Politik Lingkungan, Raja Ampat, dan Siasat Raja Kecil
![]() |
Gambar oleh ugurhan, diunduh melalui istockphoto.com |
Raja Ampat, metafora yang indah nan mempesona. Dikelilingi hamparan samudra biru yang membentang, dihiasi ikan-ikan bercengkrama, dan terselimuti angin sepoy tanpa harap. Lirih halus tepuk tangan jari-jari dedaunannya, menyapa seluruh insan bersama nyanyian Suku Matbat. Tetapi, nyanyianmu terdengar oleh Raja Kecil, kemudian ia membalas nyanyianmu dengan suara yang menyayat tubuhmu.
Polemik pertambangan tampaknya sudah tak asing di telinga kita, segala aktivitas pertambangan telah menguliti tubuh bumi pertiwi yang indah ini.
Luka-luka yang dialami bumi pertiwi memberikan duka yang sangat mendalam bagi sel-sel di tubuhnya –anggap saja sel-sel ini manusia,- sungguh tak rela rasanya jika bumi Nusantara disakiti oleh raja-raja kecil yang merusaknya.
Lantas, apa yang harus kita lakukan? Bagaimana cara kita untuk meminimalisir kerusakan alam yang disebabkan oleh kebijakan pemeritahan kita sendiri? Seharusnya hal ini menjadi perbincangan panas yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia.
Jangan sampai kita teralihkan oleh framing-framing media yang cenderung untuk mengalihkan isu dengan mendukung proyek yang merusak lingkungan.
Minggu lalu media nasional kita gempar dengan adanya aktivitas penolakan pertambangan nikel di Raja Ampat oleh aktivis Greenpeace. Aktivis tersebut menolak aktivitas pertambangan karena akan berdampak pada kerusakan lingkungan yang sangat besar.
Pasca munculnya gejolak penolakan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia mengeluarkan keputusan untuk menghentikan sementara proyek hilirisasi nikel di Raja Empat, hingga saat ini masih belum ada keterangan lebih lanjut terkait kelanjutannya.
Tak hanya itu, konflik narasi sosial terus mengalami domino, hingga pada tanggal 07 Juni 2025 terlihat sekelompok masyarakat mendukung untuk melnjutkan program hilirisasi nikel ketika Menteri ESDM singgah ke tambang nikel PT GAG Nikel.
Sungguh miris penulis mendengar pernyataan itu, seakan patriotisme mereka tergadaikan oleh intrik-intrik politik yang merusak. Apa mereka tidak berpikir dampak yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan? Apa mereka tidak berpikir jika lingkungan rusak maka komoditas alam juga rusak? Apakah mereka tidak berpikir kalau penebangan hutan akan menimbulkan pengurangan oksigen? Beruntungah bagi mereka yang masih idealis mempertahankan keutuhan alam dan seisinya.
Penambangan nikel Raja Ampat hasil dari kebijakan politik, konteks ini merujuk pada Politik Lingkungan. Politik Lingkungan merupakan kebijakan politik yang menjadikan lingkungan sebagai instrumen kerjasama antara keadilan sosial, pasar dan perlindungan lingkungan hidup.
Terkadang konteks kebijakan politik lingkungan tidak terlalu diperhatikan secara kajian akademis. Misalnya Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), mungkin kita sudah tak asing melihat dan mendengar frasa itu, namun apakah kita pernah membaca isi dari suatu Amdal terhadap hasil politik lingkungan?
Kita terlalu fokus kepada intrik-intrik politik praktis yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi. Tetapi, secara berkaitan dengan lingkungan masih sedikit adanya pembahasan atau mungkin dinamika perdebatan.
Apalagi negara kita salah satu negara yang dikenal memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Namun, pembelaan pada kekayaan alam kita perlu dijadikan refleksi kolektif.
Masih banyak konflik ekologi yang belum terselesaikan. Berdasarkan laporan akademik WALHI pada tahun 2023, terdapat 8 provinsi yang mengalami krisis ekologi, diantaranya Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Bangka Belitung, dan Lampung.
Masing-masingnya terdapat implikasi kerusakan yang heterogen. Tak cuma itu WALHI mencatat ada sebanyak 827 warga negara mengalami kriminalisasi dan kekerasan, 145 orang ditangkap, 28 orang tersangka, 620 orang mengalami luka-luka akibat kekerasan aparat, dan 6 orang meninggal dunia.
Dari study case diatas tentu implikasi dari kebijakan politik lingkungan menjangkar ke banyak sektor, seperti sosial, ekonomi, HAM, hukum, dan lingkungan. Selanjutnya, Raja Ampat menjadi makanan lezat bagi birokrat.
Sekaligus makanan empuk bagi korporat. Entah apa yang mereka pikirkan, bagaimana logika mereka berjalan, seperti apa moral mereka. Jelas, konflik akan semakin merabah dan akan menjadi catatan kelam bagi bumi pertiwi.
Terbaru ini pemerintah telah mencabut sejumlah perizinan pertambangan nikel, diantaranya PT Anugrah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining. Namun, hanya PT GAG yang masih dipertahankan perizinannya.
Pemerintah rasanya perlu untuk merefleksikan kembali keputusan pengelolaan Raja Ampat oleh pihak pengembang, karena mereka telah bersinggungan dengan Pasal 66 Ayat UU 32 Tahun 2009 tentang Minerba. Adapun deliknya masuk kepada adanya penolakan oleh masyarakat hukum adat setempat.
Terkadang di Indonesia demokrasi hanya membebaskan kepentingan politik dan Raja Kecil –pemilik kekuasaan-, tidak membebaskan kepentingan rakyat.
Kaitannya dangan ini harusnya sebelum pemerintah memutuskan keputusan untuk mengelola tambang, setidaknya melibatkan masyarakat adat setempat yang secara alamiah mereka memiliki hukum adat yang dimana harus ditaati, dan wajib untuk dilibatkan dalam segala keputusan politik lingkungan, sehingga keputusan yang diambil bersifat objektif, bukan otoritatif.
Editor: Restu Agung Santoso