Menggali Makna Takdir dalam Peristiwa Al-Khoziny
Gambar oleh fona2, diunduh melalui istockphto.com
Penulis: Rizki Farid Al-Husni (Kader PK IMM Ushuluddin dan Filsafat)
Salah satu perbincangan yang muncul
beberapa minggu terakhir kiranya adalah peristiwa robohnya bangunan salah satu
pondok pesantren. Hal yang paling menarik perhatian masyarakat terutama adalah
tanggapan salah satu pengasuh dari pondok pesantren tersebut.
“Ini adalah takdir Allah.” Begitulah tanggapan pengasuh pesantren yang akhirnya menuai komentar baik di
sosial media ataupun masyarakat. Pasalnya, tanggapan demikian dianggap sebagai
alasan pengasuh pondok pesantren “cuci tangan” dari tragedi robohnya bangunan
tersebut.
Tanggapan tersebut memicu pembahasan
takdir secara hakiki di media-media online. Tak luput juga di sosial
media yang mencibir tanggapan pengasuh pondok pesantren.
Tulisan ini, tak lain hanya sebagai pupuk
bawang dari tulisan-tulisan yang telah ditulis oleh para ahlinya di
beberapa platform media-media digital.
Terminologi
Takdir
Dua term yang selalu terlibat kala
membahas takdir ialah qadla dan qadlar . Secara etimologi, qadla
memiliki berberapa makna: hukum, ketetapan, keputusan, kehendak,
pemberitahuan, dan penciptaan. Sedangkan qadr adalah kepastian,
peraturan, dan ukuran.
Adapun secara istilah, ulama berbeda
pendapat dalam mendefiniskannya. Menurut pengertian Asy’ariyyah, dalam nuonline, menyebutkan bahwa qadla adalah
kehendak Allah atas sesuatu pada zaman azali. Sedangkan qadr adalah
penciptaan (realisasi) Allah atas kehendak-Nya pada zaman azali dengan
kadar tertentu.
Ulama Maturidiyyah juga berpendapat
bahwa qadla adalah pengetahuan atau ilmu Allah tentang sifat-sifat
makhluk-Nya sejak zaman azali.
Contohnya, qadla adalah
kehendak Allah pada zaman azali bahwa si A kelak akan menjadi presiden.
Sedangkan qadr adalah realisasi Allah untuk si A sebagaimana
kehendak-Nya.
Berbeda dengan di atas, Ibnu
Utsaimin, dalam almanhaj.or.id, berpendapat bahwa qadr adalah ketentuan
Allah sejak zaman azali. Sebaliknya, qadla adalah ketentuan atau
ketetapan Allah terhadap sesuatu pada waktu terjadi.
Pada intinya, dua-duanya menunjukkan
akan ketetapan dan pengetahuan Allah atas sesuatu, sejak zaman azali dan
pada waktu terjadi.
Adapun terkait penggunaan kedua term
tersebut, setiap ulama bersepakat bahwa jika keduanya digunakan secara terpisah
–qadla saja misalnya, maka itu mencakup makna keduanya. Sedangkan jika
digunakan dua-duanya –qadla dan qadr secara bersamaan, maka
maknanya sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Selanjutnya, pembahasan tentang
takdir seringkali juga melibatkan peran manusia atas takdir itu sendiri. Apakah
semuanya merupakan peran Allah tanpa melibatkan usaha manusia.
Apakah Takdir
Murni Ketetapan Allah?
Persoalan tentang ini telah lama
dibahas pada abad pertengahan. Tatkala itu banyak kelompok yang memfokuskan
aktivitas intelektualnya kepada pembahasan tentang Tuhan beserta wahyu-Nya.
Kelompok-kelompok tersebut disebut sebagai ulama-ulama mutakallimin.
Adapun ilmunya disebut dengan ilmu kalam atau juga teologi Islam.
Mereka terutama memfokuskan
persoalannya pada kehendak manusia versus kehendak Tuhan. Apakah manusia
merdeka dan otonom dalam perbuatannya, atau semua kehendak dan perbuatan
manusia merupakan bentuk dari kehendak Tuhan.
Tentang hal itu, terdapat
kelompok-kelompok seperti Qadariyyah, Jabariyyah, dan tak lupa juga Asyaiariyyah.
Menurut Qadariyyah, manusia memiliki otonomi penuh dan merdeka atas
perbuatannya sendiri, baik secara kehendak ataupun kemampuan. Tuhan tidak
memiliki peran di dalamnya.
Sebaliknya, menurut Jabariyyah,
Tuhan telah menciptakan seluruh perbuatan manusia, sehingga manusia tidak
memiliki peran di dalam perbuatannya sedikit pun. Alasannya, jika manusia dapat
menciptakan perbuatannya sendirii, maka dia merupakan sekutu Tuhan dan bisa
saja tidak tunduk kepada-Nya.
Kedua pandangan di atas, dalam satu
sisi, memiliki tujuan yang sama: mensucikan Tuhan dari “kelemahan” manusia.
Akan tetapi di sisi lain, keduanya juga menjauhkan Tuhan dari kemuliannya.
Konsekuensi keduanya seakan dilematis.
Adapun Asy’ariyyah,
berpendapat bahwa perbuatan manusia itu memiliki dua sifat: perbuatan yang
timbul secara tidak sengaja (reflek) dan perbuatan yang terjadi karena
kehendaknya sendiri. Mereka juga menjelaskan konsep kasab, yaitu ketika kehendak manusia bersesuaian
dengan kehendak Allah swt.
Selain ketiga di atas, persoalan
tentang demikian juga dikemukakan oleh Abdullah Nasih Ulwan. Dalam al-Insan
bayn al-Qadr wa al-Ikhtiar, Ia berpendapat bahwa perbuatan manusia dibagi
menjadi dua, musayyar yaitu yang ditentukan dan mukhayyar atau
yang dapat dipilih.
Musayyar merujuk pada perbuatan makhluk Allah yang mutlak dan alami. Ini
berlaku pada seluruh makhluk: manusia, hewan, dan tumbuhan. Musayyar juga
dapat disebut dengan hukum Allah atau sunnatullah. Misal, sesuatu yang
dilempar ke atas pasti akan jatuh ke bumi.
Adapun mukhayyar merujuk pada
kemampuan manusia untuk memilih untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu. Hal ini karena manusia diberikan keistimewaan akal yang membantunya
mempertimbangkan suatu hal.
Atas kedua pembagian itu, Abdullah
Nasih Ulwan berpendapat bahwa pada mukhayar, manusia dikenai hukum
taklif dan dimintai pertanggung jawaban atas perbuatannya. Sedangkan pada musayyar,
tidak.
Tanggapan
Terhadap Pernyataan “Ini Adalah Takdir Allah”
Hemat saya, jika pernyataan tersebut
dipandang dalam kajian teologis, maka tentulah sah dan benar. Muhammad ibn
Ibrahim al-Hamd dalam bukunya al-Iman bi al-Qadla wa al-Qadr (Kupas
Tuntas Masalah Takdir, terj), menjelaskan bahwa berdalih dengan “takdir” pada
saat musibah itu diizinkan. Hal ini untuk menunjukkan keikhlasan dan ketabahan
atas musibah yang telah menimpa.
Allah swt. berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ
مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ ١٥٥
اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ
وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ ١٥٦
“Kami pasti akan mengujimu dengan
sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah
(wahai Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang sabar. Yaitu orang-orang yang
apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi
rāji‘ūn” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya
kepada-Nya kami akan kembali).”
Namun, di sisi lain, jika pertanyaan
itu dipandang lebih luas lagi, hal ini bermakna bahwa Allah seakan-akan
menimpakan musibah demikian tanpa sebab yang melatarbelakanginya. Padahal dalam
proses pembangunannya terdapat kelalaian yang menjadi sebab utama dari musibah
tersebut.
Mengutip dari The Conservation,
bahwa dalam tragedi ambruknya bangunan tersebut, terdapat masalah pada sistem
perizinan pembangunan, sistem pengawasan, dan sistem perlindungan pekerja
kontruksi.
Dengan demikian, musibah tersebut tidak dapat sepenuhnya ditengadahkan ke langit, melainkan juga harus menjadi autokritik kepada individu yang terlibat. Dan pernyataan “takdir” tersebut bisa jadi merupakan alasan apologetis dan seakan-akan bermaksud “cuci tangan”.
Editor: Iskandar Dzulkarnain