Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Catcalling dalam Perspektif Hukum Pidana


Akhir-akhir ini di media sosial dan di media massa lagi maraknya berita tentang pelecehan seksual. Pelecahan Seksual merupakan bentuk tingkah laku mengandung seksual yang tidak diinginkan oleh objeknya. Permintaan untuk melakukan perbuatan seksual, baik secara lisan, atau fisik yang tempat kejadiannya bisa di ruang publik. 

Pelecehan seksual memiliki ruang lingkup yang sangat luas, berbagai bentuk dari lisan maupun tulisan, fisik dan non fisik, mulai dari adanya ungkapan verbal (komentar yang tidak senonoh, gurauan berbau seksual dan sebagainya) dalam bentuk fisik (mencolek, meraba, memeluk dan sebagainya), mempertunjukan gambar porno/jorok, serangan dan paksaan yang tidak senonoh seperti, memaksa untuk mencium atau memeluk, mengancam akan menyulitkan si perempuan bisa menolak memberikan pelayanan seksual, hingga perkosaan.

Perbuatan dalam bentuk lisan maupun fisik sering terjadi di masyarakat khususnya kepada perempuan. Perbuatan tersebut tentunya membuat perempuan tidak merasa aman, tentram, dan damai. 

Apalagi perbuatan pelecehan seksual dilakukan di ruang publik seperti di jalan, terminal, stasiun bahkan juga di sekolah atau kampus yang notabennya tempat untuk mencari ilmu, tentunya perbuatan tersebut akan lebih membuat korban merasa tidak aman dan nyaman ketika berada di luar rumah. 

Hal tersebut tentunya sangat bertentangan dengan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”.

Street harassment yang dilakukan dengan bersiul, memanggil dengan sebutan “cantik”, “sayang”, dan komentar verbal yang mengganggu oleh orang yang tidak dikenal merupakan tergolong ke dalam catcalling yang termasuk sebagai bentuk pelecehan di jalan, membuat komentar seksual pada orang yang sedang lewat, mengikuti mereka dan mencoba untuk terlibat pada percakapan atau meneriaki penghinaan rasial saat mereka di jalan. 

Tidak jarang perilaku ini meningkat menjadi berkedip, menguntit atau lebih buruk. Tindakan ini merupakan bagian dari pelecehan seksual verbal dan pelaku yang melakukan catcalling disebut catcaller

Komnas perempuan mencatat dalam catatan tahunan 2021, bahwasannya sepanjang tahun 2020 terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan.  Menurut riset dari Hollaback, ada 71% perempuan pernah mengalami street harassment sejak usia puber (11-17 tahun) sampai masa dewasa, dan lebih dari 50%  diantaranya pelecehan fisik dan pelecehan secara verbal dan visual. 

Menurut survey yang dilakukan oleh CNN Indonesia (2016) setelah menjaring 25.213 responden baik berasal dari kota muapun kabupaten, ternyata sebanyak 58% perempuan pernah mengalami pelecehan verbal. Perbuatan ini juga sering terjadi di berbagai daerah, akan tetapi faktanya koban dari pelecehan catcalling ini lebih memilih diam, mereka merasa takut untuk melapor karena kurangnya respon dari masyarakat bahkan penegak hukum dan juga belum adanya kepastian hukum. 

Seiring dengan berkembangnya teknologi masalah catcalling ini tentunya akan semakin marak terjadi yang awalnya dilakukan dengan langsung kini bisa melalui WhatsApp, Instagram, Twitter dan media sosial lainnya. Berawal dari hal-hal kecil yang dianggap perbuatan biasa oleh masyarakat, sebenarnya menimbulkan dampak besar dan menjadi masalah sosial di lingkungan masyarakat. 

Catcalling ini telah menjadi masalah sosial yang dianggap hal biasa di kalangan publik. Biasanya catcalling ini sering terjadi di jalan, pasar, angkutan umum, bahkan di mall. Padahal catcalling sudah menjadi perbuatan yang tidak bisa dianggap biasa, dan telah dianggap sebagai "hantu" bagi kalangan perempuan. 

Catcalling dalam Perspektif Hukum Pidana

Jika kita lihat dari unsur-unsur suatu tindak pidana yang dikemukakan oleh Simon memiliki 5 unsur, dimana perbuatan tersebut bisa dikatakan sebagai perbuatan pidana. Unsur-unsur tersebut diantaranya pertama adanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, kedua perbuatan diancam pidana, ketiga perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, keempat dilakukan dengan kesalahan, kelima dapat dipertanggungjawabkan oleh pelaku. 

Sejauh ini, dalam perkembangan hukum di Indonesia, belum ada peraturan secara khusus mengenai perbuatan catcalling ini. Padahal catcalling telah menjadi gejala sosial yang meresahkan perempuan yang sering menjadi korban, dalam penegakan hukumnya pun belum adanya kejelasan mengenai dasar hukum serta penanganan yang tegas dalam penyelesaian perkaranya. 

Kemudian terdapatnya kekosongan norma hukum atas perbuatan catcalling yang semakin meningkat. Jika dilihat dalam perspektif hukum pidana bahwa pelecehan seksual verbal (catcalling) terdapat penggabungan terhadap aturan yang mengatur perbuatan tersebut. 

Seperti yang telah diatur dalam pasal pasal 281 ayat (2), pasal 315 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan pasal 8, pasal 9, pasal 34, pasal 35 UU No. 44 tahun 2008 Tentang pornografi digunakan untuk menyelesaikan kasus perbuatan pelecehan seksual verbal (catcalling) terhadap perempuan di Indonesia. 

Dalam pasal 1 angka 3 UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (PSK) menjelaskan pengertian korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. 

Ketentuan pasal tersebut menegaskan bahwa korban perbuatan catcalling termasuk orang yang mengalami kerugian baik secara mental maupun psikisnya karena perbuatan catcalling oleh catcaller dapat menimbulkan rasa malu, terganggu dan ketakutan bagi korban. 

Menurut Tauratiya dalam jurnal penelitiannya menggambarkan secara garis besar, korban dari suatu tindakan catcalling menurut Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban berhak mendapatkan perlindungan di bidang keamanan, dibebaskan untuk memilih jenis perlindungan yang akan diberikan, serta dibebaskan dari segala tekanan untuk memberikan keterangan, terlindungi dari segala jenis pertanyaan bersifat menjerat, mendapatkan informasi yang jelas mengenai perkembangan perkara yang sedang berlangsung, mendapatkan informasi perihal putusan pengadilan pelaku, diberitahu apabila terpidana bebas dari segala tuntutan, memperoleh identitas baru, diberikan kediaman baru, mendapat jaminan penggantian biaya ganti rugi perihal transportasi, diberikan nasihat hukum dan juga mendapatkan biaya bantuan untuk menyokong kehidupan sementara. 

Masyarakat juga dapat berperan dan membantu memberikan dukungan kepada korban untuk memulihkan nama baik, serta memulihkan keseimbangan batin korban dari perbuatan catcalling.

Author: M Dhiya’ulhaq S R (Ketua Bidang Tabligh PK IMM Leviathan 2021-2022)

Editor: Fadhlur Rohman

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA