Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendidikan di Atas Kertas

 
Oleh Gul Isik. Diambil dari pexels.com


Penulis: Naufal Muhsin (Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Al-Farabi)


Pendidikan dari dulu hingga sekarang selalu dianggap menjadi faktor fundamental terhadap problem-problem kenegaraan. Paradigma pendidikan sebagai catur pusat peradaban menghasilkan doktrin yang mengakar bahwa pendidikan adalah dasar dari kejayaan. Oleh karenanya, adalah keniscayaan jika muncul penghakiman untuk sektor pendidikan nasional. Dilihat dari atas kertas, sekiranya kita perlu bertanya, di mana salahnya pendidikan kita?

Mutu pendidikan (secara relatif) di Indonesia bertumbuh-kembang dengan semakin baik. Banyak sekolah yang naik tingkat akreditasi menjadi A dan B dalam data BAN S/M. Namun ternyata hasil akreditasi dari pemerintah yang menunjukkan semakin baik itu tak sejalan dengan ranking PISA (Programme for International Student Assesment) yang menurun. Banyak temuan yang mengecewakan seperti masalah literasi yang tak kunjung usai. Bisa jadi, pendidikan kita memang sudah baik bila tolak ukurnya adalah standar kita sendiri. Karena itu, mungkin sudah saatnya kita mengambil standar yang lebih tinggi.

Instrumen Akreditasi Satuan Pendidikan atau IASP dari BAN S/M  telah mengalami perubahan besar-besaran pada tahun 2020 lalu. Bukan hanya menyempurnakan butir-butir, tetapi memberikan perubahan paradigma. Bila akreditasi masa lampau menggunakan pendekatan compliance based, paradigma baru menghadirkan pendekatan performance based. Jika dulu penilaian satuan pendidikan lebih bertumpu pada kepatuhan terhadap aturan, maka saat ini lebih bertitik pada kepenuhan terhadap pekerjaan. 

UU Sisdiknas mengamanatkan delapan standar nasional yang menjadi acuan mutu pendidikan. Dari delapan standar tersebut, paradigma akreditasi lama bergantung pada pemenuhan aspek yang bersifat administratif. Melalui paradigma baru, penilaian sekolah atau madrasah diberatkan pada pemenuhan mutu yang lebih substantif. 

Dari delapan standar nasional yang menjadi acuan mutu, paradigma baru menjadikan empat standar yang dianggap vital dalam menunjang mutu satuan pendidikan sebagai penilaian utama, yaitu: mutu lulusan, proses pembelajaran, mutu guru, dan manajemen sekolah. Namun bukan berarti empat standar yang lain seperti pembiayaan, penilaian, kurikulum, sarana dan prasarana diabaikan dan tidak dianggap penting.

Paradigma baru tersebut mengangkat sebuah pemahaman bahwa, syarat pertama sekolah bermutu adalah memiliki manajemen yang baik. Dari manajemen yang baik akan meningkatkan mutu guru. Guru yang berkualitas menghadirkan proses pembelajaran yang efektif. Hasil dari proses pembelajaran yang efektif adalah output lulusan yang bermutu sebagaimana tujuan pendidikan itu sendiri.

Persoalan-persoalan yang masih kita temui seperti degradasi moral anak bangsa, jumlah pengangguran yang besar, pembayaran yang rendah bagi guru, pendidikan yang tidak merata, adanya anak putus sekolah, dan banyak kasus lain yang berkaitan dengan pendidikan nasional. Namun tidaklah elok bila sepenuhnya kita salahkan kepada pendidikan kita. 

Hal itu bersebab jangkauan sistem kendali termasuk intervensi pemerintah di atas kertas tentu mempunyai batas sehingga frame yang dinilai juga tidak meluas, bisa dikatakan dari kertas dalam kertas. Juga beberapa persoalan tersebut nampak masih bias terkait faktor utama yang memberikan efek domino hingga sedemikian kompleks. 

Yang ingin saya katakan di sini adalah, apabila tangkapan realita tidak berbanding lurus dengan penilaian di atas kertas tak lain adalah karena hasil dari sistem di atas kertas ini tidak bisa 100 persen menginterpretasikan kondisi pendidikan nasional kita. Sedikitnya begitu pendidikan kita di atas kertas yang menjanjikan continous improvement. Secara garis besar, pendidikan kita telah mengalami pencapaian yang tinggi dari titik mula. Sebagaimana takdir adalah keniscayaan, tetapi optimisme terhadap kemajuan pendidikan kita adalah pilihan yang bisa kita hadirkan atau kubur dalam-dalam. 

Pendidikan kita akan terus mengalami perubahan senada dengan kebaruan temuan. Bila ada kekurangan yang kita temukan saat ini, jadikan hal itu sebagai catatan lompatan perubahan di masa yang akan datang. Sudah saatnya kita mengubah pandangan, bahwa pendidikan yang bagus bukanlah sekedar sekolah yang besar dan mewah, tetapi pendidikan yang bagus adalah sekolah yang mengolah dan mengubah dari tidak menjadi iya, dari kurang menjadi lebih.

Sebagai penutup, sesuatu yang terpahat di atas kertas memang bisa jadi bernilai. Adalah nilainya juga ditentukan oleh siapa yang menulisnya. Pendidikan kita yang terlihat bagus di atas kertas, jangan-jangan karena rusaknya penilai yang menuliskannya. Maka pendidikan kita tidak hanya lebih banyak membutuhkan pemberi nilai di atas kertas, namun lebih lagi membutuhkan pembaharu nilai di atas ikhlas. Mari kita tunggu hasil di atas kertas yang baru, akankah senada dengan janji yang lalu?

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA