan Kapalnya

 

Gambar oleh Tobi, diunduh melalui pexels.com

Penulis: Iskandar Dzulkarnain (Kader PK IMM KUF)


Program from International Student Assessment atau PISA merilis riset terakhir tahun 2022 tentang tingkat literasi dari beberapa negara. Indonesia berada di peringkat 68 dari 81 negara. Hal ini berarti menunjukkan bahwa Indonesia berada di posisi 13 terendah. Skor ini merupakan salah satu fenomena dari berbagai hiruk pikuk kondisi pendidikan di Indonesia, melihat bahwa kualitas literasi menjadi pondasi utama dari keberhasilan suatu pendidikan.

Sebelum menelisik lebih jauh tentang sebab musabab bobroknya pendidikan di Indonesia, kita akan mengarungi lautan konsep pendidikan yang ditawarkan oleh bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro. Menurut Ki Hajar, pendidikan ialah menuntun segala kekuatan kodrat, potensi, dan bakat yang ada pada anak didik sehingga mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Aktivitas pendidikan tidaklah memaksa anak didik untuk melakukan hal-hal di luar kemampuannya, tidak pula mendoktrin anak untuk mengikuti kemauan pendidik, apalagi sebatas alat untuk membanggakan suatu instansi.

Anak-anak tidak lahir dengan menyandang pangkat profesor layaknya robot AI yang menyimpan segudang ilmu pengetahuan. Sebaliknya, mereka lahir layaknya gelas yang belum dibawa ke meja hidangan atau papan tulis sebelum guru datang. Akan tetapi, menurut Ki Hajar setiap anak memiliki potensi atau kodrat yang dibawanya sejak lahir. Bahkan kalau boleh disebut, anak-anak adalah seorang filsuf sejati (Jostein Gaarder), saking suangat keponya akan hal-hal di sekitarnya. Dengan demikian, aktivitas pendidikan ialah membantu si anak mengenali pribadinya dan menemukan potensi dirinya.

Pendidikan yang ditawarkan Ki Hajar ialah pendidikan yang memerdekakan. Anak didik merdeka secara penuh untuk mengembangkan potensi dirinya tanpa adanya intervensi dari pendidik. Sistem pendidikan seperti ini dipraktekkan sendiri oleh Ki Hajar di Taman Siswa yang didirikan olehnya yang kemudian dikenal dengan sistem Among. Sistem tersebut beroerientasi pada pengembangan potensi anak didik dengan semaksimalnya dan penanaman perilaku budi yang luhur nan agung.

Dari situ, tugas pendidik ialah menemani si anak menggali potensi dirinya dan membantu mengembangkan potensi itu semaksimalnya. Pada aspek pendidikan moral, pendidik memberikan contoh tentang apa yang baik dan buruk.  Maka semboyan yang terkenal dari bapak pendidikan kita yang terpampang terang di lambang kementerian pendidikan yaitu “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.”

Eitss sebentar, sampe sini aja ya mengenai lautan konsep pendidikan bapak kita. Coba kembali dulu ke tepian pantai. Lihat sekeliling daratan kita, sepertinya jauh banget dengan yang ada di dalam lautan. Pendidikan di Indonesia sekarang tak semenyenangkan yang dipraktekkan sendiri oleh bapak pendidikan kita. Anak-anak dipaksa untuk belajar semua pelajaran bahkan yang mereka tidak sanggup mempelajarinya. Bukan hanya itu, para pendidik juga memaksa anak-anak harus bisa. Coba bayangkan burung elang yang dipaksa berenang seperti ikan, kira-kira bisa gak sih dia meskipun dilatih tiap hari? Yahh seperti itulah kira-kira gambaran pendidikan Indonesia dewasa ini.

Tatkala satu murid lebih sering menggambar di kelas misalnya, tanpa berpikir panjang si guru akan menegur dan memarahinya, karena dalam pikirannya “pintar” itu hanyalah yang jago Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris, sehingga semua murid tidak boleh mengerjakan sesuatu kecuali tiga hal itu.

Itu satu sisi, di sisi lain tidak sedikit sekolah juga “mengajarkan” murid-murid berperilaku amoral. Penulis ingat dulu ketika masih SD Ujian Nasional diberikan contekan oleh “sekolah” (yahh meskipun saya sendiri menerimanya wkwkwk). Hal itu dilakukan karena sistem pendidikan di Indonesia berfokus pada hasil sehingga segala cara dilakukan meski dengan cara yang tidak benar. Murid-murid dituntut harus “benar” meski dengan berbohong. (Tak heran ya pejabat-pejabatnya seperti itu… eitss). Belum lagi guru-guru yang melakukan pel****an kepada murid-muridnya.

Demikianlah kiranya jawaban dari skor literasi yang menyedihkan itu. Akibatnya, anak-anak tak mengenal potensi diri mereka sendiri, tak mengenal sesuatu yang menyenangkannya tuk dikerjakan, dan yang paling menyedihkan lagi mereka tak mengenal siapa diri mereka sendiri. Di sekolah mereka tak pernah diberi kesempatan untuk hal seperti itu. Mereka hanya disibukkan dengan tugas-tugas yang bahkan mereka terpaksa mengerjakannya.

Tak heran jika misalnya seorang anak ditanya tentang cita-citanya kemudian menjawab “tidak tahu”. Sering juga kita lihat anak-anak bosan ketika belajar, sebaliknya mereka malah senang ketika si guru tidak hadir di kelas, bahkan yang paling menyedihkan lagi mereka tak segan-segan berdoa agar si guru tidak hadir. Fenomena-fenomena seperti ini sering kita dapati di realitas sekitar kita, bahkan kita sendiri mungkin merupakan produk dari “pabrik” yang bobrok itu.

Imbas dari pendidikan yang rusak itu, nampaknya juga menimpa kader-kader IMM khususnya  di UINSA. Organisasi yang sering menggaungkan jargon “Kami lebih mengedepankan kualitas daripada kuantitas” sepertinya telah kehilangan dua-duanya, kualitas tidak ada, kuantitas apalagi.

Bahkan, kader-kader KUF (begitu mereka menyebutnya) yang terkenal dengan dialektika intelektualnya dan sering ngopi bareng tuk membahas bumi itu bulat atau datar  (wkwkwk). Tak hanya itu, mereka juga disebut sebagai komisariat yang paling berbeda dengan komisariat lainnya karena kader-kadernya adalah para pemikir layaknya filsuf-filsuf yang merenungi kehidupan. Bahkan di artikel mereka kader-kader itu disebut sebagai “Pagar Betis Nalar Kritis”. Kini, itu semua  mejadi kenang-kenangan indah layaknya fans emyu yang selalu mengelu-elukan masa keemasan Sir Alex...wkwkwkwk.

Tulisan ini penulis tulis semata-mata tuk menjadi autokritik dan introspeksi diri penulis pribadi dan kita semua umumnya. Kita (termasuk negeri kita tercinta) mungkin telah kehilangan kapal yang dulu pernah kita jadikan tuk berlayar mengarungi luasnya samudra nan indah itu.

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA