Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ilmu Sosial Profetik di Antara Beragam Paradigma Ilmu Sosial

 

Memahami Ilmu Sosial

Jika sebelumnya kita banyak membahas biografi dari Kuntowijoyo dan masalah-masalah yang melatarbelakangi lahirnya Ilmu Sosial Profetik, maka kali ini kita akan mengkaji terkait posisi Ilmu Sosial Profetik jika kita bandingkan dengan paradigma-paradigma ilmu sosial yang lainnya. Namun sebelum itu marilah kita membahas dulu terkait karakteristik ilmu sosial. 

Ilmu sosial memiliki karakter yang tentu saja berbeda dengan ilmu-ilmu alam, dikarenakan objek kajiannya yakni kumpulan manusia atau masyarakat. 

Melakukan pengkajian terhadap masyarakat tentu jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan pengkajian terhadap benda-benda alam. Ilmu alam, seperti Fisika, Biologi, Geologi, Zoologi dan lainnya, dapat menawarkan kepastian yang sangat tinggi. Kemampuan prediksi yang tinggi terhadap gejala alam itulah yang membuat manusia memiliki kontrol penuh atas alam.

Ilmu sosial memiliki problemnya sendiri. Menangkap gejala sosial tentu tidak bisa disamakan dengan menagkap gejala alam. Situasi masyarakat, yang menjadi objek kajian ilmu sosial, berubah dari waktu ke waktu. 

Hal itu membuat para ilmuwan sosial kesulitan dalam menetapkan kaidah-kaidah atau dalil-dalil yang dapat diterima oleh semua kalangan. Oleh karena kerumitannya itu Soerjono Soekanto berpendapat ilmu sosial baru pada tahap menganalisa dinamika sosial yang terus bergerak dan berubah.

Jenis-jenis Paradigma Ilmu Sosial

Karena begitu dinamisnya gejala sosial, membuat banyak paradigma yang dibangun oleh para ilmuwan dalam memahami gejala sosial tersebut, namun kali ini kita hanya akan membahas tiga paradigma mainstream yang ada dalam ilmu sosial menggunakan kaca mata Habermas. 

Menurut Habermas sebagaimana yang dikutip oleh Mansour Fakih bahwa, pada dasarnya paradigma ilmu sosial terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Instrumental Knowledge, Hermeneutic Knowledge dan Critical Knowledge

Instrumental Knowledge (Paradigma Sosial Positivistik)

Paradigma yang pertama ini dibangun oleh salah satu filosof modern asal Perancis, Aguste Comte. Istilah Positivisme diambil dari kata “positif”,  merujuk pada kerangka konseptual yang tidak melampaui fakta-fakta empiris, sehingga pengetahuan-pengetahuan metafisis dan pengalaman spiritual dianggap sebagai pengalaman yang tidak nyata.

Positivisme mengandaikan bahwa metode, teknik dan pendekatan yang dilakukan oleh ilmu alam, juga dapat dilakukan oleh ilmu sosial. Paradigma ini mengeneralisasi bahwasannya fenomena alam dan fenomena sosial itu sama, dan oleh karenannya penggunaan metode dalam ilmu alam itu sah apabila diterapkan kepada ilmu sosial.

Gejala sosial dikaji, untuk mengetahui hukum-hukumnya, memprediksi gejalanya dan dari situ melakukan kontrol atasnya, sebagaimana yang dilakukan pada ilmu-ilmu alam. Tak heran, Aguste Comte menyebut Sosiologi dengan Fisika Sosial. 

Hermeneutic Knowledge (Paradigma Sosial Interpretatif)

Jika paradigma sebelumnya digagas oleh Aguste Comte, maka padigma yang ini diinisiai oleh Max Weber, sebagai bentuk kritik atas paradigma Positivisme. 

Kerangka konseptual Weber merupakan antitesa terhadap teori positivisme yang menyisihkan kekuatan subjek dalam mengetahui, teori ini justru sangat optimis terhadap kekuatan subjek sebagai pelaku pengetahuan, dan terbuka ruang baginya untuk dapat menyingkap makna dibalik peristiwa-peristiwa yang ada.

Menurut Weber bahwa, pokok persoalan Sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan sosial (penjelasan kausal) sebagai “tindakan yang penuh arti.” 

Jika positivism berfokus pada hubungan kausalitas pada gejala-gejala sosial, maka Weber, melihat bukan itu yang terpenting dalam ilmu sosial, melainkan “Makna”. Pemahaman atas makna yang diciptakan dalam suatu tindakan sosial.

Critical Knowledge (Paradigma Sosial Kritis)  

Paradigma yang terakhir ini lahir dikarenakan kekecewaan para teoritisi-teoritisi kritis pada keadaan ilmu sosial yang hanya berhenti pada tataran konsepsi, namun tidak melihat pentingnya unsur praktis dalam ilmu sosial. Paradigma ini digagas oleh para teoritisi-teoritisi Kritis dari Frankfurt, oleh karenanya biasa disebut dengan Mazhab Frankfurt. 

Bagi teori paradigma kritis, tugas ilmu sosial pada intinya ialah terlibat dalam tugas-tugas historis kemanusiaan dan tidak hanya berhenti pada tahap pemahaman dan konsepsi atas gejala sosial, tapi lebih dari itu ia bertugas untuk memberikan penyadaran kritis kepada masyarakat terkait dengan bagaimana pengetahuan masyarakat itu membentuk dan berpengaruh terhadap realitas sosial itu sendiri.

Sederhanya, dalam paradigma kritis, ilmu sosial tidak hanya bertugas memahami gejala sosial, melainkan juga menyadarkan masyarakat apabila dirasa gejala sosial yang terjadi berisi ketidakadilan. Maka dari itu, teori ini pada intinya adalah teori perubahan sosial atau transformasi sosial.

Posisi Ilmu Sosial Profetik

Jika paradigma sosial kritis adalah kritik bagi paradigma positivism dan interpretatifisme Weberian, maka ilmu sosial profetik bisa dikatakan sebagai kritik atas teori kritis. Kuntowijoyo sepakat dengan paradigma sosial kritis, terkait tugas ilmu sosial dalam mentransformasikan masyarakat.

Namun yang tidak disepakati oleh Kuntowijoyo adalah mengenai posisi dan kedudukan agama yang dianggap sebagai penghambat atau bahkan penghalang dari transformasi sosial. 

Dalam Ilmu Sosial Profetik, Kuntowijoyo ingin menjawab tuduhan terhadap agama yang dikemukakan oleh para pemikir Barat. Bagi Kuntowijoyo berbeda dengan mitologi Yunani yang melihat manusia sebagai makhluk yang tidak memiliki kesadaran, serta filsafat Kristen yang melihat manusia sebagai pendosa sehingga dibutuhkan juru selamat sebagai penebus dosa.

Menurut Kuntowijoyo, Islam hadir untuk mendekosntruksi gagasan-gasan yang seperti itu dengan cara mengangkat derajat manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi.

Agama, terutama Islam, bukan hanya tidak menjadi penghalang bagi lajunya transformasi sosial, melainkan justru bisa menjadi spirit dalam melakukan transformasi sosial. Untuk mendukung gagasannya tersebut ia melakukan penerjemahan kreatif atas QS Ali Imran ayat 110, menjadi tiga pilar bagi Ilmu Sosial Profetik.

Tiga pilar itu adalah, Ta’muruna bil ma’ruf (Humanisasi), Tanhauna anil munkar (Liberasi) dan Tu’minuna billah (Transedensi). Humanisasi, Liberasi dan Transendensi ini adalah pilar bagi paradigma Ilmu Sosial Profetik, sekaligus spirit bagi adanya suatu transformasi sosial, demi terwujudnya peradaban manusia yang menjunjung keadilan, kesetaraan, dan sekaligus melakukan perlawanan pada kesewenang-wenangan dan subordinasi.   

Author: Tim Redaksi

(Fadhlur Rohman, Rifaldo Musthofa, & Ayfa FE Auni)

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA