Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Retorika Refleksi, Akhir Tahun

Foto oleh Pixabay


Penulis: Irgy Al Hafidz (Kader IMM Avempace)

 

Menatap masa depan dengan kecemasan terkadang disebabkan dari masa lampau dengan rasa bersalah yang ada pada diri kita.

Sehingga dengan apa yang telah kita jalani di kehidupan, kita akan membuat rasa cemas itu timbul. Salah satu penyebabnya ialah adanya dosa sosial masa lalu yang tertimbun atau yang biasa disebut dengan kesalahan.

Merenungi kesalahan ini menimbulkan rasa penyesalan. Luapan emosi pada diri sendiri yang mana akan membuat kita membenci diri sendiri. Dengan demikian akan membuat kita malas menjalani kehidupan selanjutnya yang tersisa pada kehidupan masing-masing.

Namun semua yang sudah terjadi tidak dapat kita ubah lagi. Kita tidak dapat mengubah lembaran-lembaran masa lalu kita.

Terkait hal ini, Charles Swindoll pernah berkata, Aku yakin bahwa hidup adalah 10% dari apa yang terjadi padaku dan 90% adalah bagaimana aku bereaksi terhadap apa yang terjadi itu”.

Ketika kita memikirkan masa lalu, tak jarang membuat kita melakukan refleksi.

Sepertinya pun, akhir-akhir ini kita menemukan kata yang tidak asing di kehidupan kitatidak lain dan tidak bukan yakni refleksi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) refleksi adalah gerakan, pantulan di luar kemauan (kesadaran) sebagai jawaban atas suatu hal atau kegiatan yang datang dari luar.

Nah, tujuan dari refleksi itu sendiri yakni untuk mengekspresikan kesan konstruksif, pesan, harapan, dan kritik terhadap proses pembelajaran. Dengan refleksi, kita menyadari kesalahan-kesalahan di masa lalu yang selama ini membuat kita cemas dalam menghadapi masa depan.

Dengan kepastian, kita berharap kepada semesta bahwa alur kehidupan yang kita jalani menjadi sebuah retorika kehidupan yang kita ekspektasikan. Namun perlu diingat, bahwa kita punya ekspektasi akan tetapi semesta punya realita.

Ngomong-ngomong soal ekspetasi dan realita, ada sebuah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa kita jangan terlalu terpaku pada ekspektasi yang berbuah baik. Akan tetapi juga harus dalam ekspektasi yang berbuah keburukan terhadap apa yang akan kita laksanakan.

Aliran ini bernama stoikisme, dengan kita memikirkan konsekuensi terburuk dari apa yang akan kita laksanakan, kita akan lebih bisa menerima kenyataan atau realita yang akan terjadi pada diri kita.

Hal tersebut bisa kita jadikan sebuah obat untuk menangkal rasa galau berkepanjangan atau gamon (gagal move on) yang kini telah merambah di generasi muda khususnya di negara kita ini, Indonesia.

Kesalahan-kesalahan yang ada pada diri kita, perlu yang namanya purifikasi agar menjadi kebaikan. Dengan refleksi, kita bisa tahu apa saja yang telah kita lakukan pada hari ini, minggu ini, bulan ini, dan lain sebagainya.

Sehingga dengan apa yang telah terlaksanakan, kita menjadi menjadi tahu tolak ukur menjadi manusia yang manusia itu seperti apa.

Terkait hal ini, sekarang banyak beredar bahwa di akhir tahun, kita perlu melakukan refleksi dengan dalih untuk mengoreksi diri selama setahun penuh. Lantas muncul pertanyaan apakah refleksi kehidupan cuma di akhir tahun?

Dengan pertanyaan seperti itu, seharusnya waktu untuk melakukan refleksi bukan hanya di akhir tahun. Sehingga kita lebih jeli dengan apa-apa yang telah kita jalani sebagai makhluk sosial.

Apalagi dengan dalih untuk mengkoreksi kehidupan agar kehidupan semakin baik kedepannya. Maka di akhir bulan maupun akhir pekan, sebenarnya kita juga bisa merefleksikan kehidupan kita.

Di akhir bulan maupun akhir pekan maupun sebelum tidur, sebenarnya kita juga bisa merefleksikan kehidupan kita.

Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Barangsiapa yang harinya sekarang lebih baik daripada kemarin maka dia termasuk orang yang beruntung. Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia adalah orang yang merugi. Barangsiapa yang harinya sekarang lebih jelek daripada harinya kemarin maka dia terlaknat.”

Kalimat tersebut menyelipkan pesan tersirat bahwa kita harus melakukan refleksi itu setiap hari untuk kemajuan diri kita. Agar kita lebih jeli apa yang dilakukan pada hari ini. Sehingga hari esok, kita melakukan yang lebih baik dari pada hari ini.

Maka dari itu, jikalau tren-tren refleksi hanya booming di akhir tahun dengan dalih untuk menjadi pribadi yang lebih baik, maka kita harus mengetahui hakikat sebuah refleksi itu seperti apa.

Coba kita tanyakan lagi pada diri kita masing-masing, jikalau merefleksikan diri di akhir tahun cuma sebagai ikut tren, mengapa harus kita ikuti?

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA