Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Prostitusi Taman Siswa

Foto oleh Jimmy Chan, diunduh melalui pexels.com


Penulis: Krisna Alfarisi (Sekretaris Bidang Hikmah IMM Leviathan)

 

Munafik rasanya ketika kita tidak tahu bahwa pendidikan masa kini semakin tak tau arah. Baru-baru ini, kurikulum merdeka yang diangan-angan sebagai jawaban akan semua permasalahan di dunia pendidikan. Indonesia Emas 2045 adalah sebuah tantangan tersendiri bagi seorang siswa ataupun mahasiswa, untuk menjawab apakah Indonesia mampu bersaing dan sejajar dengan negara maju lainya.

Ada yang mengatakan bahwa pengertian pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan secara sistematis dalam menciptakan suasana belajar mengajar agar peserta didik dapat mengembangkan potensinya. Tapi sama halnya menjilat ludah sendiri, pendidikan yang diterapakan di negeri yang permai ini masih saja membahas zaman pra batu.

Bapak pendidikan kita terkenal dengan semboyanya Tut wuri handayani, Ing ngarsa sung tuladha, Ing madyo mangun karsa”. Tetapi kenapa masa kini hanya “Ing ngarsa sung tuladha” saja yang diterapkan? Dimana guru dianggap dewa dan menghilangkan dua poin yang ditanamkan bapak pendidikan kita. Fakta di lapangan industrial, sekolah hanya membuahkan pelangsung, bukan pelopor dan penyempurna. Bagaimana kita mau bersaing dengan negara maju lainya?

Merdeka belajar yang konon katanya mentransformasi dari semboyan Ki Hajar Dewantara pun belum mampu menjawab akan pertanyaan-pertanyaan yang ada. Prakteknya pada lapangan, guru hanya mendengar presentasi dan menghardik karya siswanya tanpa pembenaran yang konkret demi suatu pengembangan. Yang seharusnya sekolah adalah taman mencerdaskan penerus bangsa, tetapi menjadi ladang yang menggiurkan bagi pasukan kolektor amplop coklat.

Siswa terpaksa mengeluarkan nominal yang tak murah demi menimba ilmu di meja sekolah lembaga-lembaga formal. Dari sini muncul pertanyaan, apakah sekolah tak mampu meyakinkan wali murid bahwasanya sekolah mampu mengantarkan anak didiknya menjadi sosok yang mampu bersaing di kemudian hari?

Lalu harus lari kemana siswa-siswa yang dikatakan memiliki background keluarga menengah ke bawah yang nafkah diberikan ayah hanya cukup untuk makan hari ini dan esok hari? Ketika siswa lari ke perkumpulan-perkumpulan di luar sekolah, malah distempel perkumpulan ini mengajarkan pemberontak kebijakan? Hahaha, lelucon masa kini.

Dalam konteks ini, ada beberapa guru yang dijuluki sebagai pahlawan tanpa jasa, kini pun, secara hipokrit hanya sebuah perkumpulan penjual jasa. Menjadi rahasia umum bahwa permasalahan tetap pada ekonomi. Tapi apa nasib penerus bangsa dijudikan demi mengisi dompet yang semakin hari kian mengering? Lantas bagaimana kita mampu menjawab akan tantangan Indonesia Emas 2045? Apa penerus bangsa akan terus menjadi korban oknum-oknum yang menawarkan suaranya dengan nominal agar terpilih.

Muhammad Darwis pun sadar, bahwasanya beliau memiliki pandangan pendidikan harus membekali peserta didik dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai kemajuan bersama. Dengan pemikiran tersebut, Muhammad Darwis mendirikan Amal Usaha Muhammadiyah di sektor pendidikan.

Lika-liku yang dihadapi Darwis bukan lah hal yang mudah, beliau mengorbankan sebagian hartanya demi mencerdaskan umat dan bangsa. Hal tersebut jauh berbeda dengan penerapan oleh cucu beliau masa kini. Beberapa Darwis muda saat ini saling berebut jabatan demi mengenyangkan isi perut anak istri di rumah. Bahkan, bisa jadi terus-menurus mengeruk dompet wali murid tanpa ada timbal balik yang setara.

Teringat dengan perkataan dari salah satu penyair indonesia Wiji Thukul, “Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan!”

Dalam konteks pendidikan, kita melawannya dengan apa? Apa kita lawan dengan demo? Apa kita lawan dengan gerakan mogok tak masuk kelas? Penulis rasa, gerakan-gerakan tadi bukan jawaban yang mampu menjawab apa yang kita alami masa kini. Berhubung penulis beragama Islam, maka dikutipkan penggalan ayat kitab suci Q.S. Ar-Ra'd ayat 13 yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.

Bukankah sudah jelas, kalau bukan kita siapa lagi yang akan merubah semua ini? Mau mengandalkan negara? Mungkinkah kita bisa merubahnya, jika hanya menunggu dewan kita tak lagi tertidur di tengah iringan suara rakyat yang menderita. Kita adalah generasi baru, generasi yang seharusnya mampu mengoptimalkan apa yang telah berkembang di dunia ini dengan sebaik-baiknya.

Bukan membuka ponsel hanya menguduh game mobile, yang konon demi embel-embel melakukan hal positif. Positif seperti apa? Melakukan kumpulan-kumpulan kecil yang hanya membahas penolakan Jokowi tiga periode sampai mengeluh negeri ini yang terus inflasi tanpa berakhir solusi? Penulis rasa bukan hal sulit apabila dari kita sendiri tergugah, perihal yang mendasar saja belum tuntas, kenapa kita membahas masalah yang menggedung?

Eitss, ini bukan berarti penulis menganjurkan untuk pesta apatis terhadap negeri ini. Tapi cobalah buka mindset kita, bahwa bagaimana bangunan akan kokoh apabila masalah pondasi saja kita belum selesai. Jadi, mari ciptakan perkumpulan-perkumpulan yang mampu memnciptakan generasi-generasi pelopor, pelangsung, dan penyempurna.

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA