Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Leviathan Bukan Kapal yang Nyaman

Gambar diunduh melalui Netflix.com
Penulis: Ahmad Muharrik Albirra (Kader PK IMM Leviathan) 


Sampai hari ini, penulis belum pernah menemukan jawaban pasti kenapa komisariat IMM kami dinamai "Leviathan". Nama ini terdengar asing dan tidak biasa, apalagi jika dibandingkan dengan nama komisariat IMM lain yang biasanya identik dengan tokoh Islam, istilah perjuangan, atau kata-kata yang langsung mencerminkan identitas gerakan dakwah.

Karena tidak ada narasi resmi yang menjelaskan latar belakang filosofisnya, penulis mulai mencari makna itu sendiri dan salah satu yang kami temukan datang dari media yang tidak terduga dari platform layanan streaming (Netflix) yaitu anime yang berjudul "Leviathan".

Anime "Leviathan" bercerita tentang kapal udara biologis raksasa yang digunakan dalam situasi perang dunia. Di kapal itu, sekelompok anak muda dari latar belakang berbeda belajar bertahan, berpikir, dan menjalankan misi besar di tengah kekacauan dunia.

Mungkin agak sulit dinalar bagaimana seekor hewan biologis dijadikan kapal udara dengan segala teknologinya. Namun, bukan soal teknologinya, yang membuat penulis tertarik adalah gagasan bahwa "Leviathan" adalah kapal besar yang terus bergerak di tengah dunia yang tidak pasti.

Bisa dibilang ia bukan tempat nyaman, tapi ruang perjuangan. Kapal itu hanya bisa berjalan jika awaknya berpikir, bertahan, dan tahu arah. Dari sini penulis mulai melihat bahwa nama "Leviathan" dalam konteks komisariat IMM bisa dimaknai sebagai metafora bagi gerakan IMM itu sendiri.

IMM bukan sekadar organisasi. IMM adalah ruang perjuangan dan proses pembentukan arah berpikir. IMM bukan kapal kosong, tapi kapal besar yang bergerak membawa nilai. Ia memadukan religiusitas, intelektualitas dan humanitas yang menjadi dasar dalam setiap langkahnya.

Di tengah realitas yang semakin kompleks, berbagai isu sosial, hukum, agama, dan teknologi saling bertabrakan. IMM tidak boleh hanya jadi penonton.

Sebagai komisariat di bawah Fakultas Syariah dan Hukum, IMM Leviathan memikul tanggung jawab ganda yakni menjaga nilai keislaman di tengah dinamika hukum, dan menjembatani antara norma dengan realitas sosial. Di sinilah titik temu nilai intelektualitas dan humanitas IMM menjadi langkah konkret.

Kalau anime "Leviathan" menunjukkan bagaimana anak-anak muda bisa menentukan arah kapal di tengah perang. maka IMM seharusnya juga mampu menunjukkan bahwa kader-kadernya mampu menavigasi nilai di tengah realitas yang kompleks.

Kita tidak bisa hanya menjadi penumpang yang mengikuti arus. Kita harus menjadi awak kapal yang berpikir, mengambil keputusan, dan memandu arah.

Nama "Leviathan" bukan sekadar label. ini menjadi tantangan: apakah kita mampu menjadikan IMM sebagai kapal yang benar-benar bergerak dan hidup? Apakah nilai-nilai IMM masih relevan kita internalisasi dalam setiap proses kaderisasi dan gerakan?

Jawabannya ada pada kita sendiri. Dan penulis percaya, selama nilai yang sering disebut menjadi tri kompetensi dasar IMM ini tetap jadi bahan bakar utama, maka IMM Leviathan akan tetap bisa berlayar ditengah kompleksitas yang ada.

sebagai penutup penulis ingin mengutip lirik lagu 33x dari perunggu yang dirasa akan meneguhkan setiap langkah perjuangan.

Leviathan bukan kapal nyaman. Ia ruang belajar, berpikir, dan bertahan.

Di tengah pusaran dunia yang tak menentu, kita adalah awaknya yang harus menjaga arah, menjaga nilai.

Dan jika suatu saat langkahmu melambat,

ingatlah…

"Melamban bukanlah hal yang tabu,

kadang itu yang kau butuh..."

Saat dirimu goyah dan pandangan mulai kabur,

resapilah arahmu kembali.

"Sebutlah nama-Nya,

tetap di jalan-Nya

kelak kau mengingat,

kau akan teringat."

Terus berenang.

Lanjutlah mendaki.


Editor: Restu Agung Santoso


Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA