Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Peran Mahasiswa yang Sesungguhnya: Bukan Sekedar Istilah “Anak Kuliah”

 

Foto oleh geralt, sumber: pixabay.com


Penulis: M. Iqbal Rahman (Sekretaris Bidang Tabligh dan Kajian Keislaman IMM KUF)


Saya ingin memulai tulisan ini dengan mengutip sebuah ungkapan dari Soe Hok Gie, “Politik itu barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindar diri lagi, maka terjunlah.”

Bagi saya, itu adalah salah satu nasihat yang benar-benar relevan untuk merefleksikan diri ketika dulu masih menjadi mahasiswa baru.

Sebagai anak daerah, dengan membawa doa, harapan klise dari orangtua dan keluarga saya. Bahwa saya hanya akan fokus berkuliah, dan kemudian membangun karir setelah itu.

Tentu saja tidak ada yang salah dengan itu semua. Bahkan awalnya saya pun mempunyai niat yang tidak neko-neko; yakni kuliah, kuliah, dan kuliah. Alhasil, kuliah menjadi satu-satunya hal yang saya fokuskan pada masa-masa awal perkuliahan.

Berangkat dari pemikiran tersebut saya bergabung dengan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dengan salah satu alasan karena mayoritas keluarga berasal dari Muhammadiyah.

Lalu berkenalan dengan berbagai macam kelompok mahasiswa mulai dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dsb.

Yang membuat saya bersemangat untuk berinteraksi dengan mereka, adalah kepekaan dan kepedulian nyata yang mereka miliki terhadap berbagai isu-isu sosial dan politik yang ada di masyarakat. Mereka menghabiskan waktu dengan tidak hanya memikirkan nasib sendiri di ruang-ruang kuliah. Mereka bersentuhan dengan banyak permasalahan yang dikeluhkan masyarakat. Mereka ternyata, sungguh mempunyai eksistensi yang cukup berpengaruh.

Satu hal yang akhirnya jelas-jelas berubah pada diri saya sejak saat itu, adalah munculnya kesadaran bahwa status mahasiswa, bukanlah status yang sama biasanya ketika kita pertama kali masuk SD, SMP, atau SMA.

Pengetahuan baru pun membuka mata saya, bahwa ada banyak sekali permasalahan lain di luar persoalan akademik di kampus, yang wajib untuk dipikirkan atau at least disadari keberadaannya oleh mereka yang mengaku berstatus mahasiswa.

Bagaimana tidak, negara ini saja dibangun oleh para kaum cendikia. Maka sudah seharusnya mahasiswa sebagai bagian dari pemuda, kaum terdidik, dan sebagai bagian dari generasi millenials yang akan membangun bangsa ini di masa depan, turut terlibat aktif dalam sistem sosial kemasyarakatan kita, termasuk dalam sistem politik.

Janganlah sekali-kali meninggalkan sejarah!” Begitu kata Bung Karno. Kita tidak berhak mengatur kehendak pribadi setiap individu, tapi saya pikir mereka yang mengaku mahasiswa tidaklah boleh menjadi A-politik. Sebab Sejarah Indonesia sendiri telah membuktikan bahwa status mahasiswa mempunyai peran politis dan nilai historis yang tidak main-main.

Menjadi mahasiswa yang melek politik, bukan berarti lantas menjadikan kampus sebagai arena untuk politik praktis dan kampus sebagai lembaga ilmiah, tidak selayaknya dikotori oleh kepentingan-kepentingan politik praktis.

Seorang mahasiswa bisa menjadi terlibat dalam arena politik tanpa harus mengorbankan independensi lembaga pendidikan tinggi sebagai institusi ilmiah yang objektif. Peran seorang sarjana adalah untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat.

Karena itu, sudah selayaknya sejak duduk di bangku kuliah, seorang mahasiswa harus belajar untuk peka dengan realita sosial yang ada di masyarakat. Dan, jika ia bisa dengan atau tanpa instrumen pendukung dari kampus, akan jauh lebih baik jika sang mahasiswa meluangkan waktu untuk memikirkan, menjawab pertanyaan dari tuntutan-tuntuan realita sosial tersebut.

Hal-hal seperti kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), korupsi di banyak lembaga negara, hingga persoalan ketidakadilan hukum, kebebasan beragama, dan berbagai ketidakadilan sosial lainnya, adalah contoh realita-realita yang sudah selayaknya direspon oleh mahasiswa. Tidak lagi hanya sekadar ke kampus untuk memikirkan berapa IPK yang harus diraih di akhir semester nanti.

Anak kuliahan, ke kampus hanya untuk berkuliah. Mahasiswa, ke kampus untuk belajar. Dan pembelajaran itu diperoleh jauh lebih banyak di luar lingkaran mata kuliah yang diajarkan dosen di kelas. Kepekaan dan kepedulian sosial, pendidikan moral dan kemanusiaan berdasarkan common courtesy (bukan yang basisnya subjektif seperti agama atau budaya normatif), diperoleh ketika mahasiswa bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Saya juga pernah berbincang dengan beberapa mahasiswa baru disana, dan mereka mengungkapkan bahwa keterlibatan mereka dengan aktivitas politik seperti itu yang membuat mereka sadar.

Mereka mendapatkan pengetahuan mengenai permasalahan sosial yang ada di masyarakat, serta apa yang bisa mereka lakukan untuk meresponnya. Tidak hanya sampai di situ, para mahasiswa itu membawa pulang pengetahuan baru yang mereka peroleh dan mengajarkannya kepada teman-temannya di kampus, dan juga anggota keluarga mereka di rumah.

Seperti itulah sebuah kesadaran dan pemahaman publik dibangun, yakni dengan melibatkan diri kita ke dalam sistem yang ada. Begitulah sebuah perubahan (perbaikan) sosial diciptakan. Dan sebagai insan akademis, peran mahasiswa sebagai bagian dari pemuda sangatlah signifikan untuk menciptakan perbaikan-perbaikan tersebut.

“Tidak afdhal seseorang menjadi mahasiswa, jika ia tidak pernah ikut demonstrasi,” begitu gurauan salah satu teman saya dulu setiap kali kami “turun ke jalan”. Tentu saja keliru jika kita mengartikan bahwa mahasiswa wajib ikut demonstrasi. Bahkan menurut saya, konteks pergerakan sosial mahasiswa sudah berbeda dengan dulu, dan era modern seperti sekarang ini tidak lagi benar-benar membuat aksi publik di jalan-jalan menjadi efektif.

Esensi tersirat dari candaan teman saya itu sebenarnya adalah, ajakan kepada mereka yang mengaku mahasiswa, untuk membantu “warga yang kebingungan di persimpangan jalan.” Untuk ikut memikirkan keluhan para petani miskin ketika harga-harga sembako naik, protes buruh pabrik karena tidak mendapatkan imbalan kerja yang layak, atau untuk menjawab teriakan korban ketidakadilan hukum yang ditimpakan kepada yang lemah.

Begitu pun esensi tulisan ini, adalah ajakan kepada para mahasiswa untuk menjalankan perannya yang sangat krusial, yakni dengan melibatkan diri ke dalam sistem sosial politik yang ada. Sebuah ajakan untuk menjadi peduli dengan realita sosial di sekitar kita, bukan nilai akademik semata. Ajakan untuk benar-benar menjadi seorang mahasiswa, bukan sekadar anak kuliahan saja.

 

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA