Menjadi Organisatoris di Tengah Lingkungan Saintis
![]() |
Gambar oleh Aree Sarak, diunduh melalui istockphoto.com |
Menjadi mahasiswa sains memang ibarat hidup di tengah pusaran eksperimen, laporan praktikum, dan hafalan istilah ilmiah yang tak ada habisnya. Setiap minggu, ada saja laporan yang harus diketik, data yang harus dianalisis, atau alat lab yang harus dipelajari cara kerjanya.
Tak jarang, mahasiswa harus merelakan waktu istirahat, bahkan begadang berhari-hari hanya demi menyelesaikan laporan tepat waktu.
Dalam situasi seperti ini, tak sedikit yang menganggap bahwa bergabung di organisasi—apalagi lebih dari satu, baik di kampus maupun di luar kampus—adalah sesuatu yang mustahil. Terlalu sibuk, terlalu melelahkan, terlalu berisiko terhadap akademik.
Namun benarkah demikian? Apakah mahasiswa sains harus memilih: antara menjadi akademisi unggul atau organisatoris aktif?
Menurut penulis, tidak harus begitu. Justru, jika bisa dikelola dengan baik, aktif di organisasi baik organisasi kampus seperti himpunan mahasiswa jurusan, SEMA, DEMA, UKM, maupun organisasi luar kampus seperti komunitas sosial, lembaga swadaya masyarakat, atau startup pemuda bisa menjadi ruang yang luar biasa untuk bertumbuh.
Dunia akademik memang mengasah logika dan kemampuan analisis, tapi organisasi melatih hal-hal yang tidak diajarkan secara formal seperti, kepemimpinan, komunikasi, diplomasi, kerja tim, dan tentu saja manajemen waktu.
Organisasi kampus biasanya menjadi wadah awal bagi mahasiswa untuk mulai belajar berorganisasi. Di sinilah mahasiswa sains bisa mulai melatih dirinya berbicara di depan orang banyak, menyusun program kerja, menyelesaikan konflik, dan belajar bekerja dengan orang-orang dari berbagai latar belakang.
Misalnya, seorang mahasiswa biologi yang menjadi ketua divisi di himpunan jurusan akan terbiasa menyusun agenda rapat, mengatur waktu di tengah kesibukan praktikum, dan berkoordinasi dengan dosen atau pihak fakultas. Pengalaman semacam ini akan sangat berharga di masa depan, ketika ia memasuki dunia profesional.
Sementara itu, organisasi luar kampus membuka cakrawala yang lebih luas. Di sini, mahasiswa bisa berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai kampus, berbagai bidang ilmu, bahkan langsung berhadapan dengan masyarakat.
Misalnya, bergabung dengan komunitas edukasi lingkungan, menjadi relawan kesehatan, atau terlibat dalam proyek sosial berbasis sains. Ini bukan hanya memperluas jaringan, tapi juga memperkaya perspektif yang sering kali luput jika hanya berkutat di kampus. Mahasiswa akan belajar bahwa ilmu yang dipelajarinya punya dampak nyata jika diterapkan dengan benar.
Tentu, semua ini tidak datang tanpa tantangan. Waktu adalah musuh terbesar. Mahasiswa sering bingung bagaimana harus membagi waktu antara kuliah, organisasi kampus, dan aktivitas luar. Namun bukan berarti tak ada solusi.
Kuncinya adalah perencanaan yang matang dan konsistensi dalam menjalankannya. Gunakan tools seperti Google Calendar, Trello, atau Notion untuk mencatat semua jadwal dan deadline.
Prioritaskan mana yang penting dan mendesak. Jangan ragu untuk delegasi tugas dalam organisasi jika sudah terlalu padat. Dan yang paling penting: tahu kapan harus berhenti sejenak dan istirahat.
Memang akan ada hari-hari ketika tubuh terasa sangat lelah dan kepala penuh tekanan. Akan ada momen ketika kamu bertanya, “Kenapa aku repot-repot ikut semua ini?”.
Tapi justru dari situ kamu belajar tentang komitmen, tanggung jawab, dan batas kemampuan diri. Kamu belajar bahwa hidup bukan soal nyaman-nyaman saja, tapi soal bagaimana bertahan dan berkembang di tengah kesibukan.
Aktif di organisasi juga membantu mengatasi keterbatasan yang kadang ada di dalam dunia akademik. Misalnya, kurikulum kampus mungkin belum banyak mengajarkan cara presentasi yang efektif atau teknik negosiasi dalam tim.
Nah, di organisasi kamu bisa belajar langsung dari praktik. Kamu juga bisa membangun portofolio yang solid hal yang sekarang sangat dihargai di dunia kerja. Banyak perusahaan lebih tertarik pada lulusan yang punya pengalaman memimpin, pernah menangani proyek sosial, atau aktif di komunitas.
Akhirnya, pilihan memang ada di tangan masing-masing mahasiswa. Tidak semua orang harus aktif di organisasi luar, begitu juga tidak semua harus menjadi pengurus inti di organisasi kampus.
Tapi yang jelas, kesempatan untuk berkembang lewat organisasi itu nyata dan sangat mungkin dilakukan oleh siapa pun, termasuk mahasiswa sains yang super sibuk sekalipun. Selama ada niat, tekad, dan kemampuan untuk mengelola waktu, semua bisa dijalani dengan seimbang.
Daripada terus berpikir bahwa organisasi hanya menambah beban, mengapa tidak mulai melihatnya sebagai laboratorium kehidupan tempat kita bereksperimen bukan dengan bahan kimia, tapi dengan ide, emosi, dan interaksi sosial.
Karena sejatinya, ilmu pengetahuan tak pernah bisa tumbuh sendiri. Ia butuh ruang untuk diterapkan, diuji, dan dibagikan. Dan salah satu ruang itu adalah: organisasi.
Editor: Restu Agung Santoso