Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Borok Hegemoni Syahwat Intelektual

 

Gambar oleh tatianazaets, diunduh melalui istockphoto.com
Penulis: Muhammad Zahid An Naufal (Ketua Bidang RPK PK IMM Al-Farabi)

 

“Maafkan kami,” kiranya menjadi klausa yang cocok untuk kami, Komisariat Al-Farabi, ucapkan terhadap IMM Komisariat Saintek. Penggabungan DAD dua komisariat itu di dua periode lalu berimbas negatif pada keberlangsungan hidupnya Komisariat Saintek hingga saat ini.

Dominasi kepengurusan RTL oleh Al-Farabi saat itu seakan-akan menutup ruang eksplorasi ide kader Saintek. Dari mulai pertemuan yang selalu di kampus Ahmad Yani, hingga berujung pada hanya memberikan porsi pekerjaan teknis yang menyulitkan. 

Dominasi Al-Farabi membunuh karakter, dominasi Al-Farabi meracuni tumbuhnya perkaderan yang inklusif.

Karena tidak banyak yang tahu-menahu soal ini, maka penulis merasa perlu membahasnya. Temuan akan dominasi itu hadir kembali di komisariat lain. Kekhawatiran yang sama akhirnya kembali menghantui.

Ingin mendominasi di atas yang lain sadar atau tidak kerapkali terulang. Dilakukan oleh komisariat yang berbeda, pola yang berbeda, juga korban yang berbeda.

Komisariat itu mendominasi lewat hegemoni syahwat baru, hasrat ingin dianggap sebagai pusat intelektual. Sesederhana itu sekaligus seserius itu. Tindakannya mengingatkan penulis akan kisah pembangunan menara Babel di Babilonia.

Namrud menginginkan bahasa menjadi satu. Ia membangun menara sebagai bentuk legitimasi eksistensial pusat bahasa. Tak elak Babilonia ingin dianggap penyelamat umat manusia.

Dalam Kitab Kejadian diceritakan menara itu dibangun ingin melawan langit. Keserakahan itu mengundang kutukan yang berakibat umat manusia ditakdirkan tercerai-berai dengan bahasa yang berbeda. Agar pusat itu disebar.

Ambisi ingin dianggap pusat tersebut merupakan dakwaan pencapaian, yang juga menjadi bentuk arogansi dengan ungkapan yang lain.

Akan memudahkan kita bila menyebutnya dengan Komisariat Babel, bukan? Gairah akan keilmuan bertumbuh, namun diimplementasikan dengan mengesampingkan etika, culas. Klaim yang mendakwa diri mereka sebagai pusat hanya menjadi terlihat mendominasi saja.

Bahkan menantang dengan firman fa’tuu bisuurah ala Tuhan yang digunakan untuk semakin terlihat mendominasi di samping mengenyangkan ego legasi yang diturunkan berbentuk legitimasi yang lain.

Lebih-lebih, satu perkaderan pendukung yang mulanya menjunjung tinggi independensi menjadi ikut mereduksi maknanya akibat hegemoni yang di lakukan oleh komisariat ini.

Mungkin jika nadi gerakan perkaderan pendukung itu disayat, yang keluar adalah darah adaptif, bukan lagi darah berdikari.

Penulis khawatir, syahwat intelektual yang muncul dari nafsu komisariat dalam tubuh ikatan ini mengakibatkan munculnya penyakit yang menginfeksi pihak di luarnya. Mereka menggaruk komisariat lain dengan kuku kotornya agar ikatan ini tak terlihat berjerawat lagi.

Padahal jerawat yang mentah itu adalah bentuk kerja hormon pertanda tubuh ikatan mulai dewasa. Menggaruknya hanya memberi borok di masa berikutnya.

Wajah ikatan ini tak lagi mulus seperti sebelumnya. Jangan disentuh, biarkan komisariat matang sendirinya. Bila perlu, beri salep untuk membantunya cepat matang dan cepat kembali cantik.


Editor: Restu Agung Santoso

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA