Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penulisan Ulang Sejarah: Pembaruan atau Penghapusan?

Gambar oleh ultramarinfoto, diunduh melalui istock.com
Penulis: Thariq Afdhala (Kader PK IMM Avempace)


Sejarah merupakan peristiwa yang terjadi di masa lampau dengan memenuhi unsur ruang, waktu, dan manusia. Sejarah menjadi sebuah rekaman masa lalu yang berharga bagi generasi masa kini. 

Adanya sejarah tidak terlepas dari para sejarawan yang menulis dan merekontruksikan kepada khalayak umum. Dengan dokumentasi tersebut, sejarah tetap eksis di tengah-tengah peradaban yang terus bergerak.

Fungsi sejarah dapat dibedakan menjadi dua yaitu fungsi intrinsik dan fungsi ekstrinsik. Pada fungsi intrinsik, sejarah difungsikan sebagai ilmu, pernyataan pendapat, profesi, dan cara mengetahui masa lampau.

Sementara sejarah dengan fungsi ekstrinsik berlaku sebagai pendidikan moral, penalaran, politik, kebijakan, perubahan, masa depan, keindahan, ilmu bantu untuk disiplin ilmu lainnya, bukti dari sebuah perbuatan, latar belakang, serta sebagai rujukan (kompas.com). 

Oleh karena itu, setiap intervensi terhadap penulisan sejarah tidak bisa dianggap remeh.

Beberapa waktu yang lalu publik dikejutkan dengan salah satu proyek pemerintah yaitu penulisan ulang sejarah Indonesia. Fadli Zon selaku Menteri Kebudayan Indonesia menyatakan bahwa penulisan ulang sejarah Indonesia memiliki beberapa alasan, salah satunya adalah menghapus bias kolonialisme dalam sejarah Indonesia (kompas.com).

Hal ini menunjukkan bahwa historiografi sejarah Indonesia masih didominasi oleh perspektif kolonial.

Salah satu bentuk bias tersebut adalah sejarah pembuatan infrastruktur di Indonesia pada masa kolonial yang hanya menyebutkan tokoh-tokoh penjajah sebagai pencetus kebijakan pembuatan infrastruktur tanpa melihat berapa banyak pribumi yang menjadi korban atas pembangunan tersebut.

Menulis ulang sejarah merupakan hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Sebab, proses penulisan sejarah secara ilmiah memerlukan tahapan panjang dan ketat. Dikutip dari OSC, terdapat empat tahapan dalam metode penulisan sejarah (osc.medcom.id).

Yang pertama, tahap heuristik yaitu proses pengumpulan informasi atau pengumpulan sumber untuk penelitian sejarah yang sedang dilakukan. Tahap kedua, verifikasi atau kritik sumber, yang mana pada tahapan ini sumber sejarah yang telah terkumpul akan diuji dari segi keaslian dan kredibilitasnya.

Tahap ketiga, interpretasi yaitu tahapan yang dilakukan untuk menganalisis dan membandingkan fakta yang satu dengan fakta yang lainnya. Tahap terakhir, historiografi merupakan proses penulisan sejarah berdasarkan sumber-sumber yang telah ditemukan, dinilai, diseleksi, dan dikritisi.

Tahapan-tahapan tersebut tentu membutuhkan waktu yang lama. Apalagi sejarah yang akan ditulis ulang memuat peristiwa yang durasinya panjang. 

Kita bisa melihat banyak peristiwa yang terjadi pada masa lampau di negeri ini, dari sebelum merdeka sampai umurnya yang akan masuk ke 80 tahun pada bulan Agustus mendatang. Hal ini tentunya memerlukan sumber sejarah yang tidak sedikit dan waktu penulisan yang lama.

Dengan melihat kompleksitas tersebut, proyek penulisan ulang sejarah ini justru tampak tidak mendesak jika dibandingkan dengan berbagai agenda pemerintah lain yang lebih prioritas.

Kebijakan ini juga dinilai janggal sebab tidak termuat dalam ASTA CITA, kemunculannya yang terbilang terburu-buru, dan mekanisme pelaksanaan yang terasa tidak wajar. 

Waktu penulisan sejarah tersebut dilakukan hanya beberapa bulan dan ditargetkan dapat diluncurkan menjelang 17 Agustus 2025 sebagai bagian dari perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia.

Ini tidak wajar sebab dalam penulisan ulang sejarah membutuhkan banyak sumber data, penelitian, survey, dan tahapan ilmiah lainnya. Keseluruhan proses tersebut memakan waktu lama hingga bertahun-tahun. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya tidak tergesa-gesa dalam proyek penulisan ulang sejarah ini.

Jika proyek ini benar-benar penting, mengapa justru muncul secara tiba-tiba di awal masa pemerintahan yang bahkan belum genap satu tahun? Mengapa pula ditargetkan selesai pada Agustus, dengan tenggat yang terkesan terburu-buru?

Selain masalah teknis, substansi isi draf penulisan ulang sejarah juga menuai kritik, misalnya terdapat peristiwa yang tidak sesuai dengan kronologi, pendekatan yang tidak sesuai metodologi, dan penggunaan tone positif dalam penulisan ulang sejarah (news.detik.com).

Padahal, sejarah sejatinya justru berani membuka luka agar bangsa belajar dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Proyek ini tampaknya menguntungkan pihak tertentu, terlihat dari penghilangan sejumlah peristiwa penting dalam draf penulisan ulang. Sebut saja penghapusan peristiwa pemerkosaan massal pada tahun 1998 yang sudah jelas bukti dan fakta sejarahnya.

Ironisnya, peristiwa tersebut sama sekali tidak dicantumkan dalam draf proyek, meski bukti dan kesaksiannya telah diakui luas. Penghapusan ini menimbulkan kecurigaan akan adanya upaya sistematis untuk mengaburkan kebenaran demi kepentingan pihak tertentu.

Dengan banyaknya persoalan yang muncul dalam proyek ini, maka penulisan ulang sejarah tersebut perlu dikritisi secara serius. Sejarah tidak boleh ditulis ulang hanya untuk menyenangkan kekuasaan. 

Jika yang ditawarkan adalah penghapusan, bukan pembaruan, maka kita sedang menyaksikan pembunuhan atas memori kolektif bangsa.




Editor: Itsna Aprilia Nur

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA