Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cahaya dari Timur yang Terlambat Diakui Barat

 

Gambar oleh worldwidephotoweb, diunduh melalui istockphoto.com
Penulis: Ahmad Muharrik Albirra (Kader PK IMM Leviathan)

Sejarah sering kali ditulis oleh mereka yang menang. Namun dalam konteks keilmuan (sains), yang menang bukanlah pihak yang pertama kali menemukan, melainkan pihak yang pertama kali menuliskannya dalam bahasa yang diterima dunia.

Sejarah keilmuan modern yang kita kenal hari ini penuh dengan kisah kemenangan, bukan atas kegelapan, tetapi atas pengaburan.

Ketika buku-buku sains Barat berbicara tentang Renaissance dan Age of Enlightenment, jarang disebut bahwa cahaya pengetahuan itu sesungguhnya datang dari arah Timur. Dari Baghdad, Cordoba, hingga Samarkand, di mana para ilmuwan Muslim menyalakan pelita yang kemudian diakui sebagai nyala lilin Eropa.

Pada abad ke-8 hingga 10 M, Baghdad menjadi pusat keilmuan dan intelektual dunia melalui bilik Baitul Hikmah, House of Wisdom. Dari sinilah mulainya kegiatan-kegiatan keilmuan hingga melahirkan cendekiawan-cendekiawan Muslim yang mendunia.

Di bawah Khalifah al-Ma’mun, lembaga itu bukan hanya perpustakaan, tetapi juga pusat riset, observatorium, dan lembaga penerjemahan terbesar dunia. Dari sinilah naskah-naskah Yunani, Persia, dan India diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, lalu menjadi fondasi ilmu bagi peradaban Eropa.

Tokoh seperti Hunayn ibn Ishaq dan Thabit ibn Qurra menjadi pionir penerjemahan sistematis; mereka tidak sekadar menyalin, tetapi juga menafsirkan ulang menambah catatan, dan mengembangkan logika baru atas teks-teks kuno (Dimitri Gutas:1998).

Dalam salah satu prakata terjemahannya, Hunayn menjelaskan bahwa ia memperbaiki makna yang rusak, menyingkat yang bertele-tele, dan menjelaskan yang kabur agar pembaca Arab dapat mengerti sebagaimana pembaca Yunani dahulu memahaminya.

Para ilmuwan Muslim seperti Al-Khawarizmi, Al-Biruni, Ibnu Sina, Jabir ibn Hayyan, dan Al-Haytham menulis ratusan risalah yang menggabungkan observasi empiris, logika matematis, dan refleksi metafisik. Namun ironisnya, beberapa abad setelahnya, karya-karya itu diterjemahkan, diadopsi, bahkan diklaim sebagai milik “Eropa baru” yang bangkit dari kegelapan.

Salah satu bukti paling konkret adalah karya monumental Al-Khawarizmi, Al-Kitab al-Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabala, yang diterjemahkan ke Latin oleh Robert of Chester pada tahun 1145 dengan judul Liber algebrae et almucabala . Dari sinilah kata algebra masuk ke kamus Barat, sementara istilah algorithm berasal dari pelafalan Latin atas nama Al-Khwarizmi sendiri (Fuat Sezgin, 1974).

Manuskrip Latin abad ke-12 yang dikenal sebagai Algoritmi de numero Indorum menjadi penghubung langsung antara sistem angka Hindu-Arab dan matematika modern.

Tanpa penemuan dan sistem notasi Al-Khwarizmi, sulit membayangkan perkembangan kalkulus dan komputer di kemudian hari. Namun dalam buku pelajaran matematika modern, namanya jarang disebut lebih dari sekadar “pionir aritmetika awal.”

Fenomena serupa terjadi dalam bidang astronomi. Al-Biruni, ilmuwan astronomi asal Khwarezm, pada abad ke-11 telah menghitung radius bumi dengan metode geometri dan pengamatan langsung terhadap ketinggian gunung serta garis horizon. Hasilnya mengejutkan: 6.339,6 kilometer, hanya meleset 0,5 persen dari pengukuran modern. Ia bahkan menulis tentang konsep rotasi bumi dan perbedaan waktu antar wilayah.

Sementara itu, di Barat, Christopher Columbus baru berlayar dengan keyakinan bahwa bumi berbentuk bulat empat abad setelahnya, itu pun berdasarkan tafsir yang lebih sederhana.

Dalam bidang kimia, Jabir ibn Hayyan, atau dikenal di Barat sebagai Geber, telah mempraktikkan eksperimen dengan metode sistematis jauh sebelum istilah “metode ilmiah” muncul. Ia menulis tentang distilasi, sublimasi, dan kristalisasi, serta menggunakan alat seperti retort dan alembic yang merupakan cikal bakal laboratorium modern (Donald R. Hill, 1993).

Namun dalam literatur Eropa abad ke-17, Geber justru dianggap tokoh Eropa anonim, padahal gaya bahasanya dalam naskah Latin jelas serupa dengan tulisan-tulisan bahasa Arab.

Transmisi ilmu dari dunia Islam ke Barat terjadi besar-besaran melalui Andalusia, Sisilia, dan Konstantinopel. Kota Toledo menjadi pusat penerjemahan utama setelah direbut kembali oleh Spanyol Kristen pada abad ke-11.

Di sinilah nama-nama seperti Gerard of Cremona, Michael Scot, dan Adelard of Bath memainkan peran penting. Gerard menerjemahkan lebih dari 70 karya, termasuk Almagest karya Ptolemy dan tabel astronomi Al-Zarqali yang dikenal sebagai Toledo Tables (Gerard of Cremona:2010).

Michael Scot membawa ke Eropa komentar-komentar Ibnu Rushd atas Aristoteles, sementara Adelard of Bath memperkenalkan Euclid’s Elements dari terjemahan Arab ke Latin (Toby Huff, 1993). Mereka semua menimba ilmu dari dunia Islam, tetapi sejarah mencatat nama mereka sebagai “pengantar sains Yunani ke Barat” seolah dunia Islam hanyalah perantara pasif.

Kontradiksi ini semakin jelas ketika menelisik kasus Copernicus. Banyak peneliti modern menemukan kemiripan mencolok antara model matematis Copernicus dalam De revolutionibus (1543) dengan teori Al-Tusi dan Ibn al-Shatir dari Maragha School tiga abad sebelumnya. Nasir al-Din al-Tusi mengembangkan “Tusi couple” model geometris yang menghasilkan gerak linier dari dua rotasi melingkar.

Ibn al-Shatir kemudian menyempurnakan sistem ini hingga sangat mirip dengan skema heliosentris Copernicus. Walau Copernicus tidak menyebut sumber-sumber Arab, diagram dalam naskahnya menunjukkan kesamaan struktural yang nyaris identik.

Mengapa sejarah tidak menulisnya demikian? Karena historiografi Eropa modern dibangun dengan kerangka Eurocentrism, yaitu pandangan bahwa kemajuan intelektual adalah hasil khas peradaban Barat.

Jack Goody menyebutnya sebagai “pencurian sejarah,” di mana peradaban non-Barat diposisikan hanya sebagai penyampai, bukan penghasil ilmu (Jack Goody,2006).

Dalam konteks ini, istilah Dark Ages menjadi narasi politis: menggambarkan abad-abad ketika Eropa “tertidur,” tanpa menyebut bahwa di belahan dunia yang lain, manusia telah hidup dalam peradaban yang maju.

Ziauddin Sardar dalam Explorations in Islamic Science menulis bahwa bias ini muncul karena perbedaan paradigma. Sains Islam berorientasi pada tauhid yang memandang alam sebagai ayat Tuhan, sementara sains Barat modern berangkat dari sekularisasi pengetahuan (Sardar, 1989). Akibatnya, sains Islam tidak hanya mencari “cara kerja alam,” tetapi juga “makna di balik keteraturan.”

Ketika paradigma Barat mengambil alih, makna-makna itu terhapus dan ilmu berubah menjadi alat kekuasaan. Ironi sejarah ini tidak hanya merugikan ilmuwan Muslim yang terlupakan, tetapi juga mengaburkan akar kemanusiaan dari ilmu itu sendiri. Jika penemuan-penemuan itu diakui secara adil, mungkin sejarah sains dunia tak perlu dipisahkan antara “Islam” dan “Barat.”

Ilmu tidak mengenal batas geografis. Ia lahir dari keingintahuan manusia terhadap ciptaan Tuhan. Ketika sains kehilangan konteks moral dan spiritualnya, maka yang tersisa hanyalah angka, rumus, dan ambisi. Karena itu, penulisan sejarah yang objektif bukan sekadar pengakuan masa lalu, melainkan pemulihan kebenaran peradaban.

Menariknya belakangan, kesadaran terhadap warisan Islam mulai bangkit. Buku-buku seperti The House of Wisdom karya Jim Al-Khalili dan Islamic Science and the Making of the European Renaissance karya George Saliba, menulis ulang sejarah sains dengan lebih adil. Keduanya menunjukkan bahwa tanpa ilmuwan Muslim, Renaissance Eropa tidak mungkin terjadi (Al-Khalili, 2010; Saliba, 2007).

Eropa bangkit bukan dari kegelapan murni, melainkan dari cahaya yang telah lebih dulu dinyalakan oleh para ilmuwan Muslim. Sejarah sains seharusnya tidak dipahami sebagai garis lurus dari Yunani ke Eropa, melainkan sebagai jaring pengetahuan lintas peradaban.

Jika Baitul Hikmah di Baghdad menjadi ladang benih, maka Toledo dan Cordoba hanyalah tangan-tangan yang menabur ulang benih itu di tanah baru. Namun benih itu berasal dari satu sumber yang sama: kehausan manusia terhadap ilmu dan kebenaran.

Hari ini, dunia Islam tengah menghadapi tantangan baru. Bukan karena kehilangan ilmu, tetapi karena kehilangan narasi tentang ilmunya sendiri. Selama sejarah ditulis dari perspektif pemenang, kebenaran akan selalu dibelokkan dari arah sumbernya.

Tugas kita bukan hanya menuntut pengakuan, tetapi menghidupkan kembali tradisi ilmiah yang berakar pada spiritualitas dan keadilan pengetahuan. Karena sebagaimana kata Al-Biruni, “pengetahuan yang tidak membawa manfaat bagi kemanusiaan hanyalah permainan akal.” Dan sejarah yang menutupi kebenaran, pada akhirnya, hanyalah permainan kekuasaan.


Editor: Iskandar Dzulkarnain

 

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA