Tahapan Sejarah Umat Islam Indonesia Menurut Kuntowijoyo
Kuntowijoyo Sebagai Sejarawan
Pada pembahasan dalam tulisan-tulisan sebelumnya nampak bahwa Kuntowijoyo adalah seorang cendekiawan muslim dan sekaligus memiliki konsentrasi dalam bidang ilmu sosial, terkhusus Sosiologi.
Namun sebenarnya
Kuntowijoyo juga banyak dikenal sebagai seorang sejarawan. Banyak sekali
buku-buku yang ia tulis tentang sejarah, beberapa di antaranya seperti,
Dinamika Sejarah Umat Islam di Indonesia (1985), Radikalisasi Petani (1993), Metodologi
Sejarah (1994), dan Pengantar Ilmu Sejarah (1997).
Terkait dengan corak analisis Kuntowijoyo terhadap sejarah yang sering menggunakan pendekatan struktural Marxian sebagai kerangka analisis untuk menjelaskan dinamika dan perkembangan sejarah, menyebabkan ia juga dijuluki sebagai tokoh sejarah sosial struktural.
Hal tersebut terbukti dari
terminologi-terminologi yang digunakan dalam pembahasan kesejarahannya, seperti
“kawula”, “wong cilik”, “periferial”, “alienasi” dan
lain-lain.
Tiga Tahap Sejarah Umat Islam di Indonesia
Jika para pembaca pernah membaca pemikiran Aguste Comte,
maka rekan-rekan akan menjumpai pemikirannya tentang tahapan sejarah umat
manusia. Aguste Comte membagi tahapan sejarah itu menjadi tiga periodisasi, yakni
dimulai dari Teologi, Metafisis dan puncaknya Positif.
Setiap tahapan sejarah memiliki produk peradabannya
masing-masing. Pada tahap pertama produknya adalah ‘Agama’, pada tahap kedua
produknya adalah ‘Filsafat’ dan pada tahap puncak produknya adalah ‘Ilmu
Pengetahuan’.
Kuntowijoyo, menurut asumsi penulis, nampaknya terinspirasi
oleh pemikiran Comte tadi. Karena dalam bukunya Dinamika Sejarah Umat Islam di
Indonesia, ia membagi tahap sejarah umat Islam menjadi tiga tahapan. Pertama
tahap ‘Mitos’, kedua tahap ‘Ideologi’ dan yang paling puncak dalam
pandangan Kuntowijoyo adalah tahap ‘Ilmu'.
Periode Mitos. Periode ini terjadi di zaman
pra-kolonial hingga sebelum zaman pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pada periode ini umat Islam memiliki kecenderungan
pemikiran yang berorientasi pada penggantungan harapan perubahan pada pemimpin
yang bersifat abstrak (Ratu Adil), dimana hal tersebut diyakini akan membawa
pembebasan dari ketidakadilan.
Produk peradaban dari periode ini adalah Kerajaan dan
lembaga keagamaan seperti Pesantren. Umat Islam menjadi sangat tergantung pada kelompok
elit, baik itu penguasa istana (Raja, Pangeran atau Bangsawan), maupun para agamawan
(Kyai, Datuk, Tengku atau Ulama).
Periode Ideologi. Periode yang kedua ini terjadi di zaman pergerakan kemerdekaan, dan semakin terasa di zaman awal pasca kemerdekaan. Umat Islam di periode ini memiliki kecenderungan menyandarkan harapan akan perubahan hidup dan kemenangan pada ideologi politik.
Bisa dibilang umat Islam pada saat itu begitu gandrung
dengan aktivitas politik. Hal itu karena kondisi bangsa Indonesia yang memang
sedang mencari bentuk terbaik dalam mendirikan sebuah negara.
Produk peradaban pada periode ini adalah Organisasi Sosial, Organisasi Politik atau Partai Politik. Pada periode ini agenda besar umat Islam adalah mendirikan negara yang berdasarkan pada ajaran Islam, yang mengakui syariat Islam sebagai hukum resmi negara.
Namun kenyataannya umat
Islam selalu gagal, dan selalau berhasil dikalahkan oleh kelompok nasionalis
dalam setiap kontestasi politik. Sehingga umat Islam beralih pada periode
ketiga.
Periode Ilmu. Pada periode ini ideologi dalam ranah politik sudah bukan lagi instrumen utama dalam perjuangan Islam, melainkan dengan memproduksi ilmu pengetahuan.
Dengan memproduksi ilmu pengetahuan (sains), ajaran agama Islam akan dapat diterima oleh lebih banyak kalangan, dan tidak eksklusif kepada umat Islam saja.
Kalau ideologi itu
bersifat tertutup dan subjektif, maka sebaliknya ilmu pengetahuan bersifat
terbuka dan objektif, sehingga tidak harus beragama Islam untuk membuktikan
kebenaran ilmu.
Dalam tahap ketiga ini adalah umat Islam telah mampu meng-eksternalisasi-kan
ajaran Islam yang subjektif kedalam bentuk ilmu yang objektif. Sehingga produk
peradaban dalam periode Ilmu adalah lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan yang lahir
dari Islam.
Salah satu yang ingin coba dirintis oleh Kuntowijoyo adalah
Ilmu Sosial Profetik. Dari Ilmu Sosial Profetik itulah yang nantinya menjadi
basis teori dalam mewujudkan transformasi masyarakat yang mengandung
nilai-nilai Humanisasi, Liberasi dan Transendensi.
Objektivasi Islam dan Ilmu Sosial Profetik
Seperti yang sudah dijelaskan dalam tulisan-tulisan sebelumnya, bahwa ilmu adalah kelanjutan dari fase sejarah umat Islam. Barangkali Kuntowijoyo telah melihat pengalaman umat Islam yang selalu gagal meraih kemenangan menghadapi kontestasi politik dengan kelompok-kelompok nasionalis.
Sehingga Kuntowijoyo menyarankan umat Islam untuk mengambil jalan lain dalam
memperjuangkan Islam, yakni lewat ilmu pengetahuan (sains).
Ide yang diajukan Kuntowijoyo untuk sampai ke periode Ilmu
adalah dengan melakukan Objektivasi Islam. Isi ajaran Al-Quran dan Sunnah,
dimaknai ulang dan diambil intisarinya, yang kemudian dari intisari itu dapat
diuji dalam mekanisme saintifik sehingga bisa dibuktikan kebenarannya secara
objektif.
Karena fokus Kuntowijoyo pada transformasi sosial, maka Objektivasi
Islam difokuskan pada isi ajaran Islam yang mengkaji terkait realitas sosial. Hasil
dari Objektivasi Islam di ranah sosial itulah yang Kuntowijoyo namakan dengan
Ilmu Sosial Profetik.
Harapan penulis, Ilmu Sosial Profetik tidak hanya berhenti
pada diskusi-diskusi akademik, namun bisa berkembang menjadi satu Mazhab baru
dalam Ilmu Sosial, yang juga diperhitungkan oleh para Ilmuwan Sosial lainnya,
dan tidak hanya pada kalangan umat Islam saja.
Author: Tim Redaksi
(Fadhlur Rohman, Rifaldo Musthofa, & Ayfa FE Auni)