Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Konteks Toleransi : Sosiologis dan Teologis


Isu Toleransi dalam beragama selalu menjadi perbincangan hangat di Indonesia akhir – akhir ini. Mulai dari isu HTI, FPI, fatwa tentang hukum muslim mengucapkan selamat natal, hingga yang terakhir SKB 3 Menteri tentang seragam sekolah  telah menimbulkan pro-kontra ditengah masyarakat. Berbicara mengenai toleransi, Islam adalah agama rahmatan lil alamiin yang menjunjung tinggi kerukunan, namun Islam mempunyai konteks dan kaidah dalam bertoleransi, tidak boleh "asal-asalan" dalam bertoleransi.

Toleransi dalam Islam terbagi menjadi dua, yang satu diperintah dan yang satunya lagi dilarang. Toleransi yang diperintah yaitu toleransi sosiologis (muamalah), sementar toleransi yang dilarang adalah toleransi teologis (akidah). Islam tidak melarang Muslim bermuamalah atau bergaul dengan non-muslim. Namun, dalam hal aqidah Islam tegas melarang untuk mencampur adukkan aqidah Tauhid dengan kemusyrikan. Muamalah dan aqidah adalah dua konteks toleransi yang berbeda. Ketidaktepatan dalam memahami konteks toleransi berujung kepada kesalahan pemahaman terhadap toleransi itu sendiri. Seorang bisa saja terjerumus kedalam kerusakan aqidah karena "kebablasan" dalam toleransi, sebaliknya seseorang bisa menjadi extrimis karena salah faham terhadap toleransi.

Toleransi Sosiologis

Toleransi sosiologis adalah toleransi dalam konteks umat muslim sebagai makhluk sosial yang hidup berdampingan satu sama lain. Dalam Islam disebut dengan hablum minannas, hubungan manusia sesama manusia. Dalam Islam ada Fiqih Muamalah, yaitu hukum-hukum yang mengatur bagaimana seorang muslim berinteraksi dengan orang lain, baik sesama muslim maupun dengan penganut agama lainnya.

Islam agama yang sangat menjunjung tinggi toleransi. Piagam Madinah dalam sejarah Islam adalah wujud toleransi yang dicontohkan Rasulullah SAW. Saat itu terjadi pertikaian antar suku di Madinah, untuk meredam Rasulullah SAW mengumpulkan semua suku yang ada baik dari Islam, Yahudi, Nasrani dan Majusi untuk duduk bersama sehingga menghasilkan undang-udang Piagam Madinah sebagai simbol perdamaian antar suku dan agama di Madinah saat itu. Setiap umat beragama hidup berdampingan dengan mepunyai hak menjalankan kepercayaannya masing-masing.

Dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8, Allah SWT berfirman ;

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِ(8)

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al Mumtahanah: 8)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non muslim yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang yang berbuat adil.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim). Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah mengatakan bahwa bentuk berbuat baik dan adil di sini berlaku kepada setiap agama, (Tafsir Ath Thobari).

Sangat diperlukan kesadaran akan toleransi sosiologis di tengah masyarakat Indonesia yang sangat majemuk baik secara etnis maupun agama. Umat muslim sebagai mayoritas mesti bertindak sebagai aktor dalam mewujudkan Indonesia yang rukun dan damai.

Toleransi Theologis

Teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan. Dengan demikian, toleransi teologis adalah toleransi dalam aspek keyakinan terhadap konsep ketuhanan atau Aqidah dalam istilah Islam. Berbeda dengan toleransi sosiologis yang diperintahkan dalam Islam, toleransi teologis tegas dilarang dalam Islam. Dengan kata lain, tidak ada toleransi dalam aqidah, tidaklah seorang disebut  beriman (mu’min) jika dia mencampurkan aqidahnya dengan kepercayaan selain Islam baik dalam bentuk keyakinan, perkataan dan perbuatan.

Aqidah Islam harus mencakup tiga aspek, yaitu perkataan dengan lisan, keyakinan dalam hati, amalan dengan anggota badan. Tidak disebut beriman kecuali dengan ucapan. Tidak manfaat ucapan kecuali dengan beramal. Tidak amalan kecuali menjalankan diin (sunnah Nabi). Ketiga hal ini saling melazimkan. Ketiga hal ini saling terkait. Sebagaimana hadits dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

“Ingatlah di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad akan ikut baik. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan ikut rusak. Ingatlah segumpal daging itu adalah hati (jantung).” (HR. Bukhari dan Muslim).

Imam Al-Muzani berkata,

وَالإِيْمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ مَعَ اعْتِقَادِهِ بِالجَنَانِ قَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالجَوَارِحِ وَالأَرْكَانِ

“Iman itu perkataan dan perbuatan, bersama dengan keyakinan dalam hati, ucapan dalam lisan, dan amalan dengan anggota badan.”

Dengan tidak membedakan antara konteks sosiologis dan teologis, pemahaman terhadap toleransi seringkali keliru. Jika perkara muamalah dianggap sebagai konteks teologis, maka akan timbul sifat ekstrimisme dan eksklusifisme yang mendorong perpecahan antar umat beragama. Sebaliknya jika hal- hal yang berkaitan dengan aqidah hanya dianggap perkara muamalah saja, maka akan timbul kerusakan keyakinan, tasyabbuh, yang berujung kepada kemusyrikan dan kekafiran.

Seorang Muslim wajib meyakini bahwasanya Islam adalah satu-satunya agama yang benar, karena ini adalah masalah aqidah yang tidak bisa ditawar. Keyakinan harus terwujud dalam tiga hal, yaitu diucapkan secara lisan, diyakini dengan hati dan dibuktikan dengan perbuatan. Jadi, sangat salah jika seorang muslim yang hatinya percaya akan keesaan Allah SWT, sementara lisannya masih suka mengungkapkan kata-kata yang mengandung kekufuran terhadap Allah SWT. Seorang muslim juga harus menghindari perbuatan- perbuatan yang mengandung kekufuran, seperti meniru dan ikut – ikutan dalam ritual agama lain (tasyabbuh).

Bagi seorang muslim, semangat toleransi adalah perwujudan dari ketaatan kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim). Toleransi dan keimanan berjalan bergandengan. Toleransi yang benar adalah yang dibangun di atas aqidah yang kuat.

Author: M Rizki

(Ketua Bidang RPK Koorkom IMM UINSA 2020-2021)

Editor: Gangga Taruna AJ