Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bisnis yang Menguntungkan namun Terbilang Menyesatkan

Gambar oleh Signature, diunduh melalui istockphoto.com

Penulis : Abdul Halim Hasan (Ketua Bidang HPKP Al Kindi)


Di era digital dan modern seperti saat ini, masyarakat Indonesia, terutama mereka yang aktif di media sosial, berlomba-lomba untuk berpikir cara memanfaatkan media sosial sebagai sumber penghasilan. Dilansir dari data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 221.563.479, yang dapat disimpulkan bahwa 80% penduduk Indonesia telah mengakses internet.

Dengan angka pengguna internet yang cukup tinggi, maka tidak heran apabila setiap kita membuka media sosial hampir selalu muncul orang-orang yang sedang mengadakan jual beli secara online.

Semua jenis kebutuhan bisa kita temukan lewat toko-toko yang tersedia di media sosial, seperti makanan, pakaian, keperluan rumah tangga, dan masih banyak yang lain.

Namun, apa jadinya jika yang dijual adalah barang palsu atau yang ramai saat ini, yakni dikemas dengan embel-embel agama? Mari kita bahas!

Agama sebagai landasan moral dan sikap spiritual menjadikannya cukup penting bagi kehidupan. Istilah bisnis agama dapat disederhanakan sebagai kegiatan yang memanfaatkan agama sebagai bahan untuk meraup keuntungan ekonomi yang besar.

Dibalik ramainya semua ini, tak lepas dari faktor yang menyertainya, yakni status sosial dan kultural. Apa maksudnya? Masyarakat cenderung mempraktikkan sesuatu yang berbau religius yang akan meningkatkan status sosial dalam tatanan masyarakat.

Mempergunakan produk-produk yang memiliki label agama memberikan kesan bahwa orang tersebut sangat saleh dan dianggap lebih dekat dengan Tuhan dibandingkan orang lain. Salah satu dari banyak contoh produk yang dijual dengan embel-embel agama adalah garam ruqyah.

Apa itu garam ruqyah? Menurut beberapa sumber, istilah garam ruqyah adalah produk garam yang dikatakan telah mendapat doa atau bahkan produk pribadi dari  pemuka agama tersebut.

Karena adanya embel-embel semacam itu, maka garam yang biasa kita beli di warung hanya dengan harga ribuan menjadi puluhan ribu dalam sekali jual. Lalu, dalam industri fashion seperti penggunaan peci, baju gamis, dan lainnya telah dibumbui dengan simbol ketaatan agama. Seringkali produk-produk ini dijual dengan harga yang cukup fantastis karena mendapat label "islami". 

Padahal, dari segi proses pembuatan dan bahan-bahan yang digunakan, terbilang tidak ada perbedaan yang signifikan. hal ini, menjadi bukti bagaimana kapitalisme bekerja dengan pengabungan antara spiritualitas dan konsumsi. 

Tren yang tidak kalah marak bagi masyarakat yang religius selanjutnya adalah seminar spiritual atau motivator spiritual. Seringkali, tokoh-tokoh agama menawarkan pelatihan tersebut dengan tarif yang tinggi dengan menjanjikan bahwa setelah mengikuti pelatihan tersebut, para peserta akan memperoleh pencerahan dan solusi atas setiap permasalahan.

Tiket untuk mengikuti seminar tersebut bisa mencapai puluhan juta, tergantung pada tingkat kepopuleran pembicara. Kurangnya edukasi dan pengetahuan yang sebatas ikut-ikutan membuat masyarakat Indonesia menjadi ketergantungan dengan tokoh-tokoh agama atau kiai dengan dalih "mereka lebih paham dibanding kita".

Ketergantungan inilah yang memberikan peluang besar bagi para pebisnis berbasis agama menjadi marak di Indonesia. Masyarakat Indonesia memang terkenal dengan kereligiusannya, namun seringkali dengan sikap religius tersebut cenderung "kolot" yang tidak mau menerima gagasan baru atau merubah pola pikir yang kurang efisien.

Fenomena yang kita kenal dengan bisnis agama ini mencerminkan betapa menggiurkannya memadukan antara spiritualitas dengan ekonomi. Masyarakat yang merasa hidupnya terasa berat, takut dengan hal-hal gaib, atau ingin lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, rela membayar mahal untuk membeli produk-produk dan mengikuti seminar yang dijanjikan akan memberikan efek spiritual.

Seringkali juga banyak ditemukan masyarakat yang hampir menggantungkan hidupnya pada doa-doa atau syafaat dari wali, kiai, gus, dan sejenisnya. Mereka menganggap bahwa orang-orang tersebut dapat memberikan rasa nyaman karena dianggap lebih dekat dengan Tuhan. Padahal, semua makhluk telah dekat dengan Allah dalam hatinya.

Allah melalui firmannya dalam Quran surat Al-Baqarah ayat 186:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِي وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ ١٨٦

Artinya: "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran."

Ayat tersebut sudah sangat jelas bahwa Allah sangat dekat dengan hambanya, meskipun manusia tersebut dipenuhi dosa dan maksiat. Allah akan mengabulkan setiap doa dan memberikan apunannya kepada mereka yang senantiasa memperkuat imannya.

Jadi, pada akhirnya saya berpesan untuk teruslah menuntut ilmu, agar dirimu menjadi lebih cerdas dan tidak mudah terbodohi oleh oknum yang mengatasnamakan agama. Dan teruslah istiqomah dalam beribadah, agar Tuhan lebih dekat dan akan mengabulkan setiap doa yang kamu panjatkan.


Editor : Azhar Ainun Hidayat

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA