Literasi IMM UINSA: What Happened?
![]() |
Gambar oleh NicoElNino, diunduh melalui iStock.com |
Penulis: Iskandar Dzulkarnain (Kader PK IMM KUF)
Mendengar kata “literasi” sepertinya tak ada yang asing bagi kita. Terlebih sebagai kader IMM UINSA yang “katanya” memiliki integritas pada bidang kepenulisan. Di akhir bulan Mei kemarin, isu literasi ini cukup ramai di kalangan IMM UINSA. Sejumlah tulisan membahas isu literasi.
Bahkan Tim Redaksi IMM UINSA melakukan riset tentang literasi kader-kadernya. Selain itu judul dari LIBERASI Edisi XII pun “Abadi Perjuangan Literasi” yang terbit bulan Mei kemarin tak jauh dari isu literasi. Tak lupa, TimRed juga mengumumkan klasemen kepenulisan kader-kader IMM UINSA.
Dari situ sebagai kader, saya merasa terdorong untuk terlibat dalam pembahasan isu ini. Dan secara sadar menanyakan kepada diri sendiri “ada apa dengan literasi di IMM UINSA?". Kemudian setelah itu saya mencoba searching mengenai isu literasi untuk mendapatkan pemahaman lebih luas tentang itu. Sebelumnya saya mencoba untuk mendefinisikan literasi baik secara bahasa maupun istilah yang mengutip dari beberapa sumber.
Secara bahasa literasi berasal dari bahasa latin literatus yang artinya orang yang belajar. Dalam KBBI literasi memiliki tiga makna 1) kemampuan menulis dan membaca; 2) pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu; 3) kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.
Selain itu, UNESCO juga mendefinisikan literasi sebagai keterampilan kognitif dari membaca dan menulis. Saya juga mencoba untuk mengutip pendapat dua ahli. Menurut Merriam, literasi adalah suatu kemampuan atau kualitas melek aksara, baik membaca dan menulis. Terakhir, definisi dari Alberta bahwa literasi adalah segenap kemampuan kognitif di mana dengannya mampu memecahkan suatu masalah.
Dari definisi-definisi di atas saya mencoba merangkum bahwa literasi adalah segenap kemampuan kognitif baik membaca, memahami, dan menulis. Tidak berhenti di situ, buah dari literasi ialah seseorang mampu memecahkan masalah-masalah baik pribadi ataupun lingkungannya. Hemat penulis juga mengklasifikasikan literasi dalam tiga tingkatan 1) memperoleh pengetahuan; 2) mengolah pengetahuan; dan 3) mengimplementasikan pengetahuan.
Dari sini kiranya literasi memiliki cakupan yang sangat luas, tidak hanya mengacu kepada membaca dan menulis saja. Membaca pun tidak harus secara fisik dari buku ataupun e-book. Hemat penulis menganggap bahwa sekedar kita memikirkan mau makan apa dan kenapa, kita bisa dikatakan telah ber-literasi.
Misal, saya bokek, lapar dan harus berangkat kuliah. Sementara itu saya akan dikirim uang saku lagi baru pekan depan. Pada kondisi ini saya harus memikirkan cara dengan melihat kondisi dan keadaan agar saya bisa menghemat uang tapi tetep bisa makan dan sehat hingga pekan depan. Sederhana sebenarnya.
Kognitif pun juga bisa kita wujudkan dalam bentuk memandang semesta. Bukankah para filsuf klasik terkenal karena (spekulatif) dari hasil “memandang semesta?”. Juga hal itulah yang menjadi epistemologi baik bagi filsafat Barat ataupun Islam. Bahkan, menjadi aliran tersendiri dalam filsafat yang disebut empirisme. Terlebih lagi di dalam Al-Qur'an hal itu dianggap sebagai ibadah yang diganjar dengan pahala tak ternilai (Q.S. Ali Imran: 191).
Kembali pada konteks literasi IMM UINSA, saya membaca tulisan yang ditulis oleh (kita sebut saja) si-kader militan dengan judul “Literashit: Omong Kosong Literasi IMM UINSA” yang terdapat di dalam majalah LIBERASI. Kurang lebih tulisan itu berisi kritikan tentang keringnya produk tulisan dari penghuni tiap-tiap komisariat. Bahkan KUF yang menjadi mantan “pondok” si-kader militan sendiri “digoreng” habis-habisan.
Sikap bijak kami setelah membacanya mungkin melihat realita lingkungan IMM UINSA sendiri seperti apa. Jika realitanya memang seperti itu, apa sikap paling bijak yang harus dilakukan setelahnya? Mungkin sebagian orang merasa tersindir dan ingin membantah dan mengkritik tulisan itu. Tapi hemat penulis mengatakan “jika memang seperti itu, mau gimana lagi”.
Namun satu hal, yang kami tidak sepakat dengan si-kader militan adalah sikapnya yang seolah-olah membatasi literasi sebatas menulis saja. Seakan-akan orientasinya adalah kuantitas tulisan daripada kualitas. Sepertinya ia memiliki kekhawatiran dalam dirinya atas apa-apa yang telah dimulai olehnya di zamannya, akan hilang dan lenyap. Sehingga hanya sebatas cerita mbiyenn….
Penulis berpendapat bahwa yang perlu dievaluasi dan dikoreksi ialah literasi dalam konteks membaca para kader. Karena tidak mungkin bisa menulis jika kepala kosong tak berisi. Pepatah Arab mengatakan فاقد الشيء لا يعطيه (Orang yang tak punya apa-apa, tak akan memberi apa-apa). Bagai gelas kosong yang tak mengeluarkan setetes pun. Kalau pun nanti dipaksa untuk menulis, khawatir hanya berupa tulisan “sampah” yang tentu tidak kita inginkan.
Sebelumnya bidang RPK Koorkom dan TimRed telah melakukan riset perihal minat dan keaktifan literasi para kader. It’s fine, itu menjadi poin penting bagi saya selaku kader. Namun, tidak berhenti di situ, langkah apa yang akan dilakukan oleh bidang RPK setelah menemukan hasil risetnya? Jika hanya berhenti di situ, saya kira tak lebih bagai usaha formalitas bak tumpukan kertas hasil ujian yang tak berguna.
Editor: Etika Chandra Dewi