Back to Muslimah Identity !
Author : Hidayati Nurul Hasanah ||
Dahulu, sejak Khilafah tegak berdiri, keberadaan perempuan dalam system ini mempunyai derajat yang begitu mulia. Kehidupan mereka bukan seperti kehidupan perempuan dalam masyarakat kapitalis saat ini, yang dibiarkan mengumbar aurat dan berinteraksi dengan lawan jenis nyaris tanpa batasan. Hingga berakibat pada kerusakan tatanan masyarakat, seperti perzinahan, perkosaan, broken home, kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan untuk kepentingan materi. Institusi perkawinan dalam keluarga tidak lagi sakral. Seseorang bisa memiliki anak tanpa pernikahan yang sah, bahkan tidak jarang terjadi incest (hubungan seks sedarah).
Seorang perempuan dalam
kedudukannya sebagai istri dan ibu rumah tangga dituntut bekerja sebagaimana
laki-laki. Kehidupan perempuan ala barat seperti ini hanya menimbulkan
kegersangan psikologis dan alienasi. Islam telah menempatkan perempuan sebagai
kehormatan yang wajib dijaga. Salah satu penjagaan terhadap muslimah adalah
adanya aturan dengan menggunakan pakaian muslimah ketika keluar rumah yang
menutupi seluruh auratnya dan menampakkan identitas muslimnya. Bahkan, Islam
telah mewajibkan perintah menutup aurat ini bagi setiap muslimah yang telah baligh.
Bahkan di masa Khilafah Islamiyah, Negara yang menerapkan seluruh aturan Islam
dalam kehidupan maka, pakaian muslimah diwajibkan oleh Negara. Hingga tak
satupun muslimah yang hidup di masa itu, selama kurang lebih 13 abad kecuali
mereka menggenakan jilbab dan kerudung di kehidupan umum.
Namun kini Khilafah telah tiada. Ketiadaannya menjadi masalah terbesar bagi umat. Identitas muslimah tercabut tak tersisa. Hari ini, muslimah berlomba-lomba bersegera menyempurnakan pelaksanaan kewajiban menutup aurat sebagian negara di dunia malah menerapkan larangan berhijab. Memang masih ada Negara yang membolehkan atau membiarkan muslimah berhijab. Namun serangan terhadap hijab juga tak kalah massif. Pakaian muslimah yang merupakan identitas muslimah sampai hari ini terus di hujat. Di Indonesia, ada larangan mengenai jilbab dan kerudung namun pakaian muslimah terus di anggap sebagai symbol ekstrimis yang di pandang sebagai musuh. Bahkan, jika didapatkan orang tua menyuruh anak menutup aurat atau sekolah menerapkan aturan wajib mengenakan pakaian muslimah di sekolah maka hal itu di anggap sebagai sikap atau tindakan intoleran. Jutaan muslimah pun sering kali mengalami dilemma di antara berbagai pilihan sulit antara pakaian muslimah, keyakinan, pendidikan, atau profesi mereka.
Tak bisa dipungkiri, bahwa
penerapan larangan berhijab di beberapa negara, serangan massif terhadap hijab
oleh penguasa negeri Muslim atau barat adalah monsterisasi terhadap ajaran
Islam. Ada upaya terstruktur oleh barat yang merupakan musuh Islam agar umat
Islam menjauhi tuntunan syari’at. Ketika syari’at mewajibkan kerudung mereka
berupaya memonsterisasi dengan melabelinya sebagai ciri-ciri ekstrimis,
radikal, dan teroris. Maka, tak heran para penguasa muslim pro barat mendukung
pencegahan ekstrimisme lewat larangan pakaian muslimah. Belum lagi paham
liberalisme yang terus menggerus keyakinan muslimah agar menanggalkan
kerudungnya dan menghiasi diri tanpa pakaian sempurna menutupi tubuhnya dengan
alasan modernisasi ataupun tuntutan profesi. Ini semua terjadi karena tidak
diterapkannya Islam sebagai solusi kehidupan.
Tidak hanya syari’at tentang berkerudung
dan jilbab, banyak syari’at lainnya terkait perempuan yang tak bisa diterapkan
sempurna dalam system kapitalis saat ini. Mengenai pernikahan, perceraian,
nafkah, pengasuhan anak, dan lain sebagainya. Banyak bukti menunjukkan dalam
system kapitalisme liberal perempuan justru dijauhkan dari berbagai syari’at
Islam melalui kampanye ide kesetaraan gender, mereka membuat takut kaum perempuan,
mengajak kaum perempuan menuntut hak sama atas laki-laki, pembagian warisan
yang sama, atau bisa bekerja di ranah publik tanpa membedakan jenis
pekerjaannya. Apalagi tuntutan aneh yang disuarakan kaum feminis, yaitu kaum
perempuan berhak mengontrol reproduksinya dan bebas berbusana yaitu melepas
pakaian muslimah, menyerahkan urusan perempuan pada sistem kapitalisme liberal
berarti membiarkan perempuan terus menjauh dari syari’at nya.
Dalam
Islam sudah jelas bagaimana pengaturan yang adil, proporsional dan cocok untuk perempuan
dan juga laki-laki. Sebagaimana contohnya wanita diciptakan lemah lembut,
keibuan dan ingin dilindungi. Sedangkan laki-laki diciptakan oleh Allah lebih
tegas, cocok sebagai karakter pemimpin dan punya karakter melindungi. Dan ternyata
aturan Islam yang wajib untuk jadi ibu/ummi adalah wanita dan yang wajib untuk
jadi kepala keluarga adalah laki-laki/suaminya, jadi pas dan cocok sesuai
karakter wanita dan laki-laki. Tanpa dibolak balik. Dan sebenarnya kalau disamakan hak dan kewajibannya, misal yang berhak jadi kepala keluarga ada yang
bisa menafkahi atau yang bekerja Jika yang bekerja istri maka istri jadi kepala
keluarga. Atau yang pendapatannya lebih banyak yang berhak jadi kepala
keluarga. Lantas ketika wanita sedang melahirkan atau sedang nyeri haid
harusnya gak boleh absen kerja dong. Karena laki laki tidak ada ijin cuti
melahirkan alih-alih solusi yang didapat malah kehancuran bagi perempuan.
Kehormatan dan kemuliannya tak terjaga. Oleh karena kembali pada Islam adalah
satu satunya jalan bagi perempuan agar dapat menjalankan kewajibannya kepada
Allah SWT dengan sempurna dan aman, termasuk syari’at yang berkaitan dengan
perempuan.
Tidak akan ada satupun yang berani
menghujat pakaian muslimah bahkan memaksa seorang muslimah untuk melepaskannya.
Khalifah (pemimpin) akan berupaya menjaga kehormatan dan kemuliaan perempuan
meski harus menurunkan ratusan pasukannya. Bukankah kehidupan seperti ini yang
kita inginkan?