Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Matinya Kepakaran Politisi di Negara Hukum

Gambar oleh Andranik Hakobyan, Diunduh melalui pexels.com  

Penulis: Yogaraksa Ananta (Anggota Bidang Hikmah PK IMM Avempace)


Pada era post-modern ini, dinamika politik terus bergeming. Era ini sebenarnya kental akan eskalasi intelektual. Tak hanya itu, segala dinamika kontestasi ideologi dan sistem politik mewarnai. Nahasnya, eskalasi intelektual tak beringingan dengan meningkatnya kualitas kepakaran para politisi. 

Khususnya di Indonesia, pra dan pasca terlaksana pemilihan umum (Pemilu) dari masa ke masa beragam aktivitas politis yang dilakukan oleh aktor politik mewarnai segala alam pikiran rakyat di kala mencari informasi tentang politik. Segala informasi yang muncul tak terlepas atas bualan-bualan politisi. 

Bualan-bualan yang utopis serta tak berlandaskan filosofis, data, dan fakta membuat semakin menguatnya degradasi intelektual politisi. Akan menjadi dilematis ketika forum-forum bertajuk akademisi tak dimanfaatkan oleh politisi dalam ranah menunjukkan eksistensi intelektualitasnya.

 Historis politik di Indonesia tak jarang hanya menunjukkan aktivitas politik yang konvensional, seperti kampanye normatif, black campaign, negative campaign bahkan money politics. 

Sungguh merugi kita sebagai masyarakat memaklumi aktivitas politik seperti itu, seharusnya esensi politik ini berkaitan dengan kesejahteraan publik, bukan menjadi ajang meraup kesejahteraan pribadi para politisi sekaligus pemilik modal. 

Hemat penulis, bila ingin negara ini memiliki mekanisme birokrasi pemerintahan yang berintegrasi, maka masyarakatlah yang membangun pondasi itu semua melalui kesadaran kritis untuk melakukan todongan-todongan kritik pada aktor politik. 

Bagaimana pun juga rakyat memiliki kehendak agung dalam memilih calon politiknya, layaknya adigium “vox populi,vox dei” atau “suara rakyat, suara Tuhan”. Seharusnya adigium seperti itu sudah menjadi pedoman moral rakyat Indonesia. 

Tak jarang ketika mereka para pejabat sudah menaiki tahta politik yang mereka inginkan, penyakit pikun lali rakyat seakan menyerang mereka seperti kanker ganas, dan juga tak segan-segan mereka membunuh suara rakyat. 

Sampai kapan kita dipimpin oleh wakil rakyat yang sedari awal tak memiliki kompetensi serta kapabilitas mumpuni dalam kepakaran? Kemampuan kepakaran pemimpin ditentukan oleh kita. Jangan sampai kita hanya menjadi seekor binatang yang membuntuti majikannya. 

Kepakaran secara terminologi ialah suatu pengetahuan yang diperoleh dari pelatihan, membaca, dan pengalaman. Terkadang kita terkecoh pada bualan politisi yang enggan menggunakan referensi sebagai pijakan literatif untuk meraup dukungan kita. 

Padahal jika seseorang ingin menjadi penanggung jawab atas kemaslahatan orang banyak, seharusnya perlu untuk mengulik isi pikiran-pikiran mereka, agar kita tahu seberapa jauh daya jelajah mereka mengenai politik beserta implikasinya.  

Salah satu implikasinya berkenaan dengan hukum. Hukum merupakan seperangkat aturan yang harus ditaati oleh masyarakat yang menempati suatu negara maupun wilayah. Dalam hal ini secara implisit negara kita bersifat sebagai negara hukum, seperti yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. 

Hukum menjadi pijakan negara untuk memberlakukan yuridis-yuridis di konstitusi. Bagaimana hukum bisa berjalan dengan baik jika para politisi tidak memiliki kepakaran yang membidangi politik, padahal hukum merupakan sebuah produk dari politik. 

UUD 1945 ialah pijakan negara untuk memberlakukan perundang-undangan di segala sektor elemen pemerintahan, seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tentu dalam hal ini bersifat normatif. 

Bila berkaca pada normatifitas tak terlepas jauh dari kajian-kajian yang bersifat liberatif dan akademis. Menjadi problematik jika dialektika akademik seakan mati jika tak ada politisi yang bergeming dengan itu semua. 

Bayang-bayang semu degradasi kepakaran bukan hanya menjadi hayalan alam pikiran penulis, namun sudah menjadi realita pada komposisi negara hukum ini. Tak kaget jika kelak bidang-bidang kementerian diisi oleh politisi yang diskompetensi. 

Bagaimana tidak, sistem demokrasi yang dianut oleh negara kita serta falsafah Pancasila sebagai pedoman bernegara, membuat tak sempurna ketika komposisi pemerintahan diisi oleh politisi yang tidak pakar dalam bidangnya. 

Sampai kapan kita seperti ini terus? Sampai kapan proyek bagi-bagi kekuasaan terus berlanjut? Sampai kapan kita terlalu larut dalam kepentingan pribadi yang menegasikan kepentingan bersama? Bukankah dahulu negara ini overpower dalam bidang akademisi, diplomasi, dll? 

Pentingnya para politisi memiliki kepakaran akan bermanfaat bagi bangsa, negara, dan generasi selanjutnya. Sudah saatnya negara ini menjadi negara overpower yang ditakuti dan disegani oleh banyaknya negara. 

Perlunya menghidupkan nalar kepakaran politisi dimulai dari kita sendiri. Sebagai masyarakat yang hidup di negara berkembang, perlu untuk melakukan internalisasi kepakaran pada diri kita sebagai masyarakat yang kritis dan siap memilih aktor politik sesuai pilihan yang rasional. 

Internalisasi Kepakaran untuk Antisipasi Penekukan Hukum

Dewasa ini kita telah muak dengan slogan “Hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.” Realitas hukum yang ada di negara kita penerapannya bisa dikatakan amatir. Berbagai studi kasus cacat hukum menuntut kita berfikir kritis. 

Menjadi dilematis juga ketika para politisi dan hakim tak memiliki kapasitas kepakaran yang memadai. Hukum dan politik keduanya ialah entitas negara yang tidak bisa terpisahkan dan saling berhubungan satu sama lain, kendati hukum merupakan produk dari proses politik. 

Jika ditarik dari konsep landasan negara yaitu UUD 1945 tak terlepas dari proses politik, di mana dalam rancangannya membutuhkan dinamika politik yang runyam di legislatif sebelum disahkan menjadi undang-undang. 

Setiap proses penyusunan yurisdiksi negara seperti UUD 1945, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Peraturan Gubernur, Peraturan Daerah, dll, bukan hanya membahas persoalan normatif saja, segala dinamika pembahasan dibahas melalui forum paripurna melalui proses politik.

Proses politik dalam sidang paripurna sebelum mengesahkan suatu Undang-Undang atau peraturan dilakukan melalui tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. 

Dalam dinamika seperti itu, para politisi akan berbondong-bondong untuk saling menyerang argumen satu sama lain dengan tujuan memenangkan argumennya. 

Bila proses dalam perumusan suatu undang-undang tanpa ada kepakaran yang mumpuni dari politisi apalah daya, suatu undang-undang yang disahkan akan menjadi lemah secara rasionalisasi serta cenderung kental akan sarat kepentingan egosentris individu maupun kelompok.

Penekukan hukum menjadi kewaspadaan penulis jika para politisi tak memiliki kepakaran. Sejalan dengan itu, orientasi hukum yang seharusnya untuk kemaslahatan masyarakat, bangsa, dan negara akan menjadi kemaslahatan kepentingan pribadi atau kelompok. 

Jika para politisi tak memiliki kepakaran, secara tidak langsung hal itu menjadi kelemahan sektor yang akan dimanfaatkan pemilik modal untuk memuluskan kepentingannya melalui politisi tersebut.

Matinya kepakaran para politisi jika dibiarkan terlalu larut akan menjadi bumerang. Para pemilik modal yang ingin menguasai wilayah akan lebih mudah melakukan negosiasi melalui pemimpin yang bodoh, dan semua itu akan berdampak pada rakyat. 

Berkaca pada studi kasus, negara Indonesia memiliki produk hukum yang cenderung menguntungkan kelompok pemilik modal, seperti UU Cipta Kerja dan Omnibuslaw yang menjadi polemik seperti aturan otoritatif borjuis pada proletariat. Bagaimana langkah politisi kala itu? Bagaimana perdebatan akademis belalu-lalang kala itu? 

Sejalan dengan itu, politisi dan rakyat seharusnya sudah melakukan upgrade kepakaran melalui agenda literasi dan kegiatan produktif lainnya. Jangan sampai kita menjadi rakyat yang bodoh serta lengah, dan juga jangan menjadi bangsa yang memiliki kejumudan dalam berpikir dan bertindak. Mereka para penekuk-penekuk hukum akan takut bila dihadapkan dengan masyarakat yang mempunyai nyawa kepakaran. 


Editor: Belly Ubaidila

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA