Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Meninjau Ulang Tahafut Rodi Swagdana

Gambar oleh Akirastock, diunduh melalui istockphoto.com

Penulis: Muhammad Habib Muzaki (Ketua Umum PK IMM KUF Periode 2021-2022)


Beberapa bulan lalu, sebuah kritik ditulis dan ditujukan kepada saya atas tulisan yang terbit di Majalah Liberasi Edisi XII. Kritik itu berjudul Sebuah Konter Narasi atas Omong Kosong Zakarl Marx yang ditulis oleh -sebut saja- Rodi Swagdana.

Dari judulnya saja, tulisan itu sangat bernada sentimen yang sekaligus menjelek-jelekkan nama tokoh besar. Iya, semoga Karl Marx tidak menampolmu dengan Das Kapital yang tebal itu saat kalian bertemu di akhirat kelak. Itupun kalau Karl Marx bisa berbahasa Indonesia untuk membaca tulisan kita, sih.

Banyak hal yang kalau kita cermati, narasi-narasi yang ditawarkan oleh Swagdana sangatlah menggelikan. Misalnya ia menulis begini, “Harusnya, pihak redaksi tidak meloloskan tulisan tersebut untuk dimuat di Liberasi.”

Saya tidak tahu, apakah ini manuvernya untuk menjadi Pimpinan Redaksi yang baru saat pergantian nanti? Sebab sangat terlihat kalau ia merasa lebih baik dari mereka yang sudah bersusah payah mengedit tulisan tersebut. Iya, tabik untuk redaksi!

Memangnya, apa salahnya meloloskan kritik? Dasar tipikal member premium orde baru! Swagdana jelas-jelas telah menciderai kebebasan berpendapat. Tunggu dulu, apakah “mengekang” ini memang hobinya? Saya jadi takut.

Atau jangan-jangan, tulisan tadi adalah sebuah manuver untuk menjaring atensi menjelang Musykoorkom nanti. Sebab melalui tulisannya itu, Swagdana terlihat sangat berupaya untuk “menyelamatkan” komisariat-komisariat tersebut dari kritikan-kritikan saya.

Iya, meskipun tidak bisa diselamatkan sebenarnya. Namun tetap, Swagdana memaksakan kritiknya yang ia balut dalam “Konter Narasi”. Misalnya ia menulis begini, “Wajar saja, kader-kader Avempace dari Ilmu Politik juga perlu mencari aman di tengah ancaman.”

Ayolah Swagdana, jangan menormalisasi komisariat yang tidak melakukan agenda intelektual sesuai dengan kelinieran prodi mereka. Ingat, tujuan IMM sangat lekat dengan diksi “akademisi”. Sekarang, mana akademisi yang jarang kajian?

Tidak kajian pun bukan berarti mencari aman. Sebab kalau berbicara keilmuan, banyak aspek yang bisa diangkat. Kita tidak harus selalu membahas sesuatu yang berada di tepi jurang. Sekarang mau alasan apalagi?

Lalu, Swagdana juga membela komisariat lainnya dengan berkata, “Jangan-jangan itu hanya alibi agar Zakarl Marx bisa meluapkan emosi atas segala rekam jejak kurang enak yang pernah ia alami dengan komisariat ini.”

Bukannya fokus ke argumen yang saya tulis, Swagdana malah menyerang masa lalu saya. Ia beranggapan bahwa saya punya dendam dengan Komisariat tersebut, tidak salah juga sih. Namun alangkah baiknya jika kritik itu fokus ke argumen, bukan latar belakang pribadi. Dasar, sebuah analisis yang sangat ad hominem!

Tak lupa, Swagdana membela komisariatnya yang adalah asal saya juga. Ia berkata, "Yang paling ironi, Zakarl Marx pun tetap menghina asal komisariatnya sendiri." Ayolah Swagdana, sejak kapan di komisariat ini kritik dianggap sebagai menghina? Padahal, di komisariat inilah saya belajar bahwa kritik itu adalah bahasa cinta. 

"Memang para pemikir, ulama, dan filsuf terdahulu menuliskan pikirannya. Tapi, seandainya mereka ada di zaman sekarang dengan usia yang sama seperti kader-kader KUF saat ini, bisa jadi mereka berbeda. Mungkin saja pikiran mereka diwujudkan dalam bentuk yang lain, konten jedag-jedug misalnya," tambahnya.

Jika saja kemajuan zaman ini dibawa ke masa lalu, mungkin saja Plato akan buat konten jedag-jedug, “Dunia ide nih bos, senggol dong.” Atau ketika Paulo Freire melihat kondisi pendidikan saat itu dan membuat konten, “Aku Gak Bisa, Yura.”

Namun saya yakin, mereka tetap akan menulis. Sebab dengan tulisan, sebuah gagasan berupaya diwariskan. Konsep-konsep mereka jelas panjang lebar, yang tidak akan bisa diwariskan hanya dengan satu-dua konten saja. Jelas, Swagdana sedang menyepelekan sesuatu yang sebetulnya tidak sederhana.

Lucunya, dari empat komisariat yang saya kritik, Swagdana hanya membela tiga saja. Ada apa dengan komisariat yang tidak ia bela? Entahlah, hanya ia sendiri yang tahu.

Namun di sisi lain, saya tergugah ketika Swagdana berkata, “Jika melawan narasi senior saja kita masih gelagapan, maka IMM tinggal menunggu tenggelam ditelan zaman.”

Sepertinya benar apa yang ia katakan. Sebuah tulisan yang saya maksudkan sebagai otokritik, hanya ditanggapi oleh Swagdana sendiri, dan satu lagi kadernya, itu pun dari satu komisariat yang sama.

Lainnya? Entahlah. Apa memang yang saya tulis tidak layak untuk dibalas dengan pesan cinta serupa? Atau memang orang-orangnya tidak memiliki kemampuan untuk menulis? Kalau yang terakhir jawabannya, maka benarlah yang dikatakan Swagdana, bahwa ikatan ini sedang menunggu kiamatnya.

Sejauh ini, saya pun masih mencari bentuk-bentuk alternatif selain kepenulisan. Apakah bisa sebuah organisasi dikatakan besar jika tak mampu mengekspresikan gagasannya lewat tulisan? Saya masih mencari jawabannya.

Sependek pengetahuan saya, dengan menulis, suatu peradaban diwariskan dan dikembangkan. Ada pengetahuan yang harus dilanjutkan. Kesadaran-kesadaran baru yang kiranya hanya bisa muncul apabila pengetahuan itu ada wujudnya, yaitu berupa tulisan.

Tulisan itu penting, sangat penting. Buktinya, Allah Swt. memberikan Nabi Muhammad saw. sebuah mukjizat berupa kitab, Al-Qur’an. Iya, sebuah pengetahuan yang dijaga agar dapat diwariskan. Apa bentuknya? Apa yang menjaganya tetap ada?

Lalu, yang penting juga untuk kita renungkan bersama adalah, pada tahun 2037 nanti, IMM UINSA akan merayakan setengah abad kelahirannya. Pada tahun-tahun itu pula, kita akan berjalan di detik-detik menuju Indonesia Emas. Besar harapan agar organisasi ini masih dapat eksis untuk tetap menjadi bagian dari kebermanfaatan.

Agar harapan itu dapat terwujud, apa yang bisa kita lakukan? Saya yakin jawabannya banyak, dan tidak cukup hanya dengan aktivitas menulis. Namun hemat saya, harus ada yang mendedikasikan dirinya di bidang kepenulisan ini.

Iya, dengan apalagi gagasan diwariskan untuk dikembangkan generasi mendatang? Sebuah generasi yang saya yakin memerlukan fundamen berupa pengetahuan untuk menjaga tradisi dan arah gerak ikatan.

Sebab itu juga yang membuat saya menulis buku berjudul Kelahiran yang Dirayakan (2024). Sebuah buku sederhana, yang sekiranya mungkin dapat menemani perjuangan kader-kader mendatang.

Namun, apakah benar menulis sepenting itu? Kita lihat saja dan sampai bertemu kembali di setengah abad IMM UINSA nanti.


Editor: Belly Ubaidila

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA