Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Problema Organisasi: Tuntutan dan Sambatan

 


 

“Buat apa berorganisasi?”

Apakah kalimat di atas sudah mulai menyentuh kesadaran kalian sebagai mahasiswa yang memilih berorganisasi dengan segala ekspektasi? Kenapa ya, banyak yang dulu sadar memilih namun berujung angkat kaki dan hilang ditelan bumi? Jangan-jangan karena ekspetasinya tak terpenuhi?

Tapi, dari segala ekspektasi yang tak sempat terpenuhi dalam organisasi, sebenarnya siapa yang patut dihakimi?

Sebagai mahasiswa yang memiliki jalan ninja untuk berproses dalam organisasi, saya sendiri pernah seoptimis Naruto sampai perlahan merasa menjadi seperti Obito. Dalam hikayat Naruto Shippuden karya Masaksih Kishimoto, Naruto digambarkan sebagai karakter yang penuh semangat dengan harapan dan tekad yang dipegang erat-erat. Sedangkan si bucin Obito merupakan sosok optimis pada awalnya. Tapi ia berubah sebaliknya ketika kenyataan membuat semua impian tak bisa diraihnya.

Dalam organisasi pun, pada awalnya antusias anggota masih terasa. Namun perlahan-lahan redup seiring masa dan hanya menjadi sisa-sisa asa. Alasannya, anggota sering kali merasa tertuntut dengan segala kegiatan, hingga merasa tak mendapat pembelajaran dan kehilangan waktu untuk rebahan… kasihan.

Akibatnya, tak sedikit dari mereka memiliki ilmu moksa untuk menghilang tanpa jejak begitu saja. Hingga akhirnya, organisasi hanya menjadi sebuah napak tilas dari mereka yang merasa tak mendapat apa-apa.

“Lah, itu kan salah para pengurus yang tidak bisa mengayomi anggotanya.”

Dari argumen tersebut, ketika ada anggota yang keluar, maka pengurus selalu menjadi tersangka utama. Kebanyakan pengurus terkadang cosplay menjadi malaikat Munkar dan Nakir, memberikan tekanan dengan segala pertanyaan yang harus segera diberi jawaban.

Ada juga pengurus yang memberikan kebebasan, saking bebasnya anggota dibiarkan mengurus semuanya sendirian atau dimanja bak anak rumahan.

Memang serba salah menjadi pengurus, yang gemuk bisa jadi kurus, kesehatan mulai tak terurus, terkena tifus, dipasang infus, hingga gejala gangguan jiwa yang sudah semakin serius.

"Anggotanya saja gak aktif, pengurus ya bingung mau berbagi ilmunya," ucap pengurus yang sudah terpasang infus.

Dalam pandangan yang tak mau kalah, sang pengurus pun menyatakan bahwa anggota lah yang salah. Pengurus menganggap anggota ini tidak mau jemput bola untuk meraih tujuannya.

Ibarat pertandingan sepak bola, anggota itu ingin mendapat operan bola. Padahal, posisinya ada di area hakim garis dengan bendera yang mirip seperti semaphore-nya anak pramuka itu.

Akhirnya, untuk membuat si anggota mendapat bolanya, pengurus pun juga tak mampu karena pengurus sendiri ternyata seorang petinju. Jadi wajar saja berorganisasi itu menyakitkan dan melelahkan, sebab pengurus selalu memberi pukulan penderitaan agar anggotanya berhenti bersifat kekanak-kanakan.

"Terus siapa yang salah?", ujar pembaca gabut di sela waktu kosongnya.

Begini, ukuran benar dan salah setiap manusia itu berbeda-beda. Sebagaimana kita merasa tak sempurna, orang lain pun juga sama.

Terkadang yang memilih berorganisasi terlalu fokus pada tujuan, tapi tak siap menanggung penatnya perjalanan. Ada pula yang punya banyak ekspektasi, tapi tak sanggup beradaptasi.

Ujung-ujungnya, mereka kecewa dengan dirinya sendiri sambil berbisik dengan temannya yang tuli, "Kenapa aku ikut organisasi?"

Oleh sebab itu, mari kita tanggapi bersama karena pertanyaan tadi niscaya tidak dijawab oleh temannya.

 

Filosofi Mahasiswa Kura-Kura

Apa itu Mahasiswa kura-kura? Apakah itu sebutan bagi keempat kura-kura ninja yang dari mengejar penjahat kini beralih mengejar gelar sarjana dan beasiswa? Bukan itu!

Mahasiswa kura-kura adalah istilah bagi mereka yang siklus kuliahnya adalah kuliah-rapat kuliah-rapat.

Sebutan ini identik dengan mereka yang aktif dalam organisasi. Waktu mereka dihabiskan dalam kegiatan eksploitasi organisasi yang pada umumnya seperti rapat divisi, diskusi, aksi demontrasi, atau menangisi kajian yang ramai di story, tapi yang hadir sebenarnya sepi.

Terkait contoh yang terakhir, sumpah saya tidak sedang menyindir kajiannya IMM Komisariat Ushuluddin dan Filsafat (emot batu).

Kura-kura merupakan hewan yang lambat jalannya, sebab ada tempurung yang selalu dibawanya. Seorang yang sudah terjun dalam organisasi tentu akan membawa tempurung yang sama dalam bentuk yang berbeda. Entah amanah, jabatan, tanggungan proposal dana yang belum disebar, atau menyediakan gorengan saat kajian pun dapat menjadi beban bagi setiap orang.

Seperti lambatnya kura-kura, proses berorganisasi pun sama. Lambat di sini punya maknanya sendiri, dikata lambat sebab ada perjalanan panjang yang tak bisa diraih dalam waktu Indonesia bagian barat, ehh... maksudnya dalam waktu yang singkat.

Dari sini coba kita posisikan diri sebagai pengurus dan anggota organisasi. Bukan kah lebih baik jika anggota lebih dulu memahami apa yang ia ikuti, lalu memantapkan hati agar siap jika nanti tujuannya tak dapat terpenuhi.

Bukankah lebih bijak bagi pengurus lebih dulu memetakan anggotanya sesuai kapasitas dan minat-bakatnya. Pengurus seharusnya lebih mengerti rasanya menjadi anggota yang sedang mencari perannya dalam sebuah organisasi.

Anggota pun seharusnya juga berupaya karena organisasi hanya sebagai wadah dan pengurus itu bukan orang tua anda, jadi jangan bersikap manja dan mulai lah dewasa.

 

Menuntut Sewajarnya, Sambat Seperlunya

Sebenarnya permasalahan di sini kembali pada pribadi yang tak ingin dituntut. Manusia punya sifat alami tak suka diatur, diajari, apalagi tiba-tiba diti… emmm, diksi terakhir ini tidak lulus sensor oleh redaksi.

Pengurus dan anggota yang tidak saling memahami bagaikan kiamat sugro dalam dunia organisasi. Sering dijumpai pengurus merasa angkuh dengan keseniorannya, merasa anggota harus patuh atas setiap perintah dan program kerja.

Anggota pun juga terkadang masih lemah self-control-nya hingga tak jarang mudah baper, disuruh aktif malah mager, lalu tiba-tiba hilang diduga dicuri Swiper.

Terkadang, seorang pengurus harus menuntut anggotanya agar mampu memberikan kinerja dari potensi terbaiknya. Dan, anggota juga berhak berkeluh kesah agar lelahnya dapat didengar dan dilampiaskan, sehingga anggota pun merasa bahwa organisasi juga bisa senyaman rumah.

Semua harus sesuai porsinya, menuntut sewajarnya dan sambat seperlunya. Tapi bagaimana caranya? Daripada menjawabnya, saya lebih ingin bercerita saja.

Ngomong-ngomong, tulisan ini lahir karena tuntutan pengurus atau senior dan sambatan anggota yang dapat dikolaborasikan.

Sang anggota yang berniat menikmati secangkir kopi dan menceritakan pedihnya hidup ini kembali dituntut oleh senior berwatak tirani. Sang senior pun alih-alih memberi motivasi justru malah menambah beban dan depresi.

Dituntut untuk apa? Untuk menulis!

Lalu, apakah mereka saling berselisih? Itu pasti. Tapi, disini mereka telah saling memahami layaknya pasangan atlet bulu tangkis kategori ganda lelaki.

Anggota memahami tuntutan tersebut demi perkembangannya, sedangkan sang pengurus pun memahami sambatan juniornya yang bingung mau menulis apa di tengah kepadatan perkuliahan dan agenda organisasi.

Sebuah sambatan yang dituntun oleh seniornya untuk dijadikan sebagai ide tulisan karena minat anggota tersebut memang ada di bidang kepenulisan.

Lantas, lahirlah tulisan random ini yang hanya akan dibaca oleh para manusia dengan nasib dan perasaan yang sama.

Semoga, setiap organisasi bisa kembali membenahi. Menjadi wadah bagi orang-orang yang saling memahami. Memberikan hak dan tanggung jawab setiap anggotanya sesuai porsi.

Seirama dengan filsafat Empedokles tentang benci dan cinta, yang benci akan terpisah dan jika ingin menyatu maka berikan cinta.

Akhir kata,

Tetap semangat

Disambi sambat

Satu kalimat

Kalian hebat

 

Author: Adi Swandana (Kader IMM KUF)

Editor: Fadhlur Rahman

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA