Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sertifikasi Mubaligh Kemenag: Praktek Otoritarianisme Keagamaan di Indonesia

Designed with Canva

Penulis: Dr. Sholikhul Huda, M.Fil.I (Direktur InSID for Research and Humanity)*

 

Rezimentasi agama terjadi karena pemerintah terjebak pada cara berfikir homogenitas. Cara berfikir yang mendorong masyarakat harus menjadi seragam satu pola. Jika ada yang berbeda dianggap musuh, berbahaya dan menggangu kenyamanan.

Mereka tidak bisa menerima pluralitas pemahaman atau kepentingan politik keagamaan. Seolah-olah yang benar itu pemahaman pemerintah.

Pola pikir homogenitas itu seperti cara berfikir era Pemerintahan Orde Baru (Orba). Dan, tampak pola kebijakan rezim Kementrian Agama (Kemenag) saat ini mirip-mirip Era Orba. Ini sangat berbahaya, karena berdampak pada susahnya menerima perbedaan dan berpotensi terjadi konflik dan gesekan antar kelompok masyarakat.

Munculnya program sertifikasi ulama atau mubaligh menjadi salah satu contoh adanya rezimentasi agama yang sedang dimainkan oleh Kemenag. Pemerintah lewat Kemenag ingin menyatukan seluruh pemahaman keagamaan dan pola dakwah para ulama dan mubaligh dalam satu frame yang dikehendakinya.

Program ini berdampak pada terganggunya aspek demokrasi keagamaan, bahkan mengarah pada otoritarianisme pemerintah terhadap kehidupan beragama.

Program sertifikasi ulama atau mubaligh menunjukkan bahwa negara terlalu masuk pada wilayah teknis keagamaan. Menurut saya, hal itu tidak baik dalam proses konsolidasi demokrasi.

Menurut saya, biarkan ormas-ormas saja yang melakukan sertifikasi terhadap ulama dan mubaligh. Jika ormas itu sudah diakui sah oleh Undang-Undang (UU), maka harusnya pemerintah mengembalikan ke ormas saja wewenang sertifikasinya. Sehingga menjadi penting untuk para mubaligh didorong untuk terafiliasi dengan ormas-ormas keagamaan yang ada dan sah di Indonesia. Sehingga kalau ada apa-apa dengan para mubaligh, maka ormasnya yang bertanggungjawab.

Mengapa begitu? Karena setiap ormas memiliki paham keagamaan yang berbeda-beda. Jika dipaksakan sama dengan pemerintah, maka standart sertifikasi itu pakai standar apa? Apak standar Imam Syafi'i, Imam Maliki, Imam Hanafi atau Imam Hambali, pasti sulit.

Sebenarnya pemerintah tidak perlu repot melakukan sertifikasi mubaligh atau ulama. Biarkan ormas-ormas saja yang melakukan sertifikasi ulama dan mubaligh dengan standar paham keagamaanya. 

Jika pun pemerintah ingin melakukan sertifikasi, maka yang disertifikasi itu organisasinya bukan ulama atau mubaligh.

Jadi standar sertifikasinya dapat dilihat pada status ormasnya apakah sudah sah sesuai dengan UU Ormas atau tidak? Sehingga pemerintah dalam bekerja memilki payung hukum yang jelas.

Maka jika sertifikasi ulama atau mubaligh tetap dipaksakan dalam satu frame menurut pemerintah atau Kemenag, pasti akan susah dan akan kembali pada hegemoni mayoritas keagamaan.

Kebijakan tersebut menunjukan seolah-olah pemerintah atau Kemenag ini pengusung moderasi dan toleransi tetapi terjebak pada nilai-nilai yang tidak moderat dan toleran. Terjebak pada kepentingan politik praktis.

Sembunyi di balik gerakan moderasi dan toleransi padahal sebenarnya praktik dilakukan jauh dari nilai-nilai moderasi dan toleransi.


*Pernah menjabat sebagai Ketua Bidang Hikmah IMM Komisariat Syariah Periode 2002-2003 serta Ketua Korkoom "Progresif" IMM UINSA Periode 2003-2004.

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA