Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buka 25 Jam, Inilah Bukti Kegigihan Orang Madura

Gambar oleh shearlyaas, Diunduh melalui TikTok Pte. Ltd.   

Penulis: Azhar Ainun Hidayat (Kader IMM PK FEBI)


Orang Madura terkenal sebagai pekerja yang ulet dan gigih. Berkat etos kerja yang tinggi, mereka mampu mengubah nasib ke arah yang yang lebih baik. Peribahasa khas "Abantal omba Asapo Angen" yang berarti “Berbantal Ombak Berselimut Angin” merupakan pedoman yang kuat bagi masyarakat Madura. 

Mereka dengan gigih memanfaatkan setiap kesempatan untuk meraih kesuksesan. Orang Madura biasanya akan naik tangga sosial melalui mobilitas vertikal sebagai peluang untuk membuktikan kisah keberhasilan mereka. Keberanian mereka pun tercermin melalui kisah-kisah sukses yang mereka raih.

Pada abad ke-17, Pulau Madura menjadi pusat yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal pedagang. Mayoritas penduduk Madura pada masa itu berprofesi sebagai petani, nelayan, dan pedagang. Pulau yang kaya akan sumber daya alam yang berpotensi besar untuk dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, seperti tembakau dan garam. Terutama, Pulau Madura terkenal sebagai produsen garam terbesar di Asia Tenggara, dengan ladang garam yang luas.

Namun, siapa sangka melimpahnya sumber daya di pulau tersebut malah membuat banyak orang Madura yang memilih merantau ke luar pulau. Dari berbagai ulasan yang penulis baca, hal tersebut dikarenakan ketidakmerataan ekonomi, minimnya lowongan pekerjaan, dan stagnasi perputaran uang. 

Bagi yang tidak memiliki modal atau dukungan dari keluarga, melompat ke tingkat ekonomi yang lebih tinggi akan menjadi sulit. Meskipun disana, berkecimpung di dalam pasar garam dan tembakau adalah langkah paling mudah untuk dijalankan, keduanya termasuk dalam pasar monolistik di mana satu penjual mendominasi pasar. Pasar semacam ini lebih menghasilkan penderitaan daripada kesejahteraan.

Para perantau ini kemudian memulai kehidupan mereka dari nol, banyak yang memulai hidup sebagai tenaga kerja serabutan bahkan banyak juga yang bekerja sebagai pekerja kasar di masing-masing tempat tujuan. karenakan banyak pihak mengakui atau mengapresiasi hasil dari jerih kerja mereka, akhirnya banyak yang dijadikan sebagai pekerja tetap hingga beralih ke pekerjaan yang lebih layak.

Selain itu, kita pasti juga pernah menjumpai perantau Madura yang berprofesi sebagai tukang cukur, penjual sate, pengumpul besi rongsokan, atau penjual bubur kacang hijau. Mereka juga sering membuka warung kelontong kecil (Warung Madura) di daerah padat penduduk. 

Di kota-kota besar, Warung Madura menjadi bisnis kecil yang stabil dan mampu bersaing di tengah dominasi usaha ritel modern yang memiliki modal lebih besar. Artinya para perantau Madura tidak lagi mengandalkan kekayaan sumber daya alam seperti tanah dan laut Untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.

Kontribusi Warung Madura Terhadap Masyarakat

Berbicara mengenai Warung Madura, fakta yang penulis temui menyebutkan bahwa sebelum minimarket menjamur, warung-warung kelontong menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia untuk berbelanja karena dekat dengan tempat tinggal. Biasanya, banyak barang ditawarkan dalam satuan atau kemasan kecil, sehingga harganya lebih terjangkau. 

Warung Madura menjadi favorit masyarakat untuk berbagai kebutuhan rumah tangga, mulai dari beras, minyak, gula, mie instan, hingga deterjen. Warung ini umumnya dimiliki oleh satu keluarga yang terdiri dari suami dan istri, bahkan sering kali digunakan sebagai tempat tinggal dengan spanduk berbunyi “Buka 25 Jam, Kecuali Kiamat Buka Setengah Hari.”

Dewasa ini di lngkungan penulis, Warung Madura sangat membantu para pemuda atau mahasiswa yang memerlukan makanan dan minuman saat mengerjakan tugas hingga larut malam. Kehadiran Warung Madura jenis Retail Tradisional membangkitkan kearifan lokal dengan interaksi antara pembeli dan pedagang. Terkadang, ada pembeli yang berbasa-basi untuk berhutang karena kekurangan uang.

Warung ini juga umumnya menyediakan produk-produk UMKM lokal. Dimana pendapatan dari penjualan di warung-warung tersebut akan kembali digunakan untuk mendukung konsumsi produk lokal, yang diharapkan dapat meningkatkan perputaran ekonomi rakyat Indonesia. Berbeda dengan ritel modern yang dikelola oleh perusahaan, Warung Madura memiliki modal yang sangat terbatas dan umunya dimiliki oleh perseorangan.

Warung Madura vs Minimarket

Belakangan, ramai netizen yang mempersoalkan mengenai warung Madura yang buka selama 25 jam. Beberapa daerah seperti Bali dan Banyuwangi masih menerapkan peraturan terhadap toko kelontong semacam itu. Kontroversi seputar warung yang buka 24 jam menjadi sorotan, dengan sebagian mendukung dan lainnya mempertanyakan keberadaan jam operasional yang tidak jelas bagi warung Madura. 

Meski begitu, tidak ada aturan yang mengatur jam operasional untuk warung Madura karena skala usahanya yang lebih kecil dari minimarket dan tidak berstatus sebagai franchise, sehingga tidak diwajibkan membayar PPN dan PPH.

Tanggapan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dalam konferensi persnya menyatakan bahwa tidak ada larangan bagi ritel tradisional untuk buka 24 jam, meskipun beberapa Peraturan Daerah (Perda) masih melarang toko kelontong yang buka sepanjang waktu. Hal ini perlu dikomunikasikan kembali kepada kementerian terkait untuk menjelaskan larangan tersebut, karena tugas pemerintah adalah menjaga stabilitas ekonomi tanpa mendiskriminasi salah satu pihak.

Senada dengan tanggapan menteri di atas, Roy Mandey selaku Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRI) dalam sebuah diskusi di stasiun televisi mengungkapkan bahwa apapun yang berkaitan dengan perdagangan tentu memiliki semangat yang sama dalam melayani masyarakat. Namun, dalam segmen dan konteks yang berbeda tentunya UU harus bisa jadi penyeimbang antara perbedaan pasar tersebut.”

Jumlah minimarket berjenis ritel modern di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 48 ribu, sedangkan jumlah warung ritel tradisional mencapai lebih dari 4,8 juta. Meskipun jumlahnya jauh lebih banyak, ritel modern tunduk pada peraturan yang ketat, termasuk hukum tentang ritel modern yang rinci hingga peraturan tentang penjualan BBM dan Elpigi. Perusahaan ritel modern juga berperan dalam kontribusi pendapatan negara melalui pembayaran PPN dan PPH, yang kemudian digunakan untuk kepentingan publik. 

Dalam Peraturan Permendag No. 36, minimarket ritel modern diwajibkan menyerap minimal 30% produk UMKM, namun Roy Mandey menyatakan bahwa kini sudah mencapai 45%. Ini menunjukkan kolaborasi yang erat antara ritel modern dan UMKM, serta memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Dengan lebih dari 1,2 juta produk UMKM terserap oleh ritel modern, ini memberikan dampak positif bagi ekonomi. 

Selain itu, minimarket ritel modern mendorong persaingan yang sehat di pasar lokal dengan menata produk dan meningkatkan pelayanan, membantah anggapan bahwa mereka merugikan ekonomi rakyat.

Tidak ada UU yang secara khusus mengatur tentang ritel tradisional. Fungsi pemerintah adalah untuk menciptakan peraturan yang adil bagi semua pihak, baik pedagang kecil maupun besar, serta untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan melestarikan kearifan ekonomi lokal demi kemajuan bersama. 


Editor: M. Tanwirul Huda 

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA