Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kader IMM UINSA Lupa Caranya Menulis

Gambar oleh Jirsak, diunduh melalui istockphoto.com

Penulis: Dian Prahara Batubara (Kabid Kader PK IMM Leviathan)


Tanggal 30 Januari diperingati sebagai hari literasi di kalangan teman-teman IMM UINSA, hari yang akan selalu dikenang oleh teman-teman terutama yang berkecimpung di komunitas kepenulisan. Bukan hanya memperingati hari ulang tahun literasi, hari tersebut juga menjadi dua tahun berjalannya liberasi atau majalah yang diterbitkan oleh IMM UINSA.

Berbicara tentang kepenulisan memang tidak bisa lepas dari IMM, begitu pula sebaliknya ketika kita berbicara tentang IMM tidak bisa pula lepas dari hasil karya tulis kader-kadernya. Hal itulah yang akan membuat IMM akan abadi untuk selamanya, karena buah-buah pemikirannya akan terus bertahan di dalam tulisan-tulisan kadernya.

Penulis masih ingat betul apa yang disampaikan oleh Habib Muzaki, seorang pejuang kepenulisan di IMM UINSA sekaligus orang yang membuat penulis terjun ke dalam dunia kepenulisan ini.  Kala itu penulis bertanya “Kenapa saya harus menulis?” lalu beliau dengan lugas menjawab “Ya karena kamu IMM, IMM itu gerakan ilmu, dan suatu ilmu hanya bisa dipelajari kalo di situ ada literasi, salah satu poin literasi adalah menulis. Maka tidak ada alasan jika kamu seorang IMM dan kamu tidak menulis.”

Penulis merasa terhipnotis dengan pernyataan tersebut, setiap kali bertemu beliau jari dan otak penulis selalu terasa ingin menulis sesuatu. Setiap ada kegelisahan yang penulis rasakan, jari-jari penulis selalu terasa memberontak untuk segera dipertemukan dengan huruf-huruf yang ada di keybord. Menulis menjadi benar-benar masuk menjadi bagian dari identitas penulis sebagai seorang kader IMM.

Kegelisahan tersebut pula yang mengantarkan penulis untuk menulis ini. Bagaimana di hari ulang tahun literasinya, tidak ada hal-hal literasi yang dilakukan. Mungkin seperti membaca buku bersama atau menulis bersama, yang paling parah bahkan tidak ada tulisan untuk hari ulang tahun tersebut.

Hal tersebut tentu menjadi kekecewaan di dalam diri kita sebagai seorang IMM, bagaimana mungkin kita memperingati hari menulis katakanlah, tapi tanpa tulisan. Sama halnya seperti ketika kita membeli nasi goreng tanpa nasi, sangat aneh terdengar di telinga bukan?

Melihat per hari ini memang gairah teman-teman untuk menulis sudah sangat menurun, berkaca pada tulisan yang masuk dari awal Desember hingga akhir Januari hanya ada lima tulisan yang ter-publish. Dan jika kalian tahu, kelima tulisan tersebut merupakan tulisan berjenis kabar atau berita. Lantas jika tidak ada peristiwa atau agenda saat itu, apakah tulisan di website IMM UINSA akan ada?

Penulis memang salah seorang pengecut yang tidak ikut berpartisipasi pada tenggang waktu tersebut, dan penulis merasa sedih akan matinya nalar akademis yang selalu digaung-gaungkan oleh kader-kader IMM UINSA ketika berpergian kemana-mana. Bagaimana dengan delapan komisariat dan beratus-ratus kader hanya ada lima tulisan yang masuk, penulis tidak habis pikir jika masih ada kader yang tidak resah dengan keadaan ini.

Bagaimana ini seharusnya menjadi beban moral dan tanggung jawab bagi kita para kader di IMM UINSA. Kita tidak bisa membiarkan hal seperti ini terus berlanjut, setiap kader memiliki kewajiban untuk menyelesaikan permasalahan ini. Jika hal seperti ini tetap berlanjut, maka tidak menutup kemungkinan kepenulisan IMM UINSA akan mati secara perlahan.

Apakah para kader di IMM UINSA telah lupa caranya menulis? Coba teman-teman ingat lagi apa yang paling terkenal dari teman-teman IMM UINSA jika bukan karya-karya tulis para kadernya, tentang nalar kritisnya, dan nalar akademisnya. Lantas kemana semua itu sekarang?

Menulis adalah salah satu bentuk jihad intelektual. Dalam Islam, ilmu bukan hanya untuk dipahami tetapi juga untuk disebarluaskan dan diperjuangkan. Menulis menjadi bagian dari amar ma’ruf nahi munkar dalam ranah pemikiran dan keilmuan.

Dengan menulis, kader IMM tidak hanya menjalankan tugas intelektualnya tetapi juga berkontribusi dalam membangun peradaban yang lebih maju. Oleh karena itu, menulis bukan sekadar pilihan, tetapi suatu kewajiban bagi kader IMM yang ingin membawa perubahan dan kemajuan bagi umat, bangsa, dan gerakan.

Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang? Membiarkan ini tetap berlanjut? Atau bersama melanjutkan jihad intelektual yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu kita. Tidak ada yang perlu disalahkan atas kegagalan ini, tidak perlu menyalahkan siapapun, semua kader harus sadar akan perannya sebagai bagian dari ikatan ini.

Mungkin penulis akan mengulangi kembali untuk mempertegas mengapa kader IMM harus menulis. Kader IMM harus menulis karena menulis adalah bagian dari tradisi Gerakan Ilmu yang menegaskan identitas intelektual gerakan. Dengan menulis, kader tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen pemikiran yang kritis dan solutif dalam menghadapi persoalan keislaman, kebangsaan, serta ketimpangan sosial. Tulisan menjadi sarana untuk merekonstruksi wacana Islam berkemajuan, mengawal kebijakan publik, serta melawan distorsi informasi yang marak di era digital.

Selain itu, menulis juga berperan dalam menjaga warisan pemikiran dan sejarah gerakan agar terus berkembang dan dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya. Dalam ranah akademik maupun profesional, keterampilan menulis menjadi aset berharga yang meningkatkan daya saing dan kapasitas individu. Oleh karena itu, menulis bagi kader IMM bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi juga bagian dari jihad intelektual dan tanggung jawab moral sebagai kaum terpelajar.

Menulis adalah napas yang menjaga IMM tetap hidup dalam arus zaman. Jika kita membiarkan tradisi kepenulisan ini melemah, maka kita tengah membiarkan gerakan ini kehilangan jati diri dan daya kritisnya. IMM bukan sekadar organisasi yang bergerak dalam aksi, tetapi juga dalam pemikiran. Setiap gagasan, kritik, dan refleksi kader seharusnya tidak hanya berakhir dalam diskusi semata, tetapi juga terdokumentasi dalam tulisan. Dengan menulis, kita menjaga warisan intelektual IMM agar tetap relevan dan menjadi pijakan bagi generasi selanjutnya.

Kini, kebangkitan literasi di IMM UINSA bukan hanya tanggung jawab segelintir orang, tetapi tugas kolektif setiap kader. Menulis bukan tentang seberapa hebat kita merangkai kata, melainkan seberapa besar kepedulian kita terhadap gerakan, ilmu, dan perjuangan. Saatnya kita kembali menghidupkan pena, menyusun gagasan, dan menyalakan semangat literasi yang pernah menjadi kebanggaan IMM UINSA. Jika bukan kita, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi?


Editor: Iskandar Dzulkarnain


Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA