Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Manusia yang Menciptakan Allah, Bukan Allah yang Menciptakan Manusia

 

Gambar diunduh melalui ClikUp.com
Penulis: Fariz Zakariya Fauzan (Kader PK IMM Ushuluddin dan Filsafat)


Seiring dengan berkembangnya ilmu sains di dunia, awal mula kemajuannya dapat ditelusuri sejak masa Renaisans pada abad ke-14 yang bermula di Italia, kemudian diikuti dengan kemajuan-kemajuan dalam bidang teknologi di dunia.

Kemajuan-kemajuan tersebut dimulai setidaknya pada revolusi industri 1.0 yang ditandai dengan penemuan teknologi berupa mesin uap yang membantu kehidupan manusia. Maka, dengan munculnya revolusi yang mengejutkan tersebut, manusia memiliki pandangan baru yang jika dilihat dalam perspektif agama menjadi suatu hal yang sangat kontroversial.

Jika ditarik kembali, kepada masa ketika Islam menjadi pusat peradaban keilmuan  yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Islam, sedangkan bangsa Eropa ketika itu masih berada dalam kegelapan.

Namun, masa tersebut mengalami keruntuhan sehingga kendali keilmuan dunia diambil alih oleh bangsa Eropa, hal itu diawali dari invasi Mongol, lalu runtuhnya ekonomi, dan korupsi penguasa pada saat itu.

Walaupun bangsa Mongol sendiri bukan dari wilayah Eropa melainkan Asia Tengah, namun hal tersebut dijadikan kesempatan bangsa Eropa untuk mengklaim keilmuan berasal dari Eropa dan bukan dari Islam.

Eropa dikenal sebagai tempat dimulainya masa Renaisans yang berawal dari Italia, dengan filsuf-filsuf yang memikirkan ilmu-ilmu alam semesta seperti astronomi, fisika, kimia, dan lain-lain, yang menjadikan terciptanya disiplin suatu ilmu yang dinamakan sebagai ilmu sains.

Perkembangan sains yang secara berkala tentunya memerlukan sebuah observasi dan eksperimen-eksperimen agar menghasilkan suatu perkembangan baru, yang pada akhirnya terjadilah dikotomi antara filsafat dengan sains, walaupun awal mula adanya ilmu sains berawal dari logika filsafat silogisme.

Di sisi lain, muncullah kontroversi yang paling menyayat hati adalah dibuangnya Tuhan dalam sains, terutama bagi kaum positivistik.


Problematika Kaum Positivisme dengan Memisahkan Tuhan dari Keilmuan Aposteriori

Dalam buku Nalar Ayat-Ayat Semesta, Agus Purwanto membahas bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, terutama sains pada kehidupan manusia, menjadikan sebagian para kaum intelektual memisahkan dengan derivatifnya gagasan tentang materialisme hingga membuang peran Tuhan dalam bidang ilmu yang bersifat aposteriori.

Konsekuensi dari hal tersebut adalah jikalau semakin berkembangnya keilmuan pada kehidupan manusia maka semakin hilang pula moral dan etika dalam kehidupan manusia.

Mari kita tarik menjadi lebih spesifik di Indonesia. Gagasan tentang “Apa urgensi Tuhan dalam kehidupan manusia toh banyak orang bodoh dalam beragama” menjadi populer dan dijadikan sebagai fondasi oleh sebagian kalangan pelajar yang sedang berproses dengan kematangan yang kurang terhadap pemahaman keilmuan.

Akibatnya adalah kaum-kaum pelajar di Indonesia mulai meninggalkan sifat transendennya seolah-olah hal tersebut adalah hal yang tidak bermanfaat.

Padahal, dalam Fashel Al Maqol yang ditulis oleh Ibnu Rusyd menerangkan bahwa ilmu-ilmu tentang alam semesta dan dunia (sains) harus diiringi dengan ilmu-ilmu ketuhanan atau diintegralkan (teoasentrisme integralistik), sehingga tidak ada kerancuan dalam berpikir.

Jika bisa penulis asumsikan, bahwa kaum-kaum positivistik beranggapan untuk menghilangkan teosentrisme dan menolak metafisika adalah karena fenomena-fenomena keagamaan yang tidak rasional, tidak bisa membaca, dan selalu pasrah.

Maka, Gelner mengatakan hal ini terjadi juga pada kondisi umat Islam yang asketis dalam beragama. Hal ini juga bisa dibenarkan, namun kesalahan dalam generalisasi yang menimbulkan problematika tersendiri.

Maka dapat disimpulkan juga bahwa kaum positivisme yang menolak teosentrisme, menolak metafisika, dikarenakan mereka memang kurang memahami konsep kausalitas dalam kehidupan.

Dalam buku Metafisika Aristoteles sendiri mengatakan pada bab kausalitas bahwa alam semesta ada karena ada satu penyebab dan ada yang menggerakkan namun tidak terlibat dalam pergerakan.

Jika mengikuti pemikiran kaum positivisme yang mengharuskan sebuah keilmuan harus bersifat aposteriori, artinya keilmuan harus bersifat empiris dan bisa dibuktikan dengan eksperimen-eksperimen, maka sebenarnya secara tidak sadar konsep yang mereka pikirkan adalah bagian dari metafisika. Mengapa demikian?

Mari kita renungkan sejenak bahwa sebelum membuat atau melakukan sesuatu, perlulah kita mengonsep terlebih dahulu atau setidaknya memikirkan dalam akal yang kita punya. 

Kemudian, pemikiran itu dibungkus dalam ruang dan waktu, sedangkan ruang dan waktu bersifat apriori, maka hal ini masuk dalam ranah metafisika. Maka, tidak heran juga mereka terkadang rancu dalam pemikirannya sendiri seperti contoh singularitas pada alam semesta atau disebut dengan teori Big Bang.


Maka Sejatinya Allah-Lah yang Menciptakan Manusia

Sensibilitas sangatlah diperlukan dalam hal ini. Jika dipikirkan, manusia ada karena adanya ayah. Artinya, ayah adalah manusia. Manusia ada karena adanya manusia lagi atau adanya ayah lagi. Dalam Islam, manusia yang pertama kali sehingga beranak pinak hingga sekarang adalah Adam.

Lalu, pertanyaannya adalah siapakah yang menciptakan Adam? Siapakah bapaknya Adam? Pikirkanlah, hingga kiamat pun mustahil terjawab apalagi dengan empiris materialisme seperti yang dilakukan kaum positivisme.

Jawaban yang paling logis adalah Tuhanlah yang menciptakannya. Karena Tuhan adalah utama yang utama, penyebab dari penyebab, dan esensi dari segala esensi.

Mungkin, manusia memang tidak dapat melihat Tuhannya. Bayangkan saja jika manusia dapat melihat Tuhannya, maka Tuhan akan dianggap suatu hal yang biasa dan akan disepelekan.

Oleh karena itu, Tuhan tidak menampakkan dirinya kepada manusia. Tujuannya adalah supaya kita menggunakan akal untuk mengetahui keberadaan-Nya. Dan untuk mengetahuinya, perlulah kita melakukan perenungan dan sensibilitas dengan mendemonstratifkan wahyu-wahyu-Nya.

Sekarang, kita renungkan dan buktikan secara ilmiah pada Al-Quran surat al-Insan ayat 2. Pada ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwasannya Allah menciptakan manusia dari setetes air mani (nutfah), kemudian Allah menjadikannya mengerti akan sesuatu yang benar dan yang salah dengan memberikan beberapa ujian dalam kehidupannya.

Mari kita buktikan secara ilmiah. Air mani atau sperma akan mengalami perjalanan panjang dan masuk ke dalam sel telur wanita yang disebut ovum, sehingga satu butir sel sperma laki-laki tersebut berhasil membuahi satu sel telur wanita. Dan hal ini telah dikonfirmasi kebenarannya oleh ilmu genetika modern.

Kemudian, Allah menguji manusia dengan beberapa ujian sehingga mengetahui sesuatu yang benar dan yang salah. Maka dari segi psikologis, hal ini merupakan pembentukan moral manusia.

Apabila manusia melakukan suatu kebaikan maka akan timbullah etika yang berestetika. Namun, jika manusia melakukan keburukan maka itulah hilangnya moral manusia yang menyebabkan kemunduran dan hilangnya arah dalam kehidupannya.


Tidak Ada yang Bisa Menandingi Allah

Tidak ada manusia sepandai apa pun mampu membuat seekor lalat. Tidak ada manusia sepandai apa pun yang mampu membuat paru-paru buatan. Bahkan tidak ada manusia walaupun sepandai apa pun mengembalikan mata yang rusak dengan sempurna.

Itu adalah pernyataan Buya Hamka dalam buku Falsafah Hidup. Maka artinya adalah, sebagaimanapun juga manusia ingin memisahkan Tuhan dalam keilmuan dan kehidupannya, maka yang ia dapat hanyalah nihilisme dan akan terkurung dalam pemikiran rancunya sendiri.

Manusia secara ontologis memang selalu ingin hidup dengan kemajuan-kemajuan, baik secara finansial maupun material. Namun, dalam kemajuan-kemajuan tersebut tidak akan berjalan tanpa adanya penggerak utama, yaitu Tuhan yang menciptakan seluruh alam semesta ini.

Maka, apabila kaum pelajar-pelajar mampu mendemonstrasikan wahyu dalam kehidupan dan keilmuan, maka bukan saja etika yang didapat, tetapi kemajuan intelektual, baik berupa sains, kesehatan, dan ilmu alam semesta lainnya akan dirasakannya.


Kesimpulan

Tuhan tidak diciptakan oleh manusia secara konsep dan persepsi manusia dengan segala keterbatasannya. Namun, Tuhanlah yang menciptakan manusia dengan diberikan akal sehingga mampu berpikir secara rasional tentang kebenaran.

Meniadakan Tuhan dalam kehidupan dan keilmuan salah besar, baik dari segi epistemologis maupun ontologis. Akibat membuang Tuhan adalah terjadinya kehampaan moral dan kerancuan dalam pikiran manusia itu sendiri.


Editor: Iskandar Dzulkarnain

 

Redaksi IMM UINSA
Redaksi IMM UINSA Tim Redaksi RPK KOORKOM IMM UINSA