Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengada dalam Tiada

Designed with: Canva

Penulis: Habib Muzaki (Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan Koorkom IMM UINSA)

 

Petani Sepi

 

Di sini, aku menjadi petani sepi

Cukup kupupuk dengan kopi

Sambil sesekali kusirami dengan puisi

Maupun esai-sok-filosofi

 

Sesekali aku menjadi orang-orangan sawah

Mematung diam. Sambil mengharap

Senyummu menghampiri

Sekali, dua kali,

berkali-kali dalam mimpi-mimpi

 

Kadang sesekali,

aku menjadi sang pencemburu

Hangat pagi membawa seteru

Dingin malam di penjuru

Dan aku masih menghidupi rindu

 

Perbatasan Surabaya-Mojokerto, 2 Ramadhan 1443 H (Versi Muhammadiyah)/1 Ramadhan 1443 H (Versi Pemerintah)

 

***

 

Quo Vadis Sebuah Rumah

 

Qais dan Layla

Seperti panas pada dingin

Tak bisa berpapas walau ingin

Apalagi satu nafas dalam amin

 

Qais gila, Layla merana

Yang satu menjadi sufi berkawan rusa,

domba, kelinci, maupun singa

Satunya menjalani pernikahan tanpa rasa

Keduanya saling menyimpan asa,

yang dirawat di tengah jerat-jerat

 

Mereka kira Qais akan bebas

Dari romansa yang terlihat memiliki batas

Tapi semakin lama, jiwanya tertebas

Qais hancur lebur menjelang tidur

Terbangun dengan sedih tanpa ampun

 

Dan Layla tak pernah bahagia

Menjadi perawan tua dalam penjara

"Meski aku tidur satu rumah dengan suamiku,

tetapi kepalaku tak pernah menyentuh kepalanya di atas ranjang," ujarnya

Sepanjang tahun menanti-nanti Majnun

 

Surabaya, 10 April 2022

  

***

 

Pintu

 

Sesekali kubayangkan

Kita hanya sepasang resah

Yang tak lama lagi berubah,

menjadi pasrah

Kita saling meminjam waktu

Dari mereka yang menunggu,

dari balik pintu

 

Diksi kita,

tak ada lagi dalam diskusi

Diskusi yang tiada lagi

Hanya ada kenang yang kau buang

Serta sajak usang yang kupajang

 

Haruskah sejak purnama

Kita lebih berhati-hati dengan hati?

Sepotong rindu mengais temu

Dengan waktu menulis cumbu

Kita lelap meramaikan senyap

Gelap menjadikan terlelap

 

Sidoarjo, 11 April 2022

 

***

 

Sebagaimana Jendela Katedral

 

Tanah yang basah di tepi kesah

hilang arah sembari pecah

mendesah resah mengarungi antah-berantah

Dan kami menziarahi sejarah

Tentang marah pada sebuah merah

Merah yang teramat ramah

Ramah yang berhiaskan marwah

 

Desir-desir dalam cangkir

Lagi-lagi ia menolak pergi

Meski diusir dengan berbagai satir

Ia, terlalu rapi bersembunyi

di balik diksi-diksi pelik,

ndakik namun fasik

yang selalu berbisik kala berisik

 

Kami hanya kuda liar

yang berharap akal sehat akan selamat

dari kiamat bernama hasrat

dan angan-angan beserta harapan

yang menghantui kala pagi

menyerang di waktu siang

mengancam sepanjang malam

 

Kapan ini berakhir?

Menjadi kuburan waktu

agar ruang segera usang

Karena jika memang tak sepantasnya

Biarlah desir ini ditulis

oleh pena yang tepat

Sebagaimana Jendela Katedral

 

Nganjuk, 2 Agustus 2022

 

***

 

Gayatri

 

Kamu, bertanya perihal waktu. Jawabku, ia satu,

menyatu. Bak sepasang sepatu. Dalam gelisah dan susah

sepah maupun marah, kesah dan serapah. Tetap melangkah,

berbenah mencari arah

 

Tapi lagi-lagi, dikau bertanya kembali. Apa itu waktu

Kujawab, ia adalah hantu. Hilang tak menentu. Ada tanpa restu,

bergerilya dari balik batu. Harumnya narwastu

 

Tapi kau tak pernah puas. Gadis kecil yang belum tuntas.

Separuh duniamu tak bebas. Hegemoni seutas, fakta sosial

tak lepas. Patriarki menebas, wacana membekas

 

Tapi kau tetap gadis kecil yang lapar. Pernah kau bertanya perihal lalat capung yang hidupnya hanya 24 jam. Lanjutmu, "Lantas bagaimana waktu-waktu kita?" Sebagai manusia, sebagai da sein, yang mengada bersama waktu


Mungkin saja, Perihal waktu, kau adalah gadis kecil yang terburu-buru. Usiamu terlalu cepat tumbuh menggebu. Imajinasi liar memburu berbagai tahu. Sebagai warna, kau memilih menjadi abu-abu yang berpadu dengan lika-liku. Sesekali mengalir, terkadang menari bersama ombak


Atau, jangan-jangan. Kau adalah waktu itu sendiri. Pencemburu lantang dari balik almari. Membisu di pojokan hari-hari. Tak cukup Dunia Shophie, kau teguk Alamanda dan Cerpen-cerpen kiri. Seumpama Gayatri, menjadi matahari untuk diri sendiri

 

Surabaya, 19 Oktober 2022

  

***

 

Palsu

 

Dalam perjalanan

Ia menabur puisi di hamparan sepi

Berbuah diksi yang tak lama lagi mati

Kalimatnya layu dalam lapuk kayu

Sesekali merekam kelopak mata,

yang memilih terpejam dalam diam

 

Mata itu,

Berpaling tanpa saling

Sesekali menebar hangat, sembari mengucapkan

template selamat dengan bodoh amat

Ketika ditanya tentang mengapa

Mata itu khusyuk berlindung di balik kata tidak tahu

Memilih membisu bersama waktu

Sembunyikan kata pada ruang kosong tak bermakna,

Memasang kalimat tanya sebagai citra semata

 

Sampai dalam sebuah antrian,

dari tiket teater bernama pengabdian

Mereka bersapa dalam kepalsuan

Untuk membangun gagasan palsu, yang dijalankan bersama visi-misi palsu,

memperdebatkan masalah yang palsu, sembari memasang senyuman palsu, pada sebuah diskusi yang palsu

Menyuguhkan narasi kolektif yang palsu, dalam transformasi kesadaran palsu, sembari membakar semangat yang palsu, dengan bara api bernama pengabdian,

yang palsu

 

Lantas,

apa yang tidak palsu? Sayangnya, itu adalah suara-suara,

yang memilih diam daripada tenggelam

bersama nyaringnya rasa sakit kebenaran. Tertahan di lubuk tenggorokan terdalam.

 

Purwokerto, 6 November 2022

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA