Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hidup Sosial Adalah “Ta’awun” Dunia Akhirat

Sumber: Pexels.com


Penulis: Maulida Puteri (Ketua Bidang Kader IMM Avempace)

 

Coba katakan, apakah ada manusia yang tidak membutuhkan eksistensi manusia lain? Bahkan ketika manusia mati pun akan tetap membutuhkan pertolongan manusia lain. Lebih jauh lagi, ketika manusia sudah tidak berada di alam dunia maka “eksistensi manusia” sangat mempengaruhi tempat peristirahatan yang akan di tempati besok.

Mari sejenak kita pahami dan maknai secara pelan dan satu-persatu dari salah satu ayat Alquran yang memiliki maksud, “Hidup manusia itu saling mempengaruhi dan terpengaruhi oleh manusia lain”. Yakni pada Q.S. An-Nisa’ ayat 97 yang berbunyi:

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ ۖ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ ۚ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا ۚ فَأُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?" Mereka menjawab, "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

Manusia yang berbuat zalim kepada dirinya sendiri akan dicela oleh malaikat. Dan tempat berakhirnya adalah neraka jahaman. Dalam ayat tersebut diberikan pilihan mengapa tidak melakukan hijrah atau berpindah tempat. Sedangkan, bumi yang dihadirkan oleh Allah sangat luas.

Ketika merasa tertindas di tempat ini maka berpindahlah. Namun ketika untuk berpindah pun tidak memiliki daya upaya, maka nasibnya bagaimana? Apa akan tetap diadili dengan dicela dan ditempatkan di neraka jahanam? Lalu fungsi manusia lain bagaimana?

Mari kita ambil poin dari kalimat, “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)”. Ayat di atas memang mengambil latar waktu kejadian pada saat Islam dahulu, dengan permasalahan sosial yang sesuai dengan zamannya. Namun meskipun begitu dapat kita qiyaskan dengan keadaan manusia di era sekarang.

Karena sebetulnya, keadaan tertindas atau lemah pada setiap zaman akan tetap ada dan dirasakan oleh manusia. Mengapa manusia bisa merasakan tertindas? Apakah mereka melakukan kesalahan? Dan, apakah perasaan tertindas disebabkan atas ketidaksesuaian diri manusia dengan lingkungan sosialnya?

Ketika kita bawa dalam sudut pandang hegemoni, maka kaum kecil, minoritas, lemah akan merasa tertindas atau termarginalkan oleh kaum yang memiliki kekuasaan dan kekuatan dari segi apapun.

Dalam Islam, jelas sangat bertentangan dengan adanya konsep hegemoni ini. Karena dalam ajaran Islam banyak instrumen yang menjelaskan dan menempatakan posisi manusia akan sama, derajat dunia dan akhirat.

Manusia harus bersikap adil, manusia harus saling tolong menolong dan saling mengasihi, manusia dilarang berbuat zalim. Sedangkan menindas suatu kaum adalah perbuatan zalim. Fungsi manusia adalah saling tolong menolong, dan hal ini berlaku di dunia dan akhirat.

Ketika merasa tertindas, tidak adakah yang menolong? Dimana manusia lain yang bertugas menjadi penolong? Sedangkan dalam Alquran, Allah dengan tegas menyuruh kepada manusia untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dan ta’awun yang merupakan salah satu dari perwujudan hal tersebut.

Ajaran Islam membawa ajaran cinta kasih kepada sesama dengan konsep memperlakukan sesama saudara dengan perlakuan yang sama atas diri sendiri. Hal tersebut merupakan bentuk cinta. Maka, apakah manusia yang tidak menebar cinta masih, bisa dikatakan manusia yang beragama? Khususnya mereka yang mengaku beragama Islam.

Menurut ayat di atas tadi, pengaruh cinta dari manusia akan berdampak pada kehidupan selanjutnya dan keselamatam di alam akhirat. Ketika menolong orang yang tertindas, maka telah memutus perkara kezaliman manusia, yakni zalim terhadap diri sendiri. Kebanyakan aksi zalim kepada diri sendiri adalah bunuh diri, yang diseabkan tekanan dari luar yang merasa bahwa ia tidak mampu atau bahkan terasing dan tidak dibutuhkan.

Maka manusia yang menolongnya dengan mencegahnya bunuh diri sama halnya dengan mencegahnya untuk diadili di neraka jahaman. Lebih baik lagi apabila mengajarkan suatu kebaikan agar bisa diikuti dan dijalankan di kehidupan yang lebih terarah. Bahkan akan menjadi amalan jariah bagi penolongnya.

Hal tersebut pun akan berlaku besok ketika hisab di akhirat. Maka apa yang dikerjakan di dunia akan berdampak di akhirat, makna ta’awun yang dilakukan mansuia akan tetap berlanjut meskipun masa dunia telah habis.