Tumbal untuk Tuhan
Selasa, 29 Juni 2021 hari ini amat sangat dingin, mendung yang menutup sang mentari pagi, bintang dan bulan pasti sudah tidak nampak lagi. Bahkan, hewan malam tentu sudah pergi.
Para profesionalis pergi mengais rezeki, pelajar yang berjalan menuju sekolah untuk menuntut ilmu lagi. Dan aku terpanggil untuk pulang kampung ke desa kecil yang kucintai.
Hari yang penuh misteri bagiku, bumi yang seakan bersedih, langit yang murung tidak berekspresi. Hening bagaikan mengenang jasa para pahlawan perang.
Dari jauh aku melihat kursi yang berjejer di pinggir jalan. Warga juga ikut duduk dan membantu berkemas mempersiapkan keperluan. Bukan orang tua atau orang yang masih muda. Bahkan, seluruh kampung mengeluarkan perwakilan dari setiap rumah mereka.
Aku mengira itu adalah sebuah acara keluarga, kondangan, tasyakuran atau yang lainnya. Ternya bukan, tidak kusangka panitia kematian menjemput salah satu hambah tuhan untuk ditumbalkan.
“Kejam ! Tidak berperi kemanusiaan !” Gumamku dalam hati melihat kejadian ini.
“Masih kurangkah tuhan dengan sujud para hambanya setiap malam dan siang ? masih kurangkah kalimat-kalimat tasbih yang di dzikirkan untuk mengagungkan ?”
Ingin sekali aku menggerakkan seluruh penduduk bumi untuk mendemo ketidak adilan ini. Berperang, jika aksi ini dibutuhkan untuk menuntut perikemanusiaan.
“Allahu Akbar Allahu Akbar !”
Suara adzan dhuhur sedang dikumandangkan, menghancurkan lamunanku didepan gerbang keluar. Sudah cukup lama aku mematung melihat keadaan dengan penuh kemarahan.
Hingga aku tersadarkan bahwa
kematian adalah obat kerinduan sang hamba kepada tuhan yang telah menciptakan.
Author: Mahbub Junaidi
(Kader IMM Ibn Khaldun)
Editor: M Rizki