Neo-Londo Ireng: Konflik Agraria Pantai Kenjeran Surabaya
![]() |
Gambar oleh kemendikbud.go.id, diunduh melalui Bobo.grid.id |
Penulis: Yogaraksa Ananta (Ketua Bidang Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik Koorkom IMM UINSA)
Surabaya merupakan kota besar yang terletak di Provinsi Jawa Timur, kota ini memiliki wilayah yang strategis untuk membangun cakrawala ekonomi nasional. Kota yang memiliki julukan “Kota Pahlawan” ini memiliki sejarah yang besar dalam melawan penjajah di era pra-kemerdekaan.
Kota Pahlawan, jelas memiliki korelasi dengan arek-arek Suroboyo yang bersemangat melawan kolonialisme sehingga memunculkan pahlawan-pahlawan perjuangan seperti Bung Tomo, dr. Soetomo, K.H Hasyim Asy'ari, Mayjen Sungkono, dan lain-lain. Turut serta dibersamai arek-arek Suroboyo dalam perlawanan.
Namun, dewasa ini, apa yang telah diperjuangkan oleh pahlawan pendahulu dan rakyat Surabaya serta keberanian yang termanifestasikan, seakan sirna! Tongkat estafet perjuangan mereka stagnan di tangan pemerintah saat ini.
Penulis, dalam konteks ini tidak ada tendensi untuk mendiskreditkan pemerintahan, namun sebagai rakyat yang mengkritik atas kurang tegasnya pemerintah dalam penegakan hukum terkait agraria.
Dalam konflik agraria yang terjadi di Surabaya, memiliki berbagai kasus yang perlu menjadi fokus untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kasus agraria yang terjadi menimbulkan konflik sosial antara warga dan pemerintah.
Sehingga terjadinya perpecahan antar elemen kebangsaan. Jika, kurang adanya tindakan berani dari pemerintah untuk menyelesaikan kasus sesuai dengan aturan perundang-undangan, maka konflik akan terjadi secara efek domino.
Polemik Proyek Strategis Nasional Surabaya Water Frontland (PSN SWL), kasus yang terjadi di daerah pesisir laut Kenjeran sampai saat ini masih belum terselesaikan. Polemik ini terjadi antara PT. Granting Jaya (pengembang) dengan masyarakat pesisir pantai kenjeran.
Dinamika polemik tersebut bermula ketika mantan Presiden Joko Widodo mengumumkan SWL sebagai proyek strategis nasional pada April 2024, tanpa ada serap aspirasi dari warga yang terdampak.
Jelas, hal itu mengundang polemik antara warga
dengan pihak pengembang dan Pemkot Surabaya. Segala bentuk penolakan-penolakan
dalam bentuk audiensi dan demo terus digaungkan oleh warga, aktivis mahasiswa
dan LSM.
Dari polemik PSN SWL yang belum terselesaikan akan menjadi tugas bagi lembaga pemerintahan untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Lembaga pemerintah sebagai pemangku kebijakan perlu ketegasan untuk menegakkan aturan yang telah menjadi konsideran Undang-Undang Republik Indonesia.
Walikota, Pemerintah Kota dan DPRD Kota Surabaya sebagai pihak yang memiliki
peran penting dalam membuat, mengesahkan dan melaksanakan kebijakan kiranya
perlu keberanian untuk melakukan pembelaaan kepada warga yang terdampak PSN SWL
melalui upaya rekonsiliasi dengan Pemerintah Pusat untuk membatalkan proyek
ini.
Lembaga Pemerintahan Kota Surabaya, nampaknya kurang keberanian secara gamblang untuk membela masyarakat Surabaya yang terdampak PSN SWL.
Kobaran semangat dan solidaritas arek-arek Suroboyo penulis rasa belum sepenuhnya dimiliki oleh lembaga pemerintahan Surabaya. Hal ini dibuktikan dengan kurangnya secara gamblang pemerintahan Surabaya untuk menolak proyek PSN SWL melalui tindakan advokasi secara konkret, bukan hanya melalui retorika belaka seakan-akan mencari aman dari kritikan masyarakat.
PSN SWL kini menjadi momok masyarakat pesisir, bak kolonialisme yang ingin menjajah tanah rakyat. Bagaimana tidak, upaya instruktif pemerintah pusat untuk melakukan PSN tanpa menggandeng masyarakat yang terdampak, ibarat rezim kolonialisme yang mencaplok tanah.
Namun, tampaknya saat ini kolonialisasi dilakukan oleh saudara setanah air kita sendiri. “Neo-londo ireng” istilah tersebut mungkin bisa menggambarkan situasi sekarang yang di mana penjajah dari bangsa kita sendiri. -Londo ireng merupakan penyebutan bagi orang Jawa untuk penjajah dari pribumi pada era kolonialisme dan pra-kemerdekaan.
Apalagi, era kontemporer sekarang sesuatu istilah yang baru diimbuhi dengan kata “Neo”, seperti neo-kapitalisme, neo-sosialisme, neo-liberalisme dan masih banyak neo-neo yang lain.
Menurut penulis sepertinya neo-londo ireng layak disematkan bagi institusi negara yang secara keputusan otoritatif menyetujui kebijakan yang merugikan rakyat dan merampas hak-hak rakyat, khususnya dalam keputusan PSN SWL. Tak ada bedanya dengan kolonialisme Belanda pra-kemerdekaan saat menjarah tanah-tanah pribumi secara represif tanpa ada komunikasi dan diskusi dengan rakyat.
Yaa, mungkin bedanya, kau (institusi negara) masih saudara-setanah air kami dan masih satu rahim dengan ibu pertiwi. Dengan teganya kau melanggar aturan yang dibuat untuk kesejahteraan bangsa dan negara. Padahal, engkau yang seharusnya menegakkan dan melaksanakan, malah engkau yang melanggar.
Adapun PSN SWL, secara normatif telah melanggar undang-undang tentang agraria dan kelautan. Undang-undang yang dilanggar ialah UU Nomor 32 Tahun 2024 Tentang kelautan dan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria. PSN SWL secara jelas telah melenggar kedua undang-undang yang disebutkan oleh penulis.
Atas rasionalisasi tersebut, seharusnya lembaga
pemerintahan kota berani untuk mengambil sikap atau paling sederhana mendukung
secara moril dan advokasi kepada masyarakat yang telah menolak dengan sejauh ini melalui langkah
demonstrasi dan audiensi.
Walikota, Pemerintah Kota, dan DPRD Kota Surabaya secara implisit juga sebagai arek-arek Suroboyo, sudah saatnya memberanikan diri secara kolektif terbuka untuk menolak proyek tersebut.
Mau sampai kapan, praktik-praktik pencaplokan tanah hak rakyat dilakukan oleh korporasi yang egois? Mau sampai kapan rakyat terus dibenturkan dengan lembaga negara? Bukankah peran pemerintahan lokal atau pemerintahan daerah menjadi garda terdepan untuk membela arek-arek Suroboyo?
Jika pemerintahan lokal tidak berani untuk membela masyarakat pesisir Surabaya yang terdampak PSN SWL, maka indeks kepercayaan arek-arek Suroboyo pada lembaga pemerintahan kota akan merosot. Gagal, sudah estafet perjuangan yang kalian pegang sebagai penerus pejuang “Kota Pahlawan”.
Revolusi Kolektif Penolakan PSN
SWL
Sebagai upaya untuk menolak pembangunan PSN SWL, perlu adanya perlawanan dan pembebasan secara kolektif dari berbagi elemen.
Dengan adanya proyek ini mengusik sirkulasi ekonomi dari para nelayan dan warga lokal daerah pesisir. Serta mengusik hukum adat dan kepentingan umum masyarakat pesisir kenjeran.
Sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1960, tertuang pada pasal 5,6
dan 7. Jika ada kepentingan golongan yang mengusik hukum adat dan kepentingan
umum, maka akan bertentangan dengan UU tersebut beserta implikasi pasal-pasalnya.
Adanya keputusan represif dari Pemerintahan Pusat untuk mengesahkan PSN SWL membuat mata pencaharian warga yang telah dibangun dari tahun ke tahun bahkan dari nenek moyang mereka, dicaplok oleh keputusan warga negara sendiri melalui jabatan Pemerintahan Pusat.
Rakyat Indonesia baiknya harus sadar, terkhusus para mahasiswa yang memiliki fungsi sebagai agent of change dan agent of control. Seharusnya memiliki kesadaran kritis atas problematika diatas.
Hegemoni perlawanan harus terus digalakkan, kita sebagai mahasiswa dan sebagai katalisator rakyat memiliki hak untuk melawan segala penindasan apapun bentuknya dan siapapun yang melakukannya.
Apalagi dengan penindasan yang jelas-jelas sudah melanggar aturan dan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh negara. Maka sedari itu, perlu revolusi kolektif dari kita apapun bentuknya dan apapun elemennya, entah dari lembaga pemerintahan daerah, aktivis mahasiswa, masyarakat, dan kaum yang termarjinalkan! Kita lawan neo-londo ireng!
Editor: Itsna Aprillia Nur