Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Merencanakan Pernikahan

Foto oleh Cojanu Alexandru, diunduh melalui pexels.com


Penulis: Abdul Halim Hasan (Kader IMM Al-Kindi)

 

Siapa sih yang tidak ingin hidup bahagia dengan jalan menikah bersama pasangan yang sangat kita cintai dan kita sayangi di dunia ini? Pasti sangat ingin ya kan. Tapi bagaimana caranya agar supaya nanti ketika nanti setelah menikah dan hidup berkeluarga bisa menjadi keluarga yang sakinah?

Menikah itu tidak hanya tentang suka dan gembira, tetapi juga harus kokoh, sakinah dan serta mulia. Pernikahan dapat dikatakan sebagai pernikahan yang kokoh apabila telah berhasil mencapai ikatan hidup, artinya kedua mempelai tersebut telah mempunyai kebahagiaan serta cinta kasih, dan keduanya telah memiliki ilmu tentang pernikahan yang ia jalankan.

Agar sebuah pernikahan dapat menjadi pernikahan yang kokoh, kedua calon pengantin harus memiliki persiapan yang matang dan cermat. Arti cermat di sini berarti kedua pengantin memiliki pengetahuan atau ilmu untuk dapat mengantisipasi berbagai hal yang akan timbul baik saat pernikahan maupun ketika selesai pernikahan.

Sedangkan matang yaitu keduanya bersedia untuk setia dan bersama selalu dalam mengukir semangat, rela, dan tanpa paksaan sama sekali untuk memasuki gerbang pernikahan. Dan, dalam rangka menumbuhkan kenyamanan itu maka kedua belah pihak harus saling mengenal calon pasangan hidupnya termasuk juga mengenal dan menghargai anggota keluarga masing-masing.

 

Meluruskan Niat Untuk Menikah

Setiap orang yang ingin menikah sudah dipastikan memiliki tujuan di balik keputusannya tersebut. Bagi orang yang mengerti tentang hakikat pernikahan pasti tujuan menikah adalah sarana menghindari hubungan terlarang di luar nikah (perzinaan). Sebagian lain menikah kaena tak dapat menolak desakan keluarga atau terpaksa mengikuti berbagai alasan lain.

Sebagai bagian dari ibadah, pernikahan dalam Islam adalah media pengharapan untuk segala kebaikan dan kemaslahatan. Atas harapan ini, maka pernikahan bisa disebut sebagai ibadah dan sunnah. Untuk itu pernikahan harus didasarkan pada visi spiritual sekaligus material. Visi inilah yang disebut Nabi Saw sebagai “din”. Tujuan dan visi pernikahan tercantum dalam hadist berikut:

عن أبي هريرَةَ رضي الله عنه عن النّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم قالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ 

Artinya: Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda, “Wanita itu dinikahi karena empat hal. Karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Namun dari empat itu paling utama yang harus jadi perhatian adalah masalah agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat." (H.R. Bukhari Muslim).

Ustadz Firman Arifandi, dalam bukunya Serial Hadist Nikah 3: Melamar dan Melihat Calon Pasangan mengatakan, menurut Imam al-Nawawi bahwa maksud hadis ini adalah Nabi mengabarkan tentang apa yang menjadi kebiasaan orang-orang yaitu dalam urusan pernikahan, di mana mereka memandang dari empat perkara ini. Menjadikan perkara agama sebagai kriteria terakhir.

"Oleh karena itu pilihlah wanita karena agama yang baik niscaya akan beruntung," ujar Ustadz Firman. Beliau juga menambahkan bahwa kandungan hadis ini sama sekali tidak bermakna bahwa Rasulullah Saw memerintahkan untuk menikahi wanita yang kaya, terpandang dan cantik sehingga menjadikan agama sebagai poin terakhir dalam memilih.

Hal ini sejalan dengan hadis yang melarang menikahi seorang perempuan selain karena faktor agamanya. Ustadz Firman juga menambahkan, Nabi Muhammad telah memperingatkan, akan mengalami kerugian jika menikahi wanita karena kecantikan dan kekayaanya. Peringatan ini seperti yang disampaikan dari Abdullah bin Amru, berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:   

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : لَا تَنْكِحُوا النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ ؛ فَعَسَى حُسْنُهُنَّ أَنْ يُرْدِيَهُنَّ ، وَلَا تَنْكِحُوهُنَّ عَلَى أَمْوَالِهِنَّ ؛ فَعَسَى أَمْوَالُهُنَّ أَنْ يُطْغِيَهُنَّ ، وَانْكِحُوهُنَّ عَلَى الدِّينِ ، وَلَأَمَةٌ سَوْدَاءُ خَرْمَاءُ ذَاتُ دِينٍ أَفْضَلُ

Artinya: “Janganlah kalian menikahi wanita karena kecantikannya, bisa jadi kecantikannya itu merusak mereka dan janganlah pula menikahi wanita karena harta-harta mereka, karena bisa jadi hartanya menjadikan mereka sesat. Akan tetapi nikahilah mereka berdasarkan agamanya, seorang wanita budak berkulit hitam yang telinganya sobek tetapi memiliki agama adalah lebih utama dari mereka.” (H.R. Ibnu Majah).  

Oleh karena itu, pasangan yang hendak menikah seharusnya kembali memeriksa niat masing-masing, agar pernikahan yang dilakukan tidak hanya bersifat pelampiasan kebutuhan biologis. Tapi juga merupakan ibadah karena Allah Swt. Pasangan yang meluruskan niatnya untuk menikah karena allah semata diharapkan memahami bahwa visi pernikahan memberikan ketentraman pada diri dan keluarga serta penuh cinta kasih tersebut.

 

Persetujuan Kedua Mempelai

Banyak anak mudah sekarang yang menikah karna dijodohkan atau karena orang tua memaksa untuk menikah dengan pilihannya, sehingga muncul kata-kata anak jaman sekarang, “Hari gini kok masih dijodohkan.”

Pemaksaan baik pada satu pihak atau kedua belah pihak merupakan awal yang buruk untuk memulai sebuah pernikahan. Karena seperti yang kita semua ketahui bahwa sesuatu yang diawali dengan paksaan tidak akan berujung pada kebaikan. Pemaksaan dalam perkawinan sama sekali bukan tindakan yang islami apalagi terpuji. Hal seperti ini terjadi pada zaman Rasulullah Saw sebagaimana kasus Khansa binti Khida dalam sebuah hadist berikut:

سنن ابن ماجه ١٨٦٤: حدثنا هناد بن السري حدثنا وكيع عن كهمس بن الحسن عن ابن بريدة عن أبيه قال

جاءت فتاة إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالت إن أبي زوجني ابن أخيه ليرفع بي خسيسته قال فجعل الأمر إليها فقالت قد أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أن تعلم النساء أن ليس إلى الآباء من الأمر شيء

ArtinyaL Dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya berkata “Ada seorang gadis datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata: "Sesungguhnya ayahku menikahkan aku dengan keponakannya dengan tujuan agar mengangkatnya dari kehinaan." Buraidah berkata: "Maka Beliau menyerahkan urusan itu kepada gadis tersebut. Lalu ia berkata: "Aku telah menerima putusan bapakku, hanya saja aku ingin agar kaum wanita mengetahui, bahwa keputusan bukan ada pada bapak-bapak mereka."

Untuk sebuah pernikahan yang kokoh, kedua calon mempelai harus benar-benar memiliki kemauan dan paripurna tanpa paksaan siaapun. Karena sudah banyak perempuan yang mandiri, berpendidikan tinggi, memiliki penghasilan cukup yang membuatnya tidak dapat dipaksa keluarga dalam urusan pernikahan.

Karena banyak anggapan bahwa perempuan harus tunduk pada keputusan laki-laki, jika anak perempuan pada ayahnya, dan jika istri pada suaminya. Anggapan itu tentu menyalahi kemandirian perempuan sebagai manusia utuh yang seperti yang ada di teks hadist di atas.

Terkadang kerelaan antara calon suami dan istri berbenturan dengan kewenangan wali pihak perempauan. Yang terjadi kebanyakan adalah sang wali merasa berhak menjodohkan anak gadis yang ada dalam perwaliannya tanpa harus meminta kerelaan sang anak tersebut. Sebelum kita membahas lebih dalam lagi ada baiknya untuk mengetahui definisi wali.

Dari segi bahasa, kata wali berarti pelindung atau penolong, dengan kata lain keberadaan wali berguna untuk memastikan pihak perempuan memproleh haknya  dan pernikahan tersebut diberkati dan direstui. Terlepas dari kewenangan tersebut wali tidak dipernankan untuk bertindak di luar batas kemaslahatan perempuan yang dibawah perwaliannya.

Dalam hal memilih atau memantapkan hatinya untuk menerima seorang pria sebagai calon suaminya, maka sang wali tidak dapat menghalanginya untuk menikah dengan pria tersebut. Selama pria tersebut sudah memenuhi syarat untuk menikah dan mampu memberi nafkah lahir dan batin. Sesuai firman Allah dalam surah Q.S. Al Baqarah ayat 232:

وَإِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعۡضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحۡنَ أَزۡوَٰجَهُنَّ إِذَا تَرَٰضَوۡاْ بَيۡنَهُم بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ ذَٰلِكَ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ مِنكُمۡ يُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۗ ذَٰلِكُمۡ أَزۡكَىٰ لَكُمۡ وَأَطۡهَرُۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٢٣٢

Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma´ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Dari sedikit penjelasan singkat ini dapat disimpulkan bahwa apapun yang telah kita niatkan dan kita rencanakan itu harus kita barengi dengan usaha dan pastinya dengan ilmu. Luruskan niat dengan selalu menginstropeksi diri dan jangan bosan-bosan untuk belajar.

Seperti halnya pernikahan, ketika sudah mantap fisik dan finansial maka bersegeralah. Karena jodoh adalah cerminan diri kita sendiri, maka kita harus selalu memperbaiki diri. Ketika itu semua terpenuhi, maka sebuah pernikahan dapat menghadirkan kebaikan dan rahmat kepada kedua pasangan tersebut. Juga menjadi aktivitas yang bernilai ibadah dan bahagia ketika menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah.

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA